Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Please, Ini yang Terakhir Ya?

23 September 2014   03:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:53 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Deb, gimana ceritanya si June bisa kerja di kantor survey itu?” tanya Dietrich penasaran.

Saya dan dia sore itu janjian bertemu di Salemba. Kami sedang mempersiapkan Kalender Kerja yang berhubungan dengan sosialisasi para Caleg di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Kebetulan Dietrich dan Nugraha (Nugi) bergabung dalam parpol yang sama. Nugi adalah kawan lama saya waktu kuliah di UNJ. Nugi minta saya membantu jadi tim sukses. Dan karena pola kerja antara Nugi dan Dietrich sama, maka dibuatlah program sosialisasi yang saling bersinergis. Kali ini kami bertemu untuk mensinkronkan kalender kerja kami masing-masing.

“Wah ceritanya panjang Dit. Gara-garanya waktu dia molor banget ngerjain tesisnya. Dia kan ambil S2nya Sosiologi? Tapi tesisnya dibikin pake uji statistik. Temen-temennya bilang, ‘elo nekat banget June’. Tapi si June maju terus. Soalnya kalo bikin penelitian yang kualitatif dia udah bosen banget. Jadi untuk tesisnya dia bikin dengan metode kuantitatif.

“Eh, nggak taunya di tengah jalan mandeg. Akhirnya dia dibantu salah satu temen yang kerja di kantor lembaga survey. Hanya untuk proses statistiknya aja. Analisa dan sebagainya teteplah si June yang ngerjain”

“Temen yang bantu dia itu yang kerja di kantor survey tempat si June kerja sekarang ini ya?”

“Iya. Kok kamu tahu Dit?” tanya saya heran.

“Nebak-nebak aja. Soalnya kalau nggak ada keterkaitan sebelumnya, mustahil deh si June bisa kerja di lembaga survey.”

“Aih, jangan underestimated gitu deh.”

“Enggak kok. Aku ngerti gimana jalur-jalur orang yang bisa masuk ke sebuah lembaga survey dan kerja di sana. Tempatku mangkal sekarang ini kan juga berhubungan dengan banyak lembaga survey?”

Hmmm Dit nggak mau sebutnama parpol tempat dia bergabung jadi Caleg.

“Iya, terus. Apa nih kepentingannya nanyain June terus?”

“Nggak boleh ya Deb?” jawab Dietrich seperti merajuk.

“Boleh aja kalau sesekali. Tapi kamu udah sampai pada tahap penasaran akut nih.”

“Hehe, namanya juga mantan.”

Saya cuma diam. Mencoba mengerti posisi dia. Apa begitu ya kalau kita putus lalu masih suka terkenang sama mantan? Tetapi, Dit ini keterlaluan. Dia menurut saya agak terobsesi sama June. Okelah, saling terobsesi sama mantan boleh-boleh saja. Tapi jangan kelamaan dong. Yang denger juga jadi bosen nih, gerutu saya dalam hati.

Saya tidak tahu apakah saya memang betul-betul bosan mendengar curhatan Dietrich atau masih sentimen terhadap dia. Dulu, waktu Dietrich baru datang dari Manado, dia aktif mendekati saya. Tiap hari pasti sms. Tanya segala macam dan cerita segala macam.

Saya tentu saja tersanjung. Tetapi ternyata oh ternyata, itu cuma batu loncatan saja untuk bisa mengenal June. Siapapun tahu bahwa saya dan June adalah sahabat dekat. Meskipun, secara emosional June lebih dekat dengan mbak Monik.

Awalnya saya jengkel bukan main. Tapi demi melihat pancaran mata keduanya yang begitu kuat menyiratkan cinta, saya akhirnya mengalah. Setelah Dit dan June saling kenal, akhirnya sayalah yang jadi tempat curhat mereka berdua. Mirip apa itu ya? Kambing congek? hehe. Ah, tak mengapa.

Meski rada-rada sulit pada awalnya, tapi saya akhirnya sukses juga jadi ‘pengasuh’ buat mereka. Jujur saja, menjadi tempat orang mengadu membuat saya merasa dibutuhkan. Itu sebabnya saya jadi guru BK. Walau kadang, saya merasa dimanfaatkan juga oleh ‘anak-anak asuh’ itu. Terutama Dietrich.

Waktudia putus dengan June, Dietrich memang putus kontak dengan saya. Tidak ada itu yang namanya curhat dan tanya segala macam tentang June. Rupanya, bukan hanya kepada June saja Dit menjaga ‘jarak aman’ menjelang pernikahannya dengan Dinda. Dengan saya pun demikian. Bedanya, June sakit hati amat sangat, kalau saya mencoba memaklumi. Meski berkali-kali June bilang, “Si Dit kalau ada masalah lari sekencang-kencangnya. Cari aman. Kalau situasai sudah aman, barulah dia muncul.”

Sepertinya apa yang dikatakan oleh June benar adanya. Usai Dit menikah, sebulan kemudian dia menghubungi saya. Nraktir saya makan malam bareng istrinya. Pake ngajak June segala. Untunglah June sudah di Tarakan (Kalimantan Timur) waktu itu. Ia dan Erika magang selama dua tahun di salah satu yayasan sosial di sana. Jadi saya tak perlu mencak-mencak pada Dit yang sudah bersikap kurang ajar seperti itu. Masalah mereka belum selesai, eh malah mengajak makan malam bersama. Ah, dasar Dietrich.

***

Gelas minuman kami sudah kosong. Kue-kuepun sudah tinggal remah-remahnya saja.

Selain membahas soal kalender kerja, Dit juga mengajak saya terlibat dalam perekrutan anggota tim suksesnya. Dia ingin saya terlibat karena katanya, lebih enak bekerja dengan orang yang sudah dikenal. Saya mau pikir-pikir dulu. Saya sedang mempertimbangkan banyak hal. Selain karena Nugi sudah lebih dulu mengajak saya jadi tim suksesnya, saya juga tidak ingin dimanfaatkan oleh Dit untuk mengorek kehidupan June pasca putus dengannya.

Benar saja. Setengah jam setelah kami bicara soal perekrutan tim suskes itu, Dit tanya segala macam tentang June.

Saya ingin to the point padanya.

“Dit, bisakah kamu mengendalikan rasa penasaranmu pada June? Even ada yang namanya cinta platonis. Tapi menurut gue sih ya, cinta itu bukan hanya di level imajinasi. Dia juga ada di bagian realita. Dan yang elo hadapi serta udah teruji kan hidup dengan si Dinda, bukan dengan June? Gue curiga jangan-jangan kalian berdua ini masih saja asyik dengan cita-cita kalian mengejar cinta.”

Dit tidak menjawab argumen saya. Saya meneruskan.

“Kasihan si Dinda. Kalo memang tadinya elo nggak niat ngawinin dia, ya mendingan elo batalin aja dulu itu. Biarpun elo malu banget sesudahnya. Tapi yang terjadi, elo dengan mantap milih si Dinda. Cari aman kan?”

Dietrich tampak terkejut. Saya memberi isyarat agar dia tetap mendengarkan.

“Sedangkan si June waktu itu udah siap kawin sama elo. Apapun risikonya. Tapi elonya aja yang nggak mau ambil risiko. Jadinya nggak imbang kan? Yaaaa menurut gue sih, memang kalian nggak jodoh. Dia siap, elo enggak.”

Muka Dietrich tampak memerah.

“Dan sekarang, kok kesannya elo jalan mundur terus sih? Mengingat-ingat si June terus. Padahal elo sama Dinda lagi melangkah maju lho. Inget Dit, masa depan elo bakal kayak layangan kalo elo noleh terus ke belakang. Ibarat maju dua langkah mundur tiga langkah. Itu sih judulnya kemunduran.

“Gue juga bilang sama si June. Cobalah bersikap lebih dewasa. Sembuh enggaknya luka dia ada pada sikapnya memandang masalah. Bukannya nggak empati sama perasaan kalian berdua. Tapi ada batasnya kaleeee.

“Sebetulnya kami sebel juga kalo mau ngumpul bareng selalu pusing dengan kalian. Maunya kami sih kalian ikut. Tapi kalau salah satu diajak, yang lain bakalan nggak dateng. Padahal kami ini butuh kalan berdua, bukan salah satu. Come on, be growing lah. Sakit sih sakit, tapi sebentar aja kok. Pertama-tama mungkin kalian kikuk. Tapi kan udahannya bakal biasa lagi?”

Dietrich masih menunduk waktu saya menyelesaikan kalimat saya. Ketika tidak ada lagi suara, kepalanya terangkat.

“Thanks ya Deb. Biarpun sakit dengernya, tapi nasihat kamu benar adanya. Mungkin aku memang orang yang nggak tahan menghadapi masalah. Aku sangat mencintai June. Tapi gentar ketika menghadapi cercaan kawan-kawan. Kadang aku berpikir, bagaimana bisa June tetap tenang menghadapi orang-orang yang mencela hubungan kami. Ketika aku berada agak jauh dari dia, aku memang merasa aman.

“Kalau sedang konflik pun rasanya aku ketakutan. Mungkin June sering kesal karena aku selalu menghentikan sepihak pertengkaran kami. Bagiku, yang penting perdebatan segera berhenti. Titik.

“Hei, apa kamu nggak pernah ribut sama Dinda? tanya saya.

“Dulu sering. Itu yang menyebabkan kami putus sambung berkali-kali. Tapi kelihatannya dia sudah mengerti bahwa aku tidak suka dengan keributan.”

“Kok bisa sih Dit?”

“Nggak tahulah Deb. Ingatanku masih kuat tentang pertengkaran Mama Papaku. Dan aku sangat nggak suka kalau mereka bertengkar. Belum lagi gaya Papa yang beberapa kali menyakiti Mama dengan punya WIL di sana –sini.”

Saya mengangguk-angguk. Semoga saja, Dit tidak sedang meneruskan apa yang Papanya lakukan. Ingin memiliki WIL. Dan kalau WIL itu June, sayalah orang pertama yang akan mengingatkan June.

“Guenggak tahu mesti gimana ngomongnya Dit. Tapi saran gue sih, hentikan keinginan kamu untuk tahu segala hal tentang June. Lebih baik alihkan perhatianmu sama Dinda. Dia akan jadi teman kencanmu seumur hidup, bukan? Bangunlah relasi yang kuat dengan dia,” tiba-tiba saja saya menjadi sok bijaksana. Padahal saya belum menikah. Hmm, apa gara-gara saya baca buku ‘Pernikahan Bahagia’ ya kemarin. Makanya saya pintar bicara, hehe. Pada Dit pula. Aduh! Serasa jadi orang NATO deh saya.

“Jadi, gimana kemungkinan untuk jadi tim suksesku, Deb?”

“Kasih aku waktu seminggu ya Dit. Kalau misalnya aku nggak bisa, nanti aku cari orang yang cocok untuk jadi tim suksesmu.”

“Okey Deb, thanks ya,” ujar Dietrich seraya meraih tangan saya dan menggenggamnya. Matanya berkaca-kaca. Saya tahu, hatinya sering sakit karena saya kerap berterus-terang terhadap hal-hal yang tidak tepat ia lakukan. Barangkali June tidak seberani saya. Ah, tetapi dia sahabat paling baik yang saya punya. Kalau dia suka flight jika menghadapi masalah, saya tak akan bosan untuk mencarinya kembali.

Sore itu langit Jakarta tampak cerah ketika kami berpisah. Secerah hati kami berdua. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun