Everything is digital. Digitalisasi telah merambah setiap aspek kehidupan manusia. Membuat kita semakin mudah mengakses segala hal. Â Sekat antara jarak, ruang, dan waktu kini seolah telah terlipat. Era digital ini ditandai dengan kemudahan akses internet yang menyuguhkan segala informasi yang kita butuhkan dan inginkan. Namun dibalik kemegahan era digital yang memberikan pelayanan dan kemudahan, ternyata didalamnya menyimpan virus berbahaya yang bisa menyerang, terutama terhadap anak-anak kita.
Diantara beberapa penyalahgunaan internet oleh anak-anak kita. Hasil Penelitian Yayasan kita dan Buah Hati, pada tahun 2008 hingga 2010 yang silam, sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa SD di wilayah Jabodetabek mengaku pernah mengakses informasi pornografi. Selain itu kita juga bisa melihat sendiri bahwa anak-anak Indonesia semakin apatis dengan keadaan sekelilingnya. Sikap ini timbul karena mereka lebih asyik berinteraksi dengan teman dunia maya dibandingkan teman didekatnya. Kadang mereka duduk bersebelahan namun sibuk dengan smartphone masing-masing.
Ditambah lagi kegandrungan anak-anak terhadap game online yang menyebabkan beberapa efek negatif, diantaranya; malas belajar, kerusakan mata dan fisik, berpotensi meniru adegan kekerasan didalamnya. Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara, menyebutkan bahwa 32 persen anak muda di Indonesia tertarik mengakses konten radikalisme melalui internet.
Melihat fenomena diatas, bagaimana kaum muda kita bisa cerdas, mau bekerjasama, serta mempunyai semangat juang yang tinggi untuk mengisi kehidupan mereka, terlebih menciptakan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Apalagi, keseharian mereka tidak lepas dari aktifitas mengakses internet. Â Padahal anak-anak diasumsikan mudah tersugesti dan rentan terkena pengaruh. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJI), 143 juta orang telah terhubung ke internet. Dimana 50 persen penggunanya adalah mereka yang berusia antara 19-34 tahun.
Selanjutnya hal yang menarik adalah pertanyaan apa penyebab anak melakukan tindakan penyalahgunaan internet dan bagaimana cara mengantisipasinya. Menjawab pertanyaan pertama, tentu beragam faktor menyebabkan kasus ini, namun apabila diringkas faktor utamanya adalah minimnya pengetahuan anak akan media. Orangtua, terutama yang tergolong masyarakat urban sering memberikan kebebasan kepada sang anak untuk mengakses internet (agar tak mengganggu kesibukan kerja), namun lupa menyeimbangi dengan bekal pengetahuan media.Â
Orangtua terlalu abai, menyerahkan sepenuhnya proses belajar sang anak kepada institusi pendidikan formal. Padahal sebenarnya, keluarga adalah pendidik utama, terdekat, dan terbaik.
Maka untuk menjawab pertanyaan yang kedua tentu kita menyepakati bahwa orangtua, terutama ibu memiliki tanggungjawab besar untuk memberikan bekal bagi anak dalam menghadapi era digitalisasi, era media. Hal ini bisa kita sebut dengan pembelajaran literasi media. Seorang ibu mengajarkan tentang bagaimana konten dan efek media, tentu dengan bahasa yang sederhana dan dimengerti oleh anak.
 Sebagaimana kita ketahui, diusia dini seorang anak memiliki tingkat kritis dan keingintahuan yang tinggi. Jika ini dilakukan tentu anak akan memiliki filter secara alami terhadap konten-konten yang ditemuinya dalam internet. Bukan pengetahuan kurang benar yang terkadang ia peroleh dari teman sebayanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H