Mohon tunggu...
Rita Oktavianti
Rita Oktavianti Mohon Tunggu... -

independent, wrote ...wrote...and wrote

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indahnya Berbagi

26 Desember 2012   12:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:00 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya menulis cerita ini bukan karena pekerjaan saya yang kebetulan adalah sebuah lembaga social NGOyang concern dalam masalah penyandang disabilitas. Saya pernah berkata kepada seorang teman, dimanapun diperusahaan / lembaga apapun tempat saya bekerja, saya tidak ingin hanya perkutat di profesi saya yang adalah akuntan/finance, saya juga ingin belajar hal lain diluar dunia saya. Kalau kebetulan saat ini saya bekerja di sebuah NGO maka saya ingin belajar banyak hal tentang disabilitas dan diberi kesempatan untuk dapat berbagi dengan mereka.

Dikantor saya, ada satu perempuan hebat , saya memanggilnya Mba Sri, dari sekian banyak teman kantor, rasanya hanya dia yang benar benar total memperhatikan saudara saudara difable lain ( terutama yang berasal dari keluarga tidak mampu ), ia rela menghabiskan hari libur nya dengan mengunjungi penyandang difable , ia berkata “ mereka cukup bahagia bila ada orang yang peduli dan mau mendengar keluh kesah mereka”. Saya sering berdiskusi dengan mba sri tentang keberdaaan penyandang difabilitas yang beberapa masih dianggap hanya menjadi beban keluarga & masyarakat, apalagi bila ia datang dari keluarga dan lingkungan yang tidak mendukung secara financial dan pendidikan yang minim. Dari situ saya kemudian tergerak untuk mengetahui lebih banyak tentang mereka. Mba sri dengan senang hati menyambutnya, ia berkata “ aku tentu senang , tapi sebelumnya aku harus mengatakan kalau nanti kamu harus mantap, karena banyak yg akan kita datangikeadaannya benar benar tidak layak, bahkan kamu bisa muntah bila tidak bisa menahan bau nya “. Saya berkata “Insyaallah saya siap mba , kapan lagi saya punya kesempatan seperti ini “.

Sebelum saya bercerita banyak, ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang sosok mba sri , ia juga penyandang difabilitas, ia menyebut dirinya paraplegi, paraplegi adalah sebutan bagi penyandang kelumpuhan total di beberapa bagian tubuhnya. Mba srimengalami kecelakaan yang mengakibatkanseparuh bagian tubuhnya ( dari pusar hingga telapak kaki ) mati dan tidak berfungsi. otomatis ia tidak bisa berjalan dan 100% hidupnya tergantung pada kursi roda, mba sri datang dari keluarga petani sederhana di sebuah desa di perbatasan jogja klaten. Untunglah walalupun demikian orang tuanya member bekal pendidikan cukup , ia sempat mengenyam D1 di sebuah lembaga pendidikan sehinggaia bisa bekerja di lembaga social sebagai social worker. Karena keterbatasan fisiknya kemudian ia mengambil keputusan untuk tidak menikah dan akan mengabdikan sebagian waktunya untuk menolong teman teman penyandang disabilitas yang kurang beruntung, salah satunya adalah yang akan kami kunjungi dan saya ceritakan ini.

