Mohon tunggu...
Rita Audriyanti
Rita Audriyanti Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumah tangga

Semoga tidak ada kata terlambat untuk menulis karena dengan menulis meninggalkan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

(PDKT) Diplomasi Buah Semangka

4 April 2015   10:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:33 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Rita Kunrat, No. 09

Sudah beberapa hari Putri tidak masuk kuliah. Demamnya tinggi. Ibunya sudah membawa Putri periksa kepada dua orang dokter spesialis penyakit dalam. Hasilnya, dokter pertama mengatakan Putri sakit hepatitis sedangkan dokter kedua menyebut putri mengalami infeksi usus dua belas jari. Entah mana yang benar, yang jelas, Putri masih terbaring lemah di rumah.

Sambil menunggu reaksi obat dokter, Putri istirahat di rumah. namun pikirannya terus tertuju pada perkuliahan yang akan memasuki ujian tengah semester. Yanti, teman akrab Putri beda fakultas, rajin menjenguk Putri ke rumah. Mereka menjadi semakin akrab ketika sama-sama mengikuti acara pelatihan Kepemimpinan di kampus.

Putri dan Yanti semakin cocok satu sama lain, mereka mempunya sikap yang sama, anti laki-laki.

Sebagai bunga kampus,  banyak kumbang  ingin hinggap di tangkai gadis hitam manis ini. Namun semua dianggap angin lalu.

Ketika masa pelatihan tempo hari, rupanya ada kakak senior yang terus memperhatikan Putri. Putri sama sekali tidak menyadarinya. Yanti lah yang membocorkan berita itu dengan hati-hati agar jangan sampai Putri tersinggung. Pada waktu bersamaan, Wati, teman Yanti dan Putri, tergila-gila dengan cara Bang Fahmi mengetuk palu di acara persidangan. Wajahnya yang lembut, tenang, tutur katanya yang dalam, dan sesekali mendehem diantara beberapa kalimat, sudah membuat hati Wati jatuh cinta alang kepalang.

“Put, liat, deh, Bang Fahmi….Duuuhhh….Sudah punya pacar belum, ya? Tanya Wati sambil memeluk lengan Putri.

“Mana Gue tau,” balas Putri sekenanya.

Hari ke empat Putri berbaring di rumah, tanpa disangka, datanglah Bang Tony, Bang Wem dan Bang Fahmi menjenguk Putri. Bukan main terkejutnya Putri. Dia merasa siapalah dirinya.

“Silahkan masuk, Nak,” ibunda Putri mempersilahkan teman-teman anaknya masuk.

Basa basipun terjadi antara mahasiswa-mahasiswa yang sebentar lagi akan tamat kuliahnya. Putri berusaha bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergabung dengan kakak-kakak seniornya.

“Hmm…Terimakasih ya, Bang Wem, Bang Tony dan Bang Fahmi sudah menjenguk saya.” Itu saja kata yang keluar dari mulut putri. Sedangkan para senior ini asyik bercerita tentang perjuangan mahasiswa kepada ayah Putri.

Setelah mereka pulang, ibunda Putri menyuguhkan beberapa potong semangka.

“Put, ini oleh-oleh tadi dari Nak Fahmi,” kata ibu sambil meletakkan sepiring semangka berwarna merah tanpa biji di atas meja.

Putri duduk lalu perlahan-lahan mengunyah semangka yang sangat manis itu.

“Hm, manis banget, Bu. Mau lagi, dong,” pinta Putri kepada ibundanya.

***

Sejak menjenguk Putri, pikiran Fahmi terus saja berisi wajah Putri. Wajah yang menarik perhatiannya ketika di masa pelatihan waktu itu. Sebagai pemateri masalah keuangan organisasi, pertanyaan-pertanyaan Putri membuatnya tertarik. Fahmi  menghayal tentang sosok Putri. Perasaan aneh semakin membebani batinnya hingga pelatihan usai. Bahkan kunjungan besuk ke rumah Putri, sebagai sebuah keberanian luar biasa yang dipaksakannya terjadi. Sepanjang jalan menuju rumah Putri, hati Fahmi menjadi tidak menentu. Butir keringat terus membasahi wajah kuning langsatnya yang jantan.

