“Hai, Getta, makan di kantin yuk…”, cewek itu lagi. “Nggak lapar”, jawab Getta singkat dan tetap duduk di tempatnya. Yuna cemberut, menatap Getta penuh harap, ia belum menyerah, “Kok gitu sih…”, tanya dia manja. “Ini kan udah istirahat siang” “Eh, cebol, lu nggak denger Getta ngomong apa?”, entah dari mana Jonas muncul. Dia mengacau lagi dengan menarik kuncir rambut Yuna. “Aduh!”, pekiknya terdengar sampai ke sudut kelas. Molly yang lagi asyik menggambar di kursinya sampai kaget. Melihat Yuna memukul Jonas membabi buta untuk membalas tingkah jahilnya. Sejak Getta ada di sini, Yuna dan Jonas mirip kucing sama anjing. Ribut terus. Molly cuma ketawa, sejak ada Getta entah kenapa suasananya jadi beda. Jadi ingat jaman SMP, di mana ada Getta dan Jonas pasti bakal heboh. Sayang, sekarang, Chika nggak ada di sini untuk melihat semua ini. Rasanya ingin mengulang masa-masa itu lagi. Tapi, Chika sedang apa ya sekarang? Tiba-tiba suasana jadi hening, saat lagi memperhatikan Jonas dan Yuna lagi ribut berlarian ke penjuru kelas, ada seseorang yang masuk. Memancing semua perhatian yang sekarang bertumpu pada sosok tinggi yang melangkah dengan santai dan membawa hawa yang berbeda. Seorang cowok, yang mungkin nggak asing lagi bagi Molly yang melongo, menunggu cowok itu sampai di hadapannya. “Hai”, sapa dia –cowok di ruang kesenian kemarin. Molly mendadak gugup –seperti biasa bingung lagi, ditambah salah tingkah. Dengan takut-takut, ia membalas cowok itu dengan senyuman grogi. “Aku kira kamu bakal balik ke ruang kesenian lagi”, kata dia, seolah nggak peduli sama sekitarnya. “Soalnya…” Molly menatapnya bertanya-tanya, kenapa dia nyamperin sampai ke kelas segala? Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu menaruhnya di atas meja Molly, “Kemarin kececer di ruang kesenian”, jelasnya soal krayon biru. “Hah?”, Molly memandangi benda itu, mencoba mempercayai bahwa ternyata krayon yang dicari-cari dari kemarin nggak beneran hilang. Ia mengambil benda itu, dengan bodohnya, mengamati krayonnya untuk memastikan bahwa yang dibawa cowok itu benar-benar miliknya, padahal memang, “Hm… makasih…”, ucapnya ragu-ragu. Cowok itu melihat ke sekelilingnya, tapi ia seolah nggak melihat orang-orang yang ada di sana. Ini kelasnya Molly, kata dia lewat tatapannya yang tenang sebelum mengulurukan tangannya, “Aku Richard”, ia berkata dengan ramah, “Aku siswa kelas tiga” Bingo! Benar kan, cowok itu memang anak kelas tiga? Pantas tampilannya agak… dewasa. Molly terdiam sejenak, menatap Richard, sebelum ia membalas uluran tangan cowok itu, “Mo… Molly Andreata…”, jawabnya –gemetaran. “Namanya manis…”, cowok itu tersenyum, melepas uluran tangannya, dia tampak ingin segera pergi karena menyadari sesuatu, “Oke, aku pergi dulu ya… sampai ketemu lagi, Molly” Molly masih tegang, memandangi langkah Richard yang berakhir di ambang pintu. Begitu Richard nggak terlihat lagi, Molly baru sadar di kelas ini bukan dia sendiri. Ada Getta yang duduk di kursinya, Jonas dan Yuna yang jadi berhenti main-main, juga beberapa cewek yang entah kenapa gigit jari. --- “Cowok playboy”, Jonas mendengus. Getta melirik ke arahnya, masih terbayang, gimana Molly membalas uluran tangan anak