Mohon tunggu...
Rita Sugiarti
Rita Sugiarti Mohon Tunggu... Mahasiswa - profesi saya sebagai mahasiswa

Rita sugiarti kepribadian nya baik, hobinya suka shoping

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Empati dari Martin Hoffman

18 Januari 2025   19:37 Diperbarui: 18 Januari 2025   19:38 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

_ Teori empati Martin Hoffman merupakan salah satu konsep penting dalam psikologi perkembangan yang menjelaskan bagaimana empati berkembang pada individu sepanjang kehidupan mereka. Martin Hoffman, seorang psikolog asal Amerika Serikat, mengemukakan teori empati ini untuk memahami bagaimana seseorang mampu merasakan dan memahami perasaan orang lain, serta bagaimana proses ini berkembang seiring bertambahnya usia. Teori ini juga menyoroti peran empati dalam membentuk hubungan sosial dan moral individu.
_ Menurut Hoffman, empati tidak hanya terbatas pada respons emosional terhadap perasaan orang lain, tetapi juga mencakup kemampuan untuk memahami perspektif orang lain secara kognitif. Empati dapat dibagi menjadi beberapa tahap perkembangan, yang masing-masing mencerminkan tingkat kedalaman pemahaman dan respons terhadap perasaan orang lain.
1. Empati pada Usia Dini
Pada tahap awal perkembangan, khususnya pada bayi dan balita, empati lebih bersifat refleksif dan bersifat fisik. Bayi, misalnya, dapat merespons perasaan ketidaknyamanan atau kesedihan orang lain dengan menangis atau merasa cemas. Namun, respons ini tidak disertai dengan pemahaman kognitif terhadap perasaan orang lain. Hoffman menyebut fase ini sebagai "Empati Perilaku" karena bayi hanya meniru perasaan orang lain tanpa memahami situasi sepenuhnya. Pada tahap ini, anak-anak belum dapat membedakan antara diri mereka dan orang lain, sehingga mereka merasa terhubung secara emosional dengan orang di sekitar mereka.
2. Empati Simpatik
Seiring dengan bertambahnya usia, anak-anak mulai mengembangkan pemahaman yang lebih kompleks tentang perasaan orang lain. Pada usia 2 hingga 3 tahun, anak-anak mulai menunjukkan empati simpatik, yang lebih bersifat kognitif. Pada tahap ini, anak-anak mulai dapat merasakan perasaan orang lain dan mencoba untuk menghibur atau membantu, meskipun mereka belum sepenuhnya memahami sepenuhnya situasi yang mendasari perasaan tersebut. Misalnya, anak dapat menawarkan mainan atau pelukan kepada teman yang sedang sedih, sebagai upaya untuk mengurangi kesedihan teman tersebut.
3. Empati Kognitif
Pada usia sekitar 4 hingga 6 tahun, anak-anak mulai berkembang dalam hal empati kognitif, yang mencakup pemahaman lebih mendalam mengenai perasaan orang lain. Mereka mulai menyadari bahwa perasaan seseorang dapat dipengaruhi oleh situasi atau pengalaman yang berbeda, dan mereka mulai mengembangkan kemampuan untuk membayangkan diri mereka berada dalam posisi orang lain. Pada tahap ini, anak-anak mulai memahami bahwa perasaan seseorang bisa berbeda dari perasaan mereka sendiri, dan mereka mulai mampu menilai perasaan orang lain berdasarkan informasi yang tersedia.
4. Empati Moral
Hoffman juga menekankan pentingnya empati dalam perkembangan moral. Pada tahap selanjutnya, empati menjadi lebih terkait dengan kemampuan untuk merasakan ketidakadilan dan perasaan orang lain terkait dengan hak-hak dan kewajiban moral. Pada usia remaja dan dewasa, empati tidak hanya berfungsi untuk membentuk hubungan interpersonal yang baik, tetapi juga menjadi dasar bagi pengambilan keputusan moral yang adil. Remaja dan orang dewasa yang berkembang dengan empati moral cenderung lebih sensitif terhadap penderitaan orang lain dan lebih terdorong untuk bertindak secara adil dan bertanggung jawab dalam situasi yang melibatkan kesejahteraan orang lain.
_ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati
Hoffman juga mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan empati, termasuk pengaruh lingkungan keluarga, pengalaman sosial, serta faktor biologis dan genetik. Misalnya, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mendukung, penuh kasih sayang, dan terbuka terhadap emosi cenderung mengembangkan empati yang lebih baik. Selain itu, pengalaman positif dalam berinteraksi dengan teman-teman sebaya juga berperan penting dalam membentuk kemampuan empati. Faktor genetik juga dapat mempengaruhi seberapa besar seseorang memiliki kecenderungan untuk merasa empati terhadap orang lain.
_ Kesimpulan
Teori empati Martin Hoffman menggambarkan perkembangan empati sebagai proses yang bertahap dan melibatkan baik aspek emosional maupun kognitif. Mulai dari respons dasar pada usia dini hingga pemahaman moral yang kompleks pada usia remaja dan dewasa, empati memainkan peran penting dalam membentuk hubungan sosial yang sehat dan mendukung pembentukan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, teori ini memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana individu dapat berkembang menjadi pribadi yang sensitif terhadap perasaan orang lain dan bertindak berdasarkan empati dalam kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun