“Sejarah ditulis oleh pemenang” demikian pepatah mengatakan dan diamini oleh kebanyakan sejarawan. Tidak heran jika kemudian banyak fakta-fakta sejarah yang dikaburkan atau dibelokkan demi menyesuaikan dengan keinginan dan alur cerita yang dibuat oleh si “pemenang.” Pemenang selalu kelihatan sebagai pihak yang paling baik dan paling benar dan pantas memenangkan pertarungan.
Padahal sejarah adalah bagian dari masa lalu yang sangat dibutuhkan untuk introspeksi. Jika fakta-fakta sejarah sudah dikaburkan atau dibelokkan, maka tidak ada gunanya lagi. Dia tidak lebih hanya sebagai salah satu justifikasi saja dari sebuah gagasan dari kelompok “pemenang” tanpa peduli siapa dia. Bisa jadi dia memang seorang yang sangat baik dan patut dijadikan suri teladan, namun bisa juga dia adalah penipu licik yang tamak.
Kalau mau jujur, sejarah adalah kumpulan fakta-fakta di masa silam. Seorang sejarawan yang baik mestinya tidak menulis sejarah berdasarkan apa yang diskenariokan pemenang. Seharusnya dia menggali fakta-fakat yang ada. Jika fakta tersebut tersembunyi atau disembunyikan, maka tugas dialah untuk mencari kebenaran dari fakta tersebut. Satu hal lagi, seorang sejarawan seharusnya membatasi diri dalam mencoba menginterpretasi fakta-fakta tersebut, karena interpretasi merupakan salah satu penyebab biasnya sebuah sejarah. Biarlah publik yang menginterpretasi fakta-fakta tersebut berdasarkan logikanya sendiri. Kelak, kumpulan fakta itu akan menceritakan dirinya sendiri.
Di dunia ini, dalam setiap kejadian hanya ada satu versi saja sejarah yang benar. Sisanya adalah versi interpretasi berdasarkan fakta yang tidak utuh. Semakin sedikit fakta yang terkumpul, semakin banyak asumsi dan interpretasi yang dimunculkan agar dia menjadi sebuah rangkain cerita yang beralur dan bermakna. Jika sejarawan malas dalam menggali fakta atau suka membelokkan fakta, maka yang dipublikasikan tidak lebih hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur saja.
Pengaburan fakta sejarah bisa berakibat fatal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penghilangan kontribusi salah satu golongan bisa berakibat terjadinya kesalahpahaman. Generasi penerus dari pihak yang fakta sejarahnya dikaburkan akan merasa tidak punya andil dalam sejarah bangsa mereka sementara pihak yang lain, semakin tegas merasa bahwa pihak yang dihilangkan kontribusinya tersebut, memang tidak punya kontribusi apa-apa dalam sejarah masyarakatnya. Ketimpangan ini akan menimbulkan sikap saling curiga dan dampak buruk lainnya dalam kehidupan bermasyarakat di masa datang.
Lebih jauh lagi, pihak yang kontribusinya dihilangkan dalam sejarah akan merasa terpinggirkan. Mereka akan berusaha menunjukkan fakta-fakta yang ada melalui jalur-jalur yang tidak lazim. Buku-buku, koran-koran, majalah-majalah underground bermunculan menjadi corong menyuarakan fakta yang mereka yakini kebenarannya. Pada saatnya bukan mustahil akan menjadi gerakan massif yang berbalik menjadi sumber pemberontakan fisik.
Berhati-hatilah dalam menulis sejarah. Tidak ada pemenang yang kekal, karena kemenangan dan kekuasaan itu dipergilirkan oleh Allah SWT. Jika tradisi penghilangan sejarah terus menerus dipupuk oleh satu pemenang ke pemenang berikutnya, maka tidak ada pelajaran yang bisa diambil untuk kebaikan dimasa mendatang. Wallahu’alam.
Catatan:
Tulisan ini terinspirasi dari wacana penghapusan materi yang berkaitan dengan peranan Muslim dan Islam dalam perkembangan budaya di Inggris dan Eropa dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Inggris. Padahal Renaissance yang terjadi di Eropa merupakan salah satu buah dari keberhasilan budaya Islam. Pada saat itu Eropa sedang dalam masa kegelapan, sementara dunia Islam sedang dalam masa kejayaannya. Budaya Islam baik di bidang ilmu pengetahuan maupun dalam hubungan sosial kemasyarakatan berkembang dengan pesat sampai ke daratan Eropa terutama di Spanyol dan Italia. Banyak orang-orang Romawi dan Yunani yang belajar ke universitas-universitas di wilayah kekuasaan Islam yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakatnya yang pada gilirannya melahirkan Renaissance tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H