Mohon tunggu...
Rita Yuni
Rita Yuni Mohon Tunggu... -

cerpen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Langit yang Bisa Mendengar

9 April 2014   04:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:53 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air mata yang jatuh hari ini adalah air mata yang aku simpam, sejak umur aku dua puluh tahun.Tetesan air bening ini adalah bentuk rasa kecewaku,pada bapak, mama dan kedua kakak ku. Mereka orang-orang yang harusnya membinbing dan mengarahkan ku untuk bersikap, mana yang baik-buruk dalam bertingkah laku.Lagi-lagi mereka bertingkah laku sama, semua ini contoh yang sering membuatku bingung.

Betapa sadis cara mereka, selalu menjadikan aku tampak bodoh,untuk menutupi semua kesalahan dan kebohongan mereka.

“Aku kecewa… Ingin rasanya aku berteriak pada semua orang sekeras-kerasnya.Tapi aku hanya sendiri di sini, kini suara itu hanya berdendang riang di dadaku. Seandainya bisa aku lakukan,paling orang-orang yang sedang berlalu-lalang hanya menganggap aku orang stres.Kalaupun itu terjadi nggak apa,selama ini orang yang mengenalku sudah menganggap aku wanita paling gila dikampung.

Sesekali angin berhembus kencang, berserta debu jalan menerpa wajah aku.Cukup menyejukan di tengah teriknya matahari. Kerudung berwarna abu- abu yang menutupi kepala aku, adalah gambar perjalanan kehidupan aku.

Bapak, mama dan kakak, seharusnya kalian sadar diri, setelah apa yang terjadi pada kami yang sering tersandung, saat melangkah. Kalian telah menjadikan Lisa seorang penipu,karena hutang uang ratusan juta, akhirnya ia buron dan adik laki-laki aku menjadi seorang yang kurang punya pendirian. Padahal dia anak laki satu-satunya yang bias melindungi kami. Diusia aku empat puluh dua tahun, aku menjadi wanita yang sangat keras dan kurang peka pada lingkungan tempat sekitar aku tinggal

Semua contoh ini yang kalia berikan pada aku, anak bodoh yang nggak pernah terlihat, di keluarga, diri aku yang banyak bertanya dan memprotes kalian semakin membuat kebencian diantara kita. Seiring perjalanan waktu membuat aku bias menentukan mana yang baik dan buruk dalam kehidupan, semakin bertambah usia.Hari ini aku akan kehilangan seluruh keluarga besarku, keluarga yang seharus ada saat aku senang dan susah. Aku sudah lelah dengan hidup penuh kepalsuan.

“Bapak, mama, kakak dan adik menjadi miskin tidak hina dan dosa, di mata Tuhan.Berhentilah berbohong dan tinggi hati, karena semua itu yang membuat kehidupan keluarga kita hancur. Hanya langit yang mendengar suara hati aku, nggak terasa kini langit telah mendung, berwarna abu-abu yang kelamaan menjadi hitam gelap,di sertai rintik-rintik gerimis hujan, membasahi wajah Tari.Dua air di pipinya adalah perasaan lirih di hatinya. “Maafka aku Tuhan"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun