Setelah ayah wafat, ibu kini yang mengatur seluruh peninggalan ayah. Ibu tampaknya bahagia. Untunglah 8 hari sebelum ayah pergi, beliau meminta maaf kepada ibu untuk kesalahannya selama pernikahan mereka. Mimik ibu pada waktu itu datar-datar saja. Tampak tidak merasa kehilangan. Tetapi seminggu setelah ayah dimakamkan, kerja ibu hanya berbaring dan menonton televisi. Sepanjang hari. Lalu sakit 2 minggu. Lalu mulai ketakutan kalau tinggal sendiri di rumah. Anak-anak ayah dan ibu semuanya hidup mandiri. Kami termakan didikan ayah bahwa semua anaknya tidak boleh ada yang tinggal bersama mereka. Maka, sejak usia 25 kami semua sudah keluar rumah. Aku malah di usia 18 sudah jadi anak kos yang mandiri.
Tetapi, si anak kos yang sudah puluhan tahun ini berkelana di beberapa kota (saja), akhirnya mau tinggal dengan ibunya. Aku harus berdamai dengan kebiasaan-kebiasaan ibu yang amat berbeda denganku. Mungkin juga ia. Awalnya aku frustrasi. Kok seperti ini ya tinggal satu rumah dengan orang lain? Setiap hari kami akan berdebat tentang mau masak apa hari ini, kenapa merk sabun harus yang itu, bukan yang ini. Kenapa sarapan harus bubur, padahal aku tidak terlalu suka bubur. Dan, kenapa aku sering lupa menutup keran air? Oh, kalau ini memang kelewatan kalau sampai lupa terus.
Tetapi tahukah kamu Ren, setelah dua bulan kami mulai bisa cair satu sama lain. Kami bertemu dari bangun tidur sampai mau tidur. Akhirnya aku merasa sukses bisa hidup dengan orang lain. Padahal, tadinya kukira tidak. Tetapi aku menemukan satu hal di sini; bahwa aku bisa menerima orang lain apa adanya, bukan sebatas chemistry. Tetapi juga karena aku tinggal bersama dia dalam jangka waktu tertentu secara intens.
Aku tak akan pernah lupa betapa sakitnya disalahmengerti oleh teman-teman yang tidak tinggal satu kota. Atau yang tidak tinggal dalam satu atap kantor. Atau, yang bukan satu pondokan. Aku jadi paham sekarang, kedekatanku dengan orang; ditentukan oleh karena kami tinggal bersama-sama.
Kau masih ingat kak Rosa, Ren? Kau lihat sendiri bagaimana jengkelnya dia kalau aku sudah berbicara soal umur, haha. Apalagi kalau membahas soal penyakit. Dia akan berkata dengan sinisnya, "Imel tuh lebay, seperti hanya dia saja yang menderita". Tetapi aku tidak tersinggung dengan celaannya. Karena aku kan mengenal dia. Kami satu kantor dan satu ruangan selama 2 tahun dan terlibat dalam banyak proyek pekerjaan. Di awal perkenalan kami, memang dia sempat sinis. Tetapi karena kami setiap hari bertemu dan ternyata kesinisannya hanya di saat-saat tertentu saja, aku maklum. Apalagi kemudian aku melihat kelebihan dia yang lain.
Tetapi berbeda kalau yang menyinisi aku orang lain. Aku ingin tutup kuping sejadi-jadinya. Aku suka sensi kalau orang tidak mengenalku lalu membuat opini yang prematur tentang aku. Tak masalah orang mengorek-ngorek hal pribadiku. Sejauh aku dan dia sudah mengenal satu sama lain, dan punya intensitas pertemuan yang tinggi. Lebih enak lagi kalau kami berada dalam satu habitat. Mungkin kamu berpikir, betapa banyaknya syarat untuk berteman dengan seorang Imelda, haha.
Kita kembali ke ibuku. Ibuku, perempuan yang waktu mudanya itu lebih cantik dari aku, tidak suka basa-basi. Tetapi setelah beberapa bulan tinggal satu atap, aku mulai bisa cocok dengannya. Tentu saja karena aku sudah tahu kebiasaannya apa, kesukaannya apa, dan kapan harus menyingkir kalau dia sudah mengomel, dll.
Sekarang, aku punya masalah dengan Robin. Bukan karena kami bertengkar. Tetapi karena kami tidak punya kesempatan untuk berada dalam satu habitat. Bagaimana kalau suatu saat kami berada dalam lingkar yang lebih kecil? Cocokkah kami? Atau kebalikannya? Bagaimana cara kami menggunakan uang? Oh, ini hal yang rill, Irena. Jangan menertawaiku. Bahkan sahabatku satu kantorpun tahu seperti apa gayaku membelanjakan sesuatu. Aku bukan perempuan yang modis, tapi cukup boros untuk ...... ada deh. Nanti aku beritahu kamu kalau kamu sudah berhenti tertawa.
Kamu tahu tidak bagaimana kebiasaan cowok-cowok zaman sekarang kalau makan bersama teman-temannya? Masih berlakukah si pria yang (selalu) Â membayari? Aku hidup di zaman itu. Mungkin dia tidak ya? Aku juga tidak tahu bagaimana reaksi dia kalau aku sedang moody. Apalagi kebiasaan dia yang lain, sungguh aku belum tahu.
Bagaimana kalau tiba-tiba dia ilfil? Atau akunya yang ilfil? Kalau sama-sama ilfil sih tak masalah.
Yang menyedihkan, justru aku lebih mengenal teman-temanku melebihi aku mengenal Robin. Pelajaran pentingnya adalah, untuk bisa mengenal teman-teman mereka, aku menyediakan cadangan kebesaran hati yang cukup. Aku mengasihi teman-temanku dan tidak ingin kehilangan mereka. Jadi, aku berjalan maju dan mundur, tarik dan ulur. Bagiku, komunitas ini terlalu berharga untuk ditinggalkan.