No. 19 (Rita Audriyanti)
Emosional!
Begitulah sifat Mas Bram yang sudah sangat dipahami Ranti delapan tahun berpacaran. Sejak malam perpisahan SMA dulu, Mas Bram dan Ranti saling jatuh cinta. Mas Bram menyatakan cintanya yang cuma main-main ketika mengantar Ranti pulang ke rumah, tepat pukul dua belas malam. Mas Bram memang manusia aneh. Senang memainkan angka dan kata-kata. Angka dua belas teng itu adalah angka iseng-ieseng bagi Mas Bram, yang penting dua belas. Ranti yang merasa dirinya gagal bercinta di masa sekolah, nekat saja menerima pernyataan iseng Mas Bram.
“Ranti….I love you!” kata Mas Bram tiba-tiba.
Kata cinta itu diucapkannya ketika hendak pamit. Supaya bertambah romantis, Mas Bram meraih ujung jari Ranti lalu sedikit mengecupnya.
Ranti terkejut dan salah tingkah.
Mas Bram lalu melangkah mundur pelan-pelan. Ranti masih berdiri mematung sambil memandang Mas Bram hilang ditelan remang malam.
Semalaman Ranti tidak dapat memicingkan matanya. Baginya ucapan Mas Bram serius. Dan membuktikan, Ranti bukan cewek gagal seperti ocehan teman-temannya yang sudah memiliki pasangan.
Malam itu, awal percintaan Ranti dengan Mas Bram.
***
“Paspormu sudah?” tanya Mas Bram memastikan persiapan backpack dua sejoli ini menuju Singapura.
“Beres.” Balas Ranti melalui hapenya yang dikepitkan antara telinga dan bahunya, sementara tangan kanannya memasukkan perlengkapan pribadinya ke dalam ransel di atas tempat tidur.
Pukul 6.15 Mas Bram sudah muncul di beranda rumah Ranti.
Mereka meluncur dengan sebuah taksi menuju bandara Cengkareng.
Seharusnya pagi ini cerah bagi Ranti. Namun lagi-lagi, hal sepele telah melukai hati Ranti. Kata-kata cemburu Mas Bram tadi malam sudah sangat berlebihan. Bukan cuma cemburu yang tanpa alasan membuat Ranti kesal namun kata makian dan cacian yang kesekian kali diumpatkan kepadanya sangat menyakitkan.
“Hei, Nyet….ngaku aja lah. Kurang bukti apa lagi sih?” suara Mas Bram terdengar menggelegar dari hape menusuk gendang telinga Ranti.
Ranti tak mampu lagi meyakinkan Mas Bram bahwa gurauan Pratomo, teman sekantor Ranti dua hari lalu tentang foto bersama Ranti di kantor yang terkesan seperti orang habis berciuman, benar-benar memanaskan hati Mas Bram.
Plak!
Mas Bram melempar hapenya ke lantai berkapet lusuh di kamar kosnya. Untung tidak sampai rusak.
Sepertinya suasana hati Ranti masih terbawa masalah semalam. Sedangkan Mas Bram sudah lupa. Bukan melupakan. Matanya asyik menatap pemandangan di luar yang nampak mulai macet di jalur sebelah kanan.
Mata Mas Bram lalu menatap Ranti. Tersenyum.
Ranti membuang muka.
Lalu membalikkan lagi pendangannya ke mata Mas Bram dan tersenyum. Tersenyum miring dengan gerakan pipi yang sedikit menaik ke atas. Mas Bram meraih tangan Ranti. Menepuknya tiga kali, dan berkata, “ Selamat pagi, Nona manisku.”
Ranti mengangguk seadanya lalu membuang pandangan ke luar jendela taksi.
***
Menunggu lima menit di ruang keberangktan, suasana sudah kembali cair. Canda Mas Bram yang terkenal gokil itu sudah mampu membuat Ranti lupa peristiwa semalam.
Tak lama petugas mengumumkan agar para penumpang menuju pintu ke berangkatan.
Deru suara pesawat membisingkan telinga. Mas Bram dan Ranti berlari kecil ketika melintas jalan menuju tangga pesawat berbiaya murah.
Tak banyak mereka bercakap selama di perjalanan yang memakan waktu satu jam lebih. Mas Bran dan Ranti, masing-masing menghabiskan waktunya dengan tidur. Membalas rasa kantuk karena kurang tidur.
Suara awak kabin memberi tahu bahwa pesawat akan segera mendarat, membangunkan pasangan ini.
Udara berkabut asap di sekitar bandara Changi. Mas Bram dan Ranti tidak menaruh perhatian.
***
Sebagai bakcpacker kelas menengah, mereka habiskan waktu dengan naik Bus Hop On Hop Off untuk city tour. Kemudian mereka singgah dan mengambil foto-foto di Marina Sand Bay dan patung Merlion, simbol negara Singapura.
“Hei, mata!”
Tiba-tiba suara Mas Bram mengejutkan Ranti.
Tangan kekar Mas Bram begitu saja mendorong pipi Ranti agar beralih pandangan.
Ranti terkejut. Belum sempat bertanya, tiba-tiba dua jari Mas Bram, sudah menyolok biji mata Ranti. Beruntung Ranti refleks menutup matanya.
Sadis!
Mas Bram mulai marah lagi. Suasana tegang lagi.
Akhirnya keduanya berjalan membisu menuju stasiun bawah tanah di Rafles.
Dalam perjalanan menuju stasiun Harbourfront, tak ada kata yang meluncur dari bibir Ranti. Juga Mas Bram.
Dinginnya AC kereta apai cepat ini, ikut membekukan hati Ranti yang mulai menguak lukanya.
“Ayo, turun,” ajak Mas Bram.
Keduanya tiba di tempat tujuan.
Setelah bertanya kepada petusa keamanan, mereka memutuskan berjalan kaki menuju Universal Studio.
***
Suasana sudah damai lagi. Percakapan biasa, lancar lagi. Sambil mengunyah popcorn, Mas Bram menyandarkan tubuhnya ke senderan bangku panjang tak jauh dari monumen globe yang terkenal itu. Mereka tidak bernafsu mengambil foto di sini.
Mas Bram mulai iseng mengganggu dan menggoda Ranti. Ranti membalas sambil menitipkan pesan agar Mas Bram sedikit merubah laku dan sikap.
Tiba-tiba Mas Bram berdiri, berkacak pinggang.
Plak!
Pertama kalinya telapak tangan laki-laki itu hinggap di pipi Ranti.
Ranti terkejut. Diam.
Sambil mengusap pipinya, Ranti menatap tajam mata Mas Bram. Suara napas marahnya agak menderu.
Ranti bangkit. Diam sejenak. Lalu mengambil ranselnya. Meninggalkan Mas Bram yang mematung.
Keterlauan!
Mas Bram sudah tetrlalu, pikir Ranti.
Air mata hangat mulai bergulir jatuh satu demi satu di pipi Ranti.
Ia berjalan terus. Sendirian meninggalkan Mas Bram yang mulai dibencinya.
“Aku benci kamu Mas Bram.” pekik ranti dalam hatinya.
tangis Ranti semakin deras walau menahan suara.
Tanpa disadari, keduanya semakin terpisah.
Mas Bram pun terus duduk terdiam di bangku tadi. Pastinya ia sedang menyesali lagi perbuatannya. Seperti kebiasaannya selama ini. Kemudian mengumbar kata maaf.
Dan kali ini Ranti sudah bulat. “Tiada maaf bagimu, Mas Bram!”
***
Ranti sudah duduk di kursi nomor 14B. Tidak mas Bram di sebelahnya. Sepertinya hari ini akan terjadi keputusan besar untuk pasangan beda karakter ini. Ranti tidak berusaha menelpon Mas Bram. Juga tidak berusaha mencari keberadaan Mas Bram di dalam pesawat.
Pesawat mulai take off. Rant mamboing much melalui gondola pesawat. Anew juga, sedikitpun tick ada keinginan menacer tahu keberadaan Mas Bram
“Ah, masa bodo lah. Nanti juga tau-tau nongol di rumah,” pikir Ranti. Itu kebiasaanMas Bram dengan kejutan-kejutannya selama ini sehebat apapun pertengkaran mereka.
Pukul delapan malam lebih sedikit, Ranti tiba di rumah. Sejenak dibaringkan tubuh penatnya di atas kasur. Matanya menerawang. lalu diambilnya hapenya. Tapi dibatalkan lagi saat akan menekan nomor Mas Bram. Ranti lalu membersihkan diri ke kamar mandi.
“Non…Noonn…Ada telpon,” suara Mbok Minah memanggil Ranti.
Suara air hangat dari shower menutup pendengaran Ranti. Apalagi ranti pun mandi sambil bernyanyi. melepaskan ketegangan perjalan tadi siang.
“Nooon….,” si Mbok mengulang lagi sambil mengetuk pintu kamar mandi lebih keras.
Ranti berhenti menyanyikan lagi favorit mereka berdua Mas Bram “And I love You So”. Lalu membuka pintu kamar mandi sedikit saja sambil menerima hape dari si Mbok.
“Hello. Good evening.” Suara seorang perempuan memperkenalkan diri dari sebuah Rumah Sakit di Singapura.
Ranti terduduk lemas. ia menjerit. Meraung dengan tubuh masih bersabun.
Kabar dari Singapur memberi tahu bahwa Mas Bram telah meninggal dunia karena kecelakaan.
Mas Bram terkena sengatan listrik ketika ia melintas di sebuah bangunan yang dalam pengerjaan. Mas Bram mengambil jalan pintas untuk mengejar Ranti . Tapi ia tersandung kawat baja lalu sebuah arus listrik liar menyengat tubuhnya… Mati!
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (disini)
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (disini)
Selamat membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H