Putri sudah sembuh dan sudah kuliah lagi. Tidak ada alasan lagi sebenarnya untuk dibesuk. tapi Fahmi nekat mengunjungi Putri di Sabtu sore yang cerah. Fahmi ingin melawan perasaannya sendiri yang sudah mengganggu makan dan tidurnya. Aneh, wajah Putri terus membuntutinya.

“Ini tidak bisa didiamkan. Aku harus ketemu Putri,” gumam batin Fahmi.

Fahmi menyambangi rumah Putri. Sial, Putri tidak ada di rumah. Fahmi menunggu sampai pukul 9 malam. Ia menghabiskan waktu dengan ibunda Putri kesana kemari. Ibunda Putri yang selama ini galak terhadap teman laki-laki Putri, sore itu begitu damai dan akur dengan Fahmi.

Fahmi semakin berani dan sering berkunjung ke rumah Putri, meskipun Putri tidak selalu ada di rumah karena jadualnya padat mengisi pelatihan bagi yuniornya. Ketidak beradaan Putri tidak masalah bagi Fahmi. Ia semakin asyik dengan ibunda Putri. Sampailah di suatu malam, Fahmi menyampaikan luapan hatinya yang sudah membuncah.

“Ehem..”

“Bu, terimaksih Ibu sudah mengizinkan saya sering datang ke sini,” kata Fahmi sambil membetulkan letak kacamatanya

Pemuda kutu buku dan pekerja keras itu, tanpa tedeng aling-aling, curhat kepada ibunda Putri.

“Kalau boleh saya berkata jujur, Bu. Izinkan saya menjadi teman serius putri Ibu, Putri.”

Ibunda Putri terkejut. Tapi ibunda Putri senang dengan cara Fahmi seperti ini.

“Jangan tanya Ibu, Nak Fahmi. Tanya orangnya langsung aja, ya!?” kata ibunda Putri tersenyum.

Perasaan Fahmi semakin tidak menentu. Hari Rabu malam Fahmi nekat datang lagi ke rumah Putri. Beberapa gelas air putih, belum juga mampu membuat tenang hatinya yang semakin berdebar. Ia sudah tak sabar lagi ingin tahu sikap Putri.

“Putri…,” Fahmi membuka percakapan. Suasana hening. Keduanya terdiam. Putri menunduk. Ia menggigit-gigit bibir, Walau begitu, telinganya paling siap menerima masukan daripada indera lainnya.

“Aku sudah bilang Ibu, kalau kedatanganku kesini ingin menjalin pertemanan yang lebih serius dengan kamu, Putri.”

Entah kekuatan apa yang menimpa Putri malam itu, sikap kokohnya menolak laki-laki karena pengalaman traumatik masa kecilnya dimana seorang temannya hamil dalam usia SD, membekas buruk. Putri sampai pada kesimpulan semua laki-laki jahat.   Tapi, malam itu, semuanya runtuh bak gunung es menghadapi pergantian musim. Salah satu alasan Putri menerima Fahmi adalah karena sikap gentleman Fahmi yang berani berbicara dan memintanya kepada ibundanya. Suatu perbuatan langka yang mustahil terjadi dalam era pergaulan bebas saat itu.

***

Akhirnya Putri dan Fahmi menyebar undangan pernikahan mereka setelah setahun saling mengenal lebih jauh. Ella, adiknya Putri, menggoda pasangan calon pengantin baru ini, “Uhuuuy….Buah semangka berdaun sirih. Jadi penganten, nih.” Semua tertawa bahagia.

--------------

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun