Tahun duka cita bukanlah tahun dimana istri tercintanya dan pamannya meninggal dunia. Akan tetapi tahun dukacita dikatakan demikian tersebab lebih besar kesedihan Beliau itu karena belum menggembirakannya perkembangan dakwah beliau. Selama ini banyak dari kita keliru asbab nya adalah pemahaman yang dangkal dan pengarus Penulis sejarah asing.
Sebab secara rasional, istri dan paman tidak lebih penting bagi Beliau bila dibandingkan daripada urusan ummat nya. Islam adalah totalitas perwujudan diri Rasulullah SAW, maka barang tentu tidak ada yang lebih berharga dari ''al-Din'' itu sendiri. Kita sama-sama menerima riwayat sahih yang menyatakan bahwa di akhir hayat nya sekalipun yang terucap dari lisan dan bibir beliau tiada lain adalah ''ummatku'' dan diucapkan sebanyak tiga kali.
Apalah kami ini ya Allah yang Maha Agung, dakwah kami belum banyak berkembang kami sudah buru-buru pulang, kembali ke pelukan anak istri kami di rumah. Tak jarang kami buru-buru pulang sesaat bel berbunyi, tak banyak dari kami yang peduli apakah bahasa arab sebagai bahasa kunci agama yang mulia ini yang kami ajarkan sudah dipahami oleh anak-anak yang kami ajari sebagai generasi penerus dakwah.
Untuk menggembirakan hati Baginda yang juga manusia biasa, bisa lara, duka, sedih, serta gundah gulana, maka Baginda pun di-isra' dan mi'rajkan untuk menerima hadiah termahal yang diberikan kepada Baginda beserta ummat nya. Sebab dengan hadiah ini pula lah kita berbeda dengan kuffar. Dengan hadiah ini pula kita menjadi ummat terpilih, diberi rahmat yang tidak diberi oleh Allah kepada ummat terdahulu. Hadiah ini pulalah wasilah Komunikasi antara hamba dengan Rabb nya, mengeluhkan segala nestapa dalam persoalan duniawinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H