Mohon tunggu...
Rita Safari
Rita Safari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki hobi menulis dan membaca hal-hal yang berkaitan dengan hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Tambang Timah: Memahami Kerugian dan Tanggung Jawab Hukum

29 April 2024   13:30 Diperbarui: 29 April 2024   13:30 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: cnbcindonesia.com

Korupsi telah menjadi sebuah wabah sosial yang merusak di berbagai sektor, tak terkecuali di industri pertambangan. Manipulasi dalam proses perizinan, praktik suap-menyuap, dan penggelapan pajak menjadi ancaman serius bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan kasus megakorupsi dalam tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung, yang mengguncang dengan menjerat sejumlah tokoh ternama, termasuk mantan direktur PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi, dan beberapa figur publik lainnya.

Pengungkapan kasus ini menjadi sorotan karena tak hanya melibatkan tokoh-tokoh terkemuka, tetapi juga mengungkap dampak serius terhadap lingkungan hidup dan masyarakat setempat. Kerugian ekonomi yang mencapai triliunan rupiah bukanlah sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari ekosistem yang terganggu dan kehidupan masyarakat yang terancam.

Awalnya, pengungkapan kasus ini memperlihatkan kerja keras dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dalam melakukan proses penyelidikan. Mereka menggunakan metode case building, sebuah strategi yang memungkinkan penanganan kasus dengan lebih komprehensif, menghasilkan ancaman hukuman yang lebih berat bagi para pelaku, serta memperkuat dasar hukum yang diterapkan.

Namun, penggunaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 (Permen LH 7/2014) sebagai dasar perhitungan kerugian lingkungan masih menuai kontroversi. Peraturan tersebut, sekalipun memiliki tujuan baik, tidak sepenuhnya relevan dalam konteks penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dalam kasus ini, keberhasilan penanganan tidak semata-mata diukur dari kerugian finansial semata, tetapi juga dari dampak sosial, lingkungan, dan keadilan yang terwujud.

Ahli lingkungan, seperti Bambang Hero Saharjo dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menyoroti bahwa kerugian lingkungan tidak hanya berupa kerugian finansial, melainkan juga kerugian ekologis dan sosial yang berdampak jangka panjang. Dalam hal ini, Permen LH 7/2014 mungkin tidak cukup memadai sebagai instrumen penilaian kerugian lingkungan secara menyeluruh.

Untuk menegakkan keadilan lingkungan, tidak hanya diperlukan upaya dari aparat penegak hukum, tetapi juga kebijaksanaan dari lembaga peradilan. Putusan yang dihasilkan harus mampu memberikan sanksi yang sepadan bagi para pelaku korupsi, serta memberikan dasar yang kuat bagi upaya pemulihan lingkungan dan pencegahan kerusakan lebih lanjut di masa depan.

Kasus korupsi dalam industri pertambangan timah ini adalah cerminan dari kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan. Selain menuntut ketegasan dalam menindak pelaku korupsi, juga membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup bagi generasi mendatang.

Negara memiliki peran krusial sebagai penanggung jawab dalam mengatur dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab negara atas pemulihan alam, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang -- Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab sebagai pemegang amanah publik untuk memastikan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Melalui konsep ini, diharapkan bahwa penegakan hukum tidak hanya mengejar keadilan dalam arti sempit, tetapi juga keadilan bagi alam dan masyarakat yang terdampak. Tanggung jawab hukum dalam menegakkan keadilan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam upaya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks ini, perlu adanya kerja sama yang erat antara berbagai lembaga, termasuk aparat penegak hukum, lembaga peradilan, serta institusi pemerintah dan masyarakat sipil. Hanya dengan sinergi yang kuat dan komitmen yang kokoh, kita dapat mewujudkan visi keadilan lingkungan yang inklusif dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun