[caption id="" align="aligncenter" width="135" caption="Pindahan terus seperti musafir hehe"][/caption]
Andai boleh berbohong, aku lebih suka mengatakan kalau aku dari kota lain. Bukan dari Jakarta. Identitas ‘dari Jakarta’ seringkali menggangguku. Banyak orang yang aku temui langsung memberikan penghormatan lebih. Dan aku tidak terlalu suka hal itu.
Juli 2005
Bagaimana rasanya tinggal di rumah atau kamar kos sendiri? Seperti di surga -_-. Beban perasaan yang aku bawa-bawa setiap hari seketika terangkat. Aku malu sendiri menyadari bahwa ternyata aku tak kuat tinggal di rumah orang lain lebih dari sebulan.
Uhhhfff…. bagaimana ya dengan kawan-kawanku di kampus, juga murid-muridku yang tinggal bersama tante atau om-nya? Barangkali sama seperti yang aku rasakan. Selama 3-5 tahun mereka belajar, membawa beban perasaan. Tetapi aku tak bisa memaksakan sudut pandangku kepada mereka. Sesekali aku harus berada di posisi keluarga-keluarga yang rumahnya ditinggali orang lain. Mungkin para ayah dan ibu ini sering kesal kalau ada ‘anak tinggal’* yang pemalas. Jadi, aku belum bisa menyimpulkan banyak, sampai tinggal bertahun-tahun di kota ini dengan segala dinamikanya.
Tetapi masalah tempat tinggal, aku memang sangat otonom. Apakah didikan keluarga dan pengaruh kota besar membuatku demikian? Entahlah. Aku teringat ayahku. Meski kami punya rumah untuk ditinggali bersama, tetapi ia punya rumah khusus meski kecil, untuk ia datangi beberapa kali seminggu guna menyendiri. Aha! Ia sama sepertiku, seorang aloner sejati.
Setelah 4 bulan nge-kos di rumah besar dan full service itu, aku memutuskan pindah. Ada satu rumah kos-kosan di daerah Tipoeloe. Rumah ini ada 5 unit. Setiap unit ada 2 pasang kamar tidur dengan teras masing-masing. Teras itulah yang biasa digunakan oleh pemiliknya untuk memasak. Aku menderita kalau tidak bisa memasak sama sekali. Jadi, aku minta izin pada Tante Bana (ibu kos) untuk pindah ke rumah yang ada ‘fasilitas’ dapurnya. Tante Bana agak sedih ketika aku pamit. Menurutnya, aku adalah satu-satunya anak kos yang sering mengobrol dengannya. Rumah kos yang dikelola Tante Bana memang modern, beliau membuatnya demikian terinspirasi dari rumah-rumah kos di Yogyakarta dimana suaminya pernah mengambil Master di kota itu.
“Kapan kakak mau angkut barang?” tanya Sry kepadaku. Sry adalah pengurus inti di Pelmakris, mahasiswa tingkat akhir di Unhalu.
“Besok. Bantu nah?” pintaku.
“O iyo Kak, pasti itu. Nanti aku hubungi teman-teman untuk bantu Kakak angkut barang sekalian dipesankan pete-pete untuk bawa barang ke sana.”
Aku menepuk jidat. Bah, rasanya baru saja kemarin aku memesan pete-pete (angkutan kota) untuk membawa buku-buku dan satu koper besar ke rumah Tante Bana dari rumah Ibu Samantha. Kini angkut barang lagi.
Tak kusangka, rombongan yang mengantarku pindahan bukan main banyaknya. Aku geli sendiri ketika mereka ramai-ramai naik ke lantai atas untuk menurunkan barang. Tante Bana sudah kuberitahu bahwa hari ini akan ada banyak anak muda yang membantuku pindah kos.
Jarak antara rumah kos lama dengan yang baru hanya berjarak 2 kilometer. Kalau tidak salah, ongkosnya sepuluh ribu saja. Pete-pete berhenti di sebuah gang kecil, persis di seberang SMP Katolik yang lumayan kondang di kota Kencana. Lalu teman-temanku bergantian mengangkat barang-barang yang hanya terdiri dari dua macam; buku dan pakaian. Dua kali bolak-balik, selesai sudah urusan.
Di kamar kos yang baru, aku menyebutnya ‘Pondok Dimitri’. Dimitri adalah nama anak dari ex pemilik rumah. Pemilik yang baru mempertahankan nama itu karena katanya, banyak orang yang sudah kadung familiar dengan nama Dimitri. Luas kamarnya cukuplah buatku. Cukup untuk tempat tidur, menaruh dus-dus buku dan meja kecil untuk menulis. Di teras, aku gunakan untuk aktivitas memasak. Kamar mandi terletak di luar kamar, ada beberapa. Aku masih kebal dengan tempat-tempat yang tidak terlalu higienis dan kurang rapi. Pikiranku masih sibuk dengan jadwal-jadwal mengajar dan mencari pesanan orang untuk aku kirim ke Jakarta. Pikirku, urusan membersihkan kamar mandi yang kotor itu akan aku lakukan sambil jalan. Tapi mbak Gina, tetangga kos, langsung merekomendasikan kamar mandi paling ujung untuk aku gunakan. Kamar mandi itu yang paling bersih dan punya kunci khusus. Begitu tahu aku dari Jakarta, ia ingin agar aku bisa sedikit lebih nyaman.
Andai boleh berbohong, aku lebih suka mengatakan kalau aku dari kota lain. Identitas ‘dari Jakarta’ seringkali mengangguku. Banyak orang yang aku temui langsung memberikan penghormatan lebih. Dan aku tidak terlalu suka.
Tetapi lebih baik berkata apa adanya saja. Termasuk ketika sering ditanya, ‘bapaknya mana bu?’ atau ‘Mas-nya mana mbak?’ langsung aku jawab ‘saya belum berkeluarga’. Kalau ditanya lagi ‘kenapa belum menikah?’ akan aku jelaskan bahwa aku terlalu asyik bekerja dan sering bepergian untuk urusan pekerjaan. Biasanya pertanyaan akan berhenti di situ. Kalau masih ada yang penasaran dan bertanya kembali, ‘nggak kepingin punya anak, nona?’ aku sering ngerjain mereka dengan penjelasan, ‘saya mengasuh anak-anak di sekolah lho’. Kalau masih ada juga yang kurang kerjaan melanjutkan bertanya, ‘nah, mbak ini sibuk keliling-keliling kota sampai-sampai tidak sadar ada orang yang cocok untuk jadi suami seperti saya,’ biasanya saya sudah tak tahan untuk menjitak dia.
Demikianlah sifat sebagian besar masyarakat kita. Senang sekali ingin tahu urusan pribadi orang. Aku harus tahan diri sebelum protes dan marah pada mereka, sebab kadang-kadang aku sendiri pun seperti itu. Jadi lebih baik aku belajar memberi jawaban yang diplomatis ketimbang marah-marah.
Tinggal di tempat baru, meski tidak sebagus tempat semula jauh lebih baik buatku. Pertama, harganya lebih murah 3 kali dari harga sewa rumah kos lama. Kedua, bisa memasak. Seminggu pertama, aku menikmari euforia ini. Tapi masuk minggu kedua, aku mulai galau. Ternyata tempat ini sepi. Tiap hari aku susah payah bangun pagi. Satu-satunya ‘pihak’ yang membangunkanku hanya ayam jantan milik tetangga. Aku membayangkan, kalau tinggal di tempat yang ramai, jam 5 subuh sudah mendengar deru kendaraan di jalan raya dan aktivitas orang-orang berjualan. Itu amat menarik buatku. Tapi di sini, jam 6 pagi orang masih di kamarnya masing-masing.
Duh, parah sekali. Apa sebetulnya yang terjadi denganku? Mengapa sulit mengendalikan keadaan? Aku malu demi mendapati bahwa keadaanlah yang saat ini menguasai suasana hatiku. Tapi aku harus mencari jalan keluar. Harus mencari dimana lokasi tempat tinggal yang tepat. Dan intuisi adalah instrumen terpenting yang harus kugunakan.
***
Pada saat yang sama di sekretariat Pelmakris.
Sry dan Toga berencana mencari sekretariat baru. Sebagai Ketua dan Sekretaris organisasi, mereka memegang peran penting dalam setiap pengambilan keputusan. Hari ini mereka akan menyurvey rumah di daerah Mandonga, yang iklannya muncul di koran Kencana Pos kemarin. Mereka menghungiku minta ditemani. “Kak Melda, temani kami survey rumah di belakang Kantor Pos Mandala,“ pinta Sry.
“Ayo, saya temani ko,” jawab saya.
Pukul sepuluh tepat kami sudah berada di sebuah rumah yang letaknya tidak terlalu jauh dari jalan besar. Rumah dengan empat kamar tidur, ruang tamu yang bergabung dengan ruang keluarga berbentuk huruf ‘L’ dan di bagian belakang ada dapur dan kamar mandi yang bersebelahan menghadap satu ruang terbuka yang bisa digunakan sebagai teras belakang.
Ibu Kartika, pemilik rumah menjelaskan bahwa rumah itu bukan untuk disewakan tetapi untuk dijual. “Kalau kalian ada uang 60 juta, saya lepas rumah ini,” kata Ibu.
“Tidak bisa ka bu kalau kami sewa saja? Kan nanti akan ada uang juga terkumpul,” bujuk Toga.
“Ah, kalau cuma kontrak pertahun lama sekali kasian,” jawab Ibu Kartika.
“Jadi bagaimana?”
“Ya harus dibeli. Ini rumah mau kami jual, kalau ada orang kalian kenal mau cari rumah, tolong pi kasih tahu ini rumah,“ Ibu malah menawarkan kami jadi makelar rumah, hehe.
Akhirnya mereka membatalkan niat mengontrak rumah di kawasan Mandala itu. Tapi aku terpikat dengan rumah ini. Ketika melihat-lihat ruangan di dalamnya, seketika aku merasakan chemistry yang kuat dengan tempat ini.
Sepulang Toga dan Sry, aku menelepon Ibu Kartika. Apakah boleh nge-kos di rumah itu sementara menunggu pembeli? Ibu setuju. “Boleh saja, nak Elda. Sewanya seratus ribu sebulan, tapi listrik dan telepon bayar sendiri ya. Dan kalau ada orang yang mau tinggal di sini, nak Elda harus setuju. Jangan lupa, rumahnya dibersihkan sendiri karena tidak ada pembantu yang bersihkan.”
Sippp bu. Kalau soal membersihkan rumah, saya ratunya, teriakku dalam hati.
Belum genap satu bulan tinggal, aku sudah mengepak barang-barang di Pondok Dimitri. Aku tidak peduli bahwa awal Agustus harus berangkat ke Jakarta, untuk acara ke Medan selama satu minggu dan kembali ke Jakarta selama 1,5 bulan. Kepindahan kali ini tidak melibatkan teman-teman di Pelmakris, takut mereka menertawakan aku yang baru satu bulan pindah sudah pindah lagi.
Aku pindah diam-diam, barang-barang diangkut dan diturunkan ke/dari pete-pete oleh dua orang saja. Meski masih lelah, selesai menaruh semua barang aku langsung mencari karpet plastik dan mengalasi lantai di kamar utama dimana aku tinggal. Dwi Yani, asistenku mengajar di SMA tertawa ketika mendengar aku sudah pindah lagi. Dia menyarankan supaya aku membuat kue onde-onde sebagai simbol akan memasuki rumah baru.
“Aduh, mana sempat saya membuat onde-onde, hehe,” aku tergelak mendengar usulan Dwi. Dwi hanya tertawa. Kapan-kapan, katanya kalau aku pindah entah kemana lagi, harus disiapkan kueonde-onde. Oh, baiklah. Cuma aku malu kalau nanti bakalan sering memasak onde-onde pertanda sering pindah rumah, hihi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H