Kunjungan pertama kami adalah sebuah desa di seputar prambanan, di sana tinggal sebuah keluarga yang kalau boleh saya katakana kekurangan. Mereka memiliki anak gadis yang menderita kelumpuhan dan kebutaan total. Gadis itu bernama Hartati, usianya 20 an tahun. Ayahnya hanya buruh yang ketika kami datang tampak menutup diri, kami hanya disambut oleh ibunya , dibawalah kami menuju kamar Hartati, saya tidak bisa menyebut itu sebagai kamar. Yang mereka sebut kamar itu hanyalah sepetak sempit bagunan dari batako setengah permanen, pengap,lembab karena berjejeran dengan kamar mandi yang maaf hanya ditutup dengan kain terpal tipis. Lantai tanah, tampa jendela, hanya sekat bamboo yang saya yakin ketika malam hari pastilah dingin karena angin terlalu leluasa masuk ke dalam. Tempat tidur yang ala kadarnya dengan kasur tipis, disitu hartati tergeletak pasrah. Saya dan mba sri duduk di samping tempat tidur hartati ditemani sang ibu. “ iki nok, ditekani mba sri lo..( ini nak , mba sri datang ), hartati meraba raba tangannya, kami bergantian menjabat tangannya , “ ki mba sri ngajak koncone, ben nambah seduluran de’ ( ini mba sri membawa teman , biar bisa menambah saudara )”. Saya pegang tangannya , saya usap punggung tangannya “ iki mba rita, koncone mba sri de…”.Ibunya kemudian bercerita tentang perkembangan hartati, yang kurang menggembirakan, ada luka baru ( dubitus) di pantatnya, saya diperlihatkan luka itu, ada lubang kecil yang basah disamping lubang besar yang telah mongering. Mba sri bilang , jangan sampai luka kecil itu membesar dan merusak organ dalam nya, caranya setelah dibersihkan dengan NaCl tutup lukanya dengan kain kasa, jangan terlalu ditutup biarkan agak terbuka, dan berusaha ketika tidur dalam posisi tengkurap, karena bagian belakang butuh sirkulasi udara. Hartati bilang “ mba nek kulo turon mengkurep kulo njuk kliyengan je mba, niki ketambahan tangan kulo kados kapalen, mboten saget nyepeng kenceng “.Mungkin karena asupan nutrisi yang kurang , kondisi fisiknya tidak terlalu bagus. Saya usap tangannya , saya sentuhkan tangannya di pergelangan tanganku “ ki rasake tangane mba rita de’. Cilik to?...mba rita angel maem njuk dadi kuru, nek kuru mba rita gampang loro , endi sek flu endi sek masuk angin, de hartati lagi butuh tenaga sek okeh ben tangane kuat . maeme sek okeh yo de ‘”, hartati mengatakan akhir akhir ini mulai makan banyaksetelah minum jamu nafsu makan, saya pun bercanda “ ah sesuk mba rita tak melu melu ngumbe jamu ah….ben lemu yo de “.Kakinya cenderung mengecil dari hari ke hari. Mengenai kebutaannya Mba sri pernah memberikan tuntunan huruf Braille agar hartati belajar , tetapi hartati berkata “ kulo bingung mba, mboten saget, lah kulo kinten hurufe sami A nggeh kados A namung hurufe timbul, lah kulo gragap gragap kok mung titik titik, kulo nggeh nyeluk mak kulo, …mak iki piye to “. Mba sri pun berjanji akan mengajak temannya yang bisa mengajari hartati huruf Braille. Ibu hartati juga bercerita bahwa hartati sering marah marah sendiri dan memukul mukul kakinya dengan botol aqua bila ketika ia berusaha belajar menggerakkan meluruskan kaki dan tidak berhasil. Ibunya juga mengeluhkan tentang pelayanan di rumah sakit yang menomor sekiankan mereka. Sebenarnya keadaan hartati akan lebih baik secara spikis dan psikologis bila di ia belajar menerima dan berdmai dengan keadaannya, dan dukungan keluarga ( sementara yg terlihat sepertinya hanya ibunyalah yang sepenuh hati membesarkan hatinya), dan tentu saja kondisi lingkungan setidaknya lebih sehat , andai ada sekat permanen antara kamarnya dengan kamar mandi dan sekat bamboo itu diganti dengan daun jendela atau kayu, dan lantainya di floor mungkin akan lebih sehat untuknya. Tapi mungkin hanya itulah yang orang tuanya bisa berikan untuk hartanti. Setelah hampir satu jam bercakap cakap kami pamitan dan berjanji akan datang berkunjung lagi. “ kulo remen sanget mba, hartati niku sumringah nek wonten rencang mriki, lah mben dinten mung piyambakan teng wingking” ( saya senang mba, hartati pun senang bila ada teman yang datang mengunjunginya, karena hari harinya banyak sendiri di kamarnya ).

Tujuan kami berikutnya adalah sebuah desa di sudut kota klaten. Berdua mengendarai motor roda tiga milik mba sri kami menuju ke sana . yang ini keadaannya lebih mengenaskan lagi. Kami mengunjungi ibu sungatmi, ia korban gempa jogja 2006, tubuhnya tertimpa reruntuhan bangunan, ia paraplegi sama seperti mba sri, hanya kakinya mengecil dan tidak bisa lurus karena tidak pernah diterapi. Ia tinggal di rumah bobrok tampa penerangan dan hanya ditemani oleh kakak perempuannya yang menderita gangguan jiwa. Ia harus rutin mengkonsumsi obat untuk menenangkan otaknya, dan ternyata mba sri rutin datang mengunjunginya salah satunya untuk sekedar mengontrol apakah obatnya sudah hampir habis, karena pernah sang kakak mengamuk mengobrak abrik apa yang ada di depannya, untunglah tetangga datang sehingga adiknya tidak dilukai. Rumahnya kotor, bau ,tidak memiliki sumur ….sangat jauuh dari sehat. Ibu sungatmi telah diberi bantuan kursi roda postural dari lembaga social ( tempat kami bekerja ) tapi kursi itu masih teronggok di pojokan, kamipun bertanya “ kursi rodane kok dereng diagem bu ?, ibu kedah gantos kursi roda, niki sampun mboten sehat kagem ibu”( kursi rodanya kok belum dipakai bu? , ibu harus ganti kursi roda karena yang lama sudah tidak sehat), sang kakak yang menjawab “ pun kajenge, lah mengke nek rusak piye? Niku rak awis mengke mboten saget ngganti “( sudah tidak apa apa, nanti kalau rusak bagaimana, itu kan mahal ). Segera kami buka plastic pembungkus kursi roda itu, kami bawa di dekat tempat tidur bu sungatmi, “ ibu ini gratis, kalau rusak akan diganti , gak usah bayar, ibu harus pakai kursi ini, ada bantalannya jadi pantat itu gak sakit dan sehat “ karena ternyata ibu sungatmi mengalami dubitus yang lumayan parah yang apabila tidak diperhatikan tentu saja bisa menyebabkan infeksi, dan ibu sungatmi paraplegi sehingga separah apapun luka ia tidak bisa merasakan rasa sakit. Kami berdua tidak bisa memberi pengarahan terlalu banyak karena keterbatasanmereka , kami datang membawa perlak plastic baru ( agar kalau ibu sungatmi pup atau buang air kecil tidak terlalu mengotori kasurnya), mangontrol ketersediaan pempers ( bayangkan mba sri dengan uangnya sendiri membeli pempers dewasa ), dan buah buahan untuk mereka. Untuk makan sehari hari mereka mengandalkan belas kasihan tetangga sekitar. Setelah mengecek luka , ketersediaan obat untuk mereka berdua dan mengingatkan untuk segera meminta obat baru 5 hari lagi, dan sedikit arahan untuk belajar menggunakan kursi roda baru kami pamitan.

Sebenarnya dari lembaga social lain pernah datang , ada yang hendak membuatkan mereka MCK tapi sepertinya terganjal birokrasi pihak RT setempat ( saya juga kurang tahu detail ceritanya). Bantuan dari pihak DINSOS hanya bersifat sementara dan seketika, memang serba salah, di satu sisi ibu sungatmi dan kakaknya untuk kehidupannya memang harus tergantung dari bantuan orang lain ( bukankan UUD juga menulis fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh Negara ?). lebih mengenaskan mendengar cerita kakaknya tentang sebab kematian ibunya dulu “ lah simbok dikrikiti tikus”…Astagfirullah. Tranyuh rasanya , masih didapati kisah miris seperti ini, dan saya yakin ada sungatmi atau hartati lain diluar sana yang bahkan lebih parah keadaannya. Ingin rasanya bisa membantu mereka lebih tapi kami memiliki keterbatasan, karena kami datang atas nama pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun