“Deb, gila ya si Dietrich itu. Gue ilfil banget, ilfiiiiiil. Ih!” semprot June tiba-tiba.
Dia datang ke sekolah tempat saya mengajar sore itu. Lalu duduk dan mengomel-ngomel.
“Eit... ada apa nih? Elo ketemu dimana sama Dietrich?” tanya saya.
“Hhhh … gue sih udah nggak peduli lagilah sama anak itu. Even dia mau jadi Caleg kek, parpolnya nembus PT 3,5 % kek. Atau bahkan mau jadi menteri kek. Bodo amat! Gue nggak ada urusan!“ tukas June.
“Aduh, kok jadi gini sih. Eh June, elo ketemu dimana sama Dit?”
June terdiam sesaat. Lalu dia melanjutkan, “Deb, elo tahu kan Franky? Yang pernah gue ceritain?”
Saya mengingat-ingat sejenak. Ya ya, Franky. Dia itu supervisornya June. Sepertinya pria itu sedang naksir June.
“Franky, cem-ceman elo, June?” tebak saya.
“Iya, kami lagi saling pedekate Deb,” jawab June terus terang.
“Hehe, pedekate kok saling sih? Jadian ajaaaa.”
“Iya iya. Kalo cocok kami mau langsung jadian dan kalau perlu married sesegera mungkin,” sahut June dengan nada begitu yakinnya. Saya senang mendengarnya.
“Hmm bagus dong, Segera memulai hidup baru.”
“Iya tapi gue tetep butuh waktu Deb. Franky itu anak tunggal. Bokap nyokapnya ngarepin banget dia nerusin usaha mereka.”
“Ya, gapapa juga kan?”
“Iya gapapa. Tapi tetep jalanin aja dulu. Nggak melulu pake perasaan.”
“Wuih, keren banget pemikiran elo sekarang June,” puji saya.
“Itu kebutuhan tahuuu. Pacaran lalu kawin jangan cuma pake perasaan doang. Harus pake nalar dan logika juga.”
“Iya, iya. Tapiii, kok kedengarannya grasa grusu amat June? Apapun, meski seimbang antara perasaan dan logika. Jangan ketat itu dong ah logikanya, ” ujar saya keberatan.
“Hmmm .. iya gue ngerti. Aku sama Franky baru sebatas saling kenal satu sama lain. Dia sih udah cerita banyak tentang ortunya dan keluarganya, sama rencana dia untuk resign dari kantor tahun depan.“
“Terus , elo sendiri?”
“Terus di LPPP dong Deb. Gue seneng banget kerja di sini. Paling 2-3 tahun lagi baru keluar.” LPPP itu adalah nama lembaga survey tempat June bekerja sebagai asisten peneliti. Saya menduga, tahun depan dia sudah diangkat menjadi Peneliti apabila telah memperoleh sertifikat yang mengakui keahliannya dalam menggunakan uji statistik dan perangkat lainnya. Serta, tentu saja menyusun proposal penelitian yang sesuai standar.
“Baguslah. Tapi, hubungannya sama Dietrich apa? Kok elo sebel benget sih sama dia, pake ilfill seilfil-ilfilnya segala?”
June tersenyum malu-malu.
“Gue bingung Deb. Tadi malem waktu gue baru selesai teleponan sama Franky selama dua jam, gue tidur dan …” June tidak melanjutkan kalimatnya.
“Apaaan? Terusin dong June.”
“Masa sih gue mimpi si Dit. Nggak lucu ah! Mana di mimpi itu dia petantang petenteng lagi. Seakan bakal jadi orang besar.”
“Apa? Coba ulang?”
“Nggak ada siaran ulangan!”
“Elo mimpi si Dit?”
“He-em …“
“Nggak terbalik June? Bukannya harusnya yang elo mimpiin itu si Franky?”
“Gue juga nggak tahu. Mana bisa kita ngatur mau mimpi apa malem ini?”
“Oowww .. hanya ada dua kemungkinan June. Elo yang mikirin dia atau sebaliknya.”
“Gue? Gue mikirin si Dit? Ih, tak usahlah yaaaww… ngapain juga. Kurang kerjaan,” katanya sebal.
“Ya sudah kalo gitu, berarti si Dit lah yang mikirin elo,” saya membuat kesimpulan instan. Supaya perdebatan dengan June segera berakhir.
Saya tidak selalu percaya arti mimpi. Tapi saya percaya bahwa June tidak lagi memusingkan Dietrich. June dengan sadar harus beranjak dari kesedihannya. Ia pernah mengatakan kepada saya bahwa setelah kesedihan dan kemarahannya habis, ia tidak mau lagi ‘menoleh’ ke belakang alias masa lalu.
Tetapi Dietrich? Siapa yang tahu? Baru beberapa minggu yang lalu di malam minggu dia menelepon saya menanyakan June. Ah, tapi informasi yang ini saya tutup rapat-rapat saja deh. Dietrich sudah menikah. Dan ada Dinda yang harus menjadi prioritasnya. Bukan perempuan lain. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H