Ehem! Mari sama-sama tengok rumah, atau kamar kerja kita masing-masing. Atau ruang dimana Anda selalu beraktifitas di situ? Gimana? Bersih, rapi atau berantakan? Jangan malu, akui saja. Maunya, sih, selalu rapi dan bersih. Bisa begitu asal ada si mbak atau pembantu yang merapikan dan membersihkannya. Atau malah Anda dengan tegas melarang siapapun yang coba-coba berinisiatif membersihkan dan merapikan ruang Anda yang bak kapal Titanic pecah itu. No way!
Kalau ruang rapi dan bersih, kita nyaman melihatnya. Â Barang-barang terletak di tempatnya secara pasti. Itu mainstream, kata anak sekarang. Orang yang kamarnya berantakan juga suka melihat kamar rapi tapi itu bukan keharusan. Messy is a choice, katanya. Tapi anehnya, Â orang yang suka berantakan ternyata juga tahu dimana benda-benda itu adanya. Kalau ada yang berinisiatif merapikan menurut caranya maka semakin sulit mencari apa yang dibutuhkan si pemilik ruang itu.
Hasil studi
Hasil studi dari University of Minnesota menunjukkan bukti bahwa rumah atau kamar yang berantakan menandakan pemikiran yang lebih kreatif. Lebih lanjut dikatakan bahwa lingkungan berantakan menunjukkan orang ingin melawan arus  dan menggunakan pikiran mereka untuk mengerjakan ide-ide baru yang tidak biasa. Mungkin sebagai bukti kita bisa merujuk ruang kerja yang kacau balau tetapi si pemiliknya malah mampu menerobos posisi-posisi srtrategis.
Lalu apa hubungannya antara kamar berantakan dengan kreatifitas?
Saya introspeksi, deh. Siapa tahu saya termasuk orang kreatif. Bangun subuh lalu sholat. Kemudian menyiapkan Sarapan untuk keluarga. Mereka pergi kerja ke kantor dan ke sekolah, saya tetap di rumah. Saya mulai mengerjakan urusan rumah tangga tanpa pembantu: membersihkan rumah, menyuci dan mengeringkan pakaian (oleh mesin). Siang menjelang petang masak di dapur. Siap-siap menunggu suami dan anak pulang. Waktu saya banyak sekali. Dan saya habiskan lebih banyak di depan komputer untuk membaca, menonton dan menulis, terus menulis  dan menulis. Meja makan tempat saya menulis rapi dan bersih. Lalu dimana berantakannya? Dimana kreatifnya.....hahahahaa.  * Ada kok hasilnya berpikir kreatifnya, itu ada tulisan-tulisan di Kompasiana dan beberapa buku ;)
Kalau ke Jakarta, saya dan suami harus beri tahu dulu ke si sulung bahwa kami akan mampir. Pesan ini adalah suatu keharusan. Setidaknya jangan pernah bilang mau datang secara mendadak. Biasanya setelah lewat dua puluh empat jam akan ada jawaban dari si jomblo ini: Siap. Silahkan mampir.
Waduh. Ke rumah anak sendiri harus pakai pesan segala. Emang begitu, kawan. Sepengetahuan saya sebagai ibunya, sejak masih sekolah dulu, si sulung ini paling berantakan kamarnya. Sebagai ibu, saya tidak tega membiarkan kamarnya seperti habis kemalingan. Acak-acakan. Tapi ini justru perbuatan salah karena dia jadi repot mencari barang-barangnya.
Begitu juga ketika dia sudah menjadi mahasiswa. Saya menemukan semacam Mini Botanical Garden dan Mini Zoo di kamarnya. Remah roti sudah tumbuh jamur. Ada biji kacang sudah keluar kecambahnya, Bekas botol air mineral dan susu di mana-mana. Buku, kertas, pulpen, pensil, alat-alat keperluan arsitekturnya dimana-mana. Gambar atlas dunia sudah singit di dinding. Selimut dan kasur jangan ditanya. Sajadah sepertinya tidak pernah dilipat. Ada semut beriring. Kalau ditanya mengapa seperti ini? Jawabnya tidak ada waktu. Lah, ngapain aja kamu, nak? Ternyata tugasnya kuliah sambil kerja, membaca di perpustakaan hingga dini hari atau mengerjakan tugas di kampus sampai larut malam bahkan pulang pagi, tidak ada waktu lagi untuk berbenah. Ketika ada sedikit waktu, bukannya BBM (Bebenah Beberes Masak) malah jamming, nge-jazz dengan teman-temannya. Rileks. Atau pergi ke klub arsitektur, atau ke pelosok-pelosok kumuh dengan geng LSMnya. Atau main bola. Lain kali saya diajak singgah ke kantor suami. Masuk ke ruang kerjanya yang luas. Sama dan sebangun dengan sang anak. Like father like son. Yaahh...mudah-mudahan mereka termasuk orang kreatif.
Berpikir dan berbuat kreatif perlu waktu
Boleh jadi studi di atas benar adanya. Bagi orang-orang pekerja keras (workaholic) dan pekerja kreatif, waktu dua puluh empat jam sehari dirasa tidak cukup untuk memenuhi ide yang berhamburan minta ditampung dan disalurkan. Pikiran terus berjalan. Komunikasi dan interaksi meningkatkan berbagai ide-ide baru. Â Hasilnya, berbagai buah kreatifitas bermunculan. Soal rapih, bersih atau berantakan, bukanlah fokus mereka. Tidak ada masa dan perhatian kepada hal remeh temeh itu.