Tulisan ini saya buat berangkat dari kesadaran pribadi bahwa, Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Entahlah, terlepas dari episteme dan perbedaan pemikiran tentang situasi carut marut bangsa saat ini. Kendati demikian, cukup bagi kita untuk membuka mata betapa kebhinekaan kita terus diuji.
Berbagai peristiwa terkait diskursus sosial budaya hingga politik begitu amat sering kita jumpai akhir-akhir ini. Baik yang kita baca di portal berita online, media cetak maupun yang terjadi direksa wilayah/lingkungan tempat kita tinggal.
Membaca realitas politik Indonesia seakan mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Ruang publik seakan menjadi locus pertunjukan aneka kekerasan, kebarbaran dan kericuhan. Saling serang dan baku hantam pendapat yang kadang minus nalar yang berujung pada legitimasi fisik atas nama kebenaran.
Entitas perbedaan dalam kebhinekaan seolah menjadi ancaman ruang publik yang merobek jantung keberagamaan.
Kebetulan saya sendiri aktif bermedia sosial, juga sering membaca tautan berita yang menyambang di timeline dan sesekini membututinya depa demi depa supaya tidak ketinggalan berita atau kudet.
Dua hari yang lalu tepatnya tanggal 5 November 2019, setelah ngumpul dan atau sekedar kongkow bareng dirumah teman, dan begitu tiba dirumah ketika saya menyalakan TV dan langsung disuguhkan dengan acara Indonesia Lowyers Club (ILC) di TV One.
Sepintas acaranya yang dipandu Karni Ilyas itu cukup 'seksi' ditonton karena mengusung tema "#ILCApadanSiapaYangRadikal?". Meski keseluruhan acaranya saya tidak ikuti inci demi inci atau dari sejak pembicaraan awal.Â
Saya jadinya kepincut, lagi penasaran dan ingin memastikan seberapa signifikankah bahaya radikalisme dan intoleransi di Indonesia sekarang ini. Pertanyaan ini sebenarnya sudah lama berlalu lalang dialam batok kepala saya.
Tapi ada satu kalimat yang sampai saat ini menjadi diskursus buruk ialah pada saat Direktur NU Online Savic Ali mengutarakan dan memberikan tanggapannya terkait tema yang dibicarakan. Yang menarik dari penjelasan Savic adalah perihal intoleransi. Dimana sekelas anak Sekolah Dasar (SD) saja sudah bisa mengkafir-kafirkan sesamanya dan tidak mau bergaul lantaran temannya itu beragama Katolik.
"Ado Mama ee.. Ko sarkas sekali ee ade nona..!" Pekiku sembari mulut menganga.
Jujur, saya sendiri merinding dan gemetar mendengar cerita (pengakuan) pak Savic tersebut. Bagaimana mungkin seusia kanak-kanak seperti itu sudah bisa mengidentifikasi dan membangun jurang pemisah antar sesama usianya karena berbeda kepercayaan? Naif sekali !