Mohon tunggu...
Rita Audriyanti
Rita Audriyanti Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumah tangga

Semoga tidak ada kata terlambat untuk menulis karena dengan menulis meninggalkan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nyaris Jomblo karena Trauma Teman Pacaran

1 September 2013   10:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:32 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin judulnya aneh. Kok, orang lain yang pacaran, situ yang jadi jomblo? Emang iya, masalah buat, lo! :D. Ini bukan fiksi tapi realita. Ketika masih jadi orang baru di Jakarta pada tahun 1969, tepatnya saat saya berusia sepuluh tahun, saya menyusul orangtua ke Jakarta. Diantar nenek tercinta, sampailah saya dan seorang adik perempuan saya di pelabuhan Tanjung Priok dengan menumpang kapal Belleabeto. Kami berangkat dari Teluk Bayur, Padang. Masa yang ditempuh saat itu dua hari tiga malam. Bergabunglah kami dengan ayah bunda dan dua orang adik yang sudah lebih dahulu ke Jakarta bersama ibu. Kalau ayah datang pertama. Biasalah, tipikal keluarga miskin yang ingin mengadu nasib di perantauan, datang keluarga pun secara bertahap.

Tidak lama, saya didaftarkan masuk sekolah, pas bersamaan dengan mulainya tahun ajaran baru, bulan Januari. Sekolah saya dan adik-adik saya adalah sebuah emperan dari bangunan tua milik orang Cina di daerah Palmerah. Kalau tidak lupa namanya Han Tju Buh. Saya sendiri tidak tahu pasti ada apa di dalam gedung tua yang cukup besar itu. Yang pasti adalah sebelah sisi kiri bangunan yang nampak kokoh, dengan dinding bercat putih dan atap hijau itu diberi beberapa sekat dinding bambu hingga membentuk dua lokal. Disanalah kami belajar. Saya diterima di kelas IV SD. Seingat saya, teman sekelas saya sampai kami tamat tetap berjumlah dua puluh satu siswa. Waktu belajar kami dari siang hingga petang.

Paling seru dari sistem persekolahan ini adalah bahwa setiap hari kami para murid harus menjemput guru kami satu-satunya ke rumahnya yang tidak jauh dari rel Kereta Api, yang sekarang menjadi kantor Koran Kompas. Kalau hari Jum'at kami diharuskan mengikuti solat Jum'at di masjid dan hasil 'pandangan matanya' harus dilaporkan kepada pak guru sebelum pelajaran dimulai. Siapa yang tidak ikut solat, meskipun murid perempuan, maka siap-siap saja penggaris kayu melesat di telapak tangan kami sebagai hukumannya. Keseruan lainnya adalah lokal kami ternyata juga dihuni secara bergantian dengan kambing-kambing yang berteduh, lalu meninggalkan kotorannya untuk kami sapu sebelum menjemput pak guru. Teman-teman saya kebanyakan orang Jakarta asli dan beberapa orang Sunda dan Jawa. Hanya saya sendiri yang orang Minang. Awal masa sekolah disini merupakan masa-masa sulit bagi saya untuk menyesuaikan diri, maklum, belum lancar berbahasa Indonesia, apa lagi ber-lu, gue....hihihi.

Ketika kami kelas enam, disinilah bibit gangguan itu bermula. Boleh dipastikan, semua teman perempuan sekelas saya sudah punya pacar dan masuk dalam kategori berpacaran aktif. Buktinya, jika sudah berkumpul, baik sebelum kelas dimulai atau pada saat jam istirahat, sambil main lompat tali atau jajan bihun goreng dalam pincuk daun dan minuman es serut warna pink, teman-teman yang sudah punya pacar asyik mendongeng pengalaman pacaran mereka yang menurut ukuran saya sulit disebut pacaran ala monyet alias Cinta Monyet. Apa lagi jika hari Senin tiba....beeuu...sisa-sisa aktifitas malam Minggu masih menampakan bukti otentik berupa tanda merah-merah di leher, sehingga kalau dilakukan visum cukup sebagai bukti.

Tidak lama kemudian, kami akan menghadapi ujian akhir kelulusan SD. Saya dengan seorang tetangga yang berbeda sekolah, mengambil pelajaran tambahan. Maklum pula, bahwa sekolah saya itu ternyata statusnya juga menumpang dengan sekolah lain. Dan mutunya sangat pantas dipertanyakan. Oleh karena itu orangtua saya memberi saya ekstra belajar bersama setiap hari dengan guru dari sekolah lain. Saya serius ikut Bimbel.

Apa yang dilakukan teman-teman saya lainnya disaat saya sibuk Bimbel dan beberapa teman lainnya belajar lebih keras lagi? Sebagai 'orang seberang' saya merasa dalam 'tekanan'. Adalah suatu kewajiban kalau ada PR untuk 'menyetor' kepada teman-teman perempuan saya. Jika menolak maka pengucilan dan sindiran sarkas akan menghujam jiwa saya. Mengalah adalah kata keramat yang sebaiknya saya ambil. Toh, ternyata saya tidak menjadi bodoh dengan memberi contekan. Tetapi sangat terganggu ketika menghadapi ulangan-ulangan karena posisi duduk saya pun diatur sedemikian rupa. Yang asyiknya, jika 'sajen' sudah saya berikan, uang jajan dari orangtua bisa saya simpan karena mereka tidak pelit berbagi dan traktir.

Tibalah hari-hari yang menentukan itu. Kami murid 'Sekolah Emperan' datang lebih awal untuk bergabung di sebuah sekolah dimana tempatnya pantas disebut sekolah di daerah Petamburan. Disini kami mengikuti ujian akhir kelas enam selama tiga hari, kalau tidak salah. Alhamdulilah, dari dua puluh satu murid, tiga orang dinyatakan lulus dan lainnya gagal. Salah seorang diantara yang tiga itu adalah saya dengan nilai pas-pasan. Walau pas-pasan dan tanpa berbuat curang, saya masih masuk ranking tiga, bukan..... ?:D

Masih terngiang dengan jelas bagaimana di malam yang esoknya kami akan ujian, seorang teman saya mengajak menonton ke bioskop. Jelas saya menolak. Si teman ini tetap berangkat dengan pacarnya. Esoknya ketika hari H ujian, karena kulitnya yang putih nampak jelas 'warna-warna cinta' di bagian tubuhnya yang dipertontonkan tanpa rasa malu dan bersalah. Jangankan malu berpacaran bebas seperti itu, dinyatakan tidak luluspun tidak masalah baginya. Bahkan, satu dua bulan kemudian, kawan saya ini dinyatakan hamil tanpa jelas siapa yang harus bertanggung jawab.

Akhirnya saya berpisah dengan teman-teman SD. Namun selama bergaul dalam pertemanan yang tidak sehat itu, membuat luka jiwa saya. Trauma ini bahkan menimbulkan suatu tekad dalam hati bahwa saya tidak akan mau menikah. Hubungan laki-laki dan perempuan itu ternyata menjijikan! Saya 'selamat' dari tidak berpacaran selama usia sekolah.

Kenapa akhirnya berkeluarga?

Tuhan Maha Tahu mana yang terbaik bagi hambaNya. Singkat cerita, DIA mengutus seseorang menjenguk saya yang sedang sakit. Seorang pria teman seorganisasi. Tekad saya masih sama, tidak mau menikah seumur hidup. Contoh baik sudah dibuktikan oleh tante saya yang hidup sukses tanpa pendamping. Skenario Tuhan rupanya di luar batas pengetahuan saya. Lelaki gentleman ini tidak mengatakan apa-apa tentang cintanya kepada saya. Dia meluluh lantakkan tekad saya hanya karena dia meyampaikan maksud baiknya kepada ibu saya. Dan ibu saya pun termasuk ibu yang 'galak' kepada teman-teman pria anak-anaknya. Saya terkejut dan mulai goyah. Tiada pegangan untuk menerima atau menolak. Sampai di suatu malam ia mengulang kata-katanya yang telah disampaikan kepada ibu saya dan ibu menyerahkan keputusannya kepada saya. Bismillah. Setelah saya beristikharah saya menemukan jawabannya. OK, kita jadian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun