Fenimisme, juga dikenal sebagai "emansipasi", adalah ideologi yang menghalangi gerakan perempuan. Semua aspek relasi gender diubah selama era Reformasi. Fakta bahwa perempuan kurang diperhatikan dalam hal ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan gender yang wajar. Di seluruh dunia, lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Adanya kesetaraan gender dalam hal hak, status, dan kedudukan adalah langkah untuk pemberdayaan fenimisme
Sejarah Munculnya Fenimisme
Kata lain untuk menganalisis gender adalah feminisme. Anne Oakley adalah orang pertama yang menggunakan kata gender. Dia memulai dengan mendorong orang di seluruh dunia untuk memahami bahwa sex dan gender adalah istilah yang sama tetapi berbeda. Dalam masyarakat Indonesia, istilah "sex" digunakan secara salah karena identik dengan istilah "hubungan jenis". Dalam bahasa Inggris, "sex" didefinisikan sebagai jenis kelamin yang dibagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Gender membedakan gender dari klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (fenimisme). Maskulin dianggap lebih kuat, lebih aktif, dan ditandai oleh kebutuhan besar akan dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya, fenimisme dianggap lemah, kurang aktif, dan berfokus pada keinginan untuk mengasuh.Â
Para pejuang awal gerakan perempuan pada abad ke-18 percaya bahwa peran perempuan dipandang rendah karena sebagian besar daei mereka miskin, buta huruf, dan tidak memiliki keterampilan. Dengan munculnya unsur-unsur demokratisasi sekuler, gerakan perempuan mulai menyadari bahwa keterbelakangan perempuan sebenarnya bersifat struktural dan bukan karena kebodohan atau kemiskinan. karena dominasi budaya partiarki laki-laki terhadap masyarakat menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam sistem masyarakat yang mana sistem ini dibangun. Kaum fenimisme berpendapat bahwa hegemoni laki-laki atas perempuan menoreh legitimasi dari nilai-nilai sosial agar hukum negara dan nilai-nilai lainnya diwariskan dari generasi ke generasi. Karena keadaan ini, mereka berjuang untuk mendapatkan kebebasan, atau emansipasi, dan melepaskan diri dari ikatan.
Ada beberapa ragam fenimisme
Pertama dan terpenting, kelompok Feminisme Liberal. Saat ini, kelompok ini sangat dominan, dan teori-teori tentang modernisasi dan pembangunan bergantung pada mereka.
Kedua feminisme Marxis. Teori konflik Karl Marx mendorong kelompok ini. Mereka percaya bahwa hak kepemilikan pribadi, atau properti pribadi, adalah institusi yang menghancurkan keadilan dan kesamaan kesempatan yang pernah ada dalam masyarakat, dan juga menyebabkan konflik terus-menerus dalam masyarakat.
Ketiga feminis radikal. Pada tahun 1960-an hingga 1970-an, gagasan feminis radikal berkembang pesat di Amerika Serikat.
Keempat gerakan ini terdiri dari kaum feminis lesbian, yang berpendapat bahwa keluarga heteroseksual sebagai institusi dan ideologi memberikan kekuatan kepada laki-laki. Hubungan inilah yang menjadi tempat pemerkosaan dan penindasan perempuan. Di sepanjang perempuan meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit bahkan tidak mungkin untuk berjuang melawan laki-laki.
Fenimisme Islam
 "perjuangan hak-hak perempuan". Di dunia Islam, konsep feminisme mungkin sudah dikenal sejak awal tahun 1900-an. Pemikiran-pemikiran penulis Mesir Aisyah Taymuriyah, esais Libanon Zaynab Fawwaz, Taj al-Salthanah dari Iran, Fatme Aliye dari Turki, kemudian Fatima Mernissi dari Maroko, Dr. Nafis Sadik dari Pakistan, Taslima Nasreen dari Bangladesh, Amina Wadud Muhsin, dan banyak orang Indonesia seperti Wardah Hafidz, Lies Marcoes, Nurul Agustina, Myra Diarsi, dll. Kaum laki-laki seperti Asghar Ali Engineer, Didin Syafruddin, dan lainnya juga mendukung feminisme. Mereka semua adalah "perintis besar" dalam meningkatkan kesadaran tentang masalah sensitif gender, termasuk melawan ideologi dan budaya masyarakat yang bermaksud menghalangi kebebasan perempuan.Â
Sebagai terminologi baru namun, hingga menjelang akhir tahun 1980-an, orang masih merasa takut bahkan hanya mendengar kata feminisme. Baru pada tahun 1990-an, feminisme dan hubungannya dengan Islam mulai diterima meskipun dengan sikap yang berhati-hati. Terutama setelah beberapa buku terjemahan diterbitkan, terutama karya-karya Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Asghar Ali Engineer. Sekaligus, dalam pikiran beberapa intelektual Muslim Indonesia juga mulai mengejar upaya "ijtihad baru" untuk merumuskan penafsiran yang lebih adil dan sejajar tentang isu-isu perempuan, seperti upaya yang dilakukan oleh Dr. Quraish Shihab, Dr. Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, dan Jalaludin Rakhmat.Â
Feminisme Islam secara umum merupakan alat analisis dan gerakan yang sesuai dengan konteks historis dan kesadaran baru dalam menanggapi masalah perempuan yang aktual, terutama terkait ketidakadilan dan ketidaksejajaran. Para wanita Muslim tersebut menyalahkan penafsiran teks keagamaan klasik yang cenderung misogynis dan patriarkis, sehingga menghasilkan interpretasi yang memihak pada laki-laki. Mereka memberikan contoh tentang hukum kepemimpinan (baik dalam lingkungan keluarga maupun politik), penguasaan keuangan, stereotip tentang hijab dan lainnya, yang dianggap membuat wanita kehilangan kemandirian ekonomi dan kemudian bergantung secara psikologis.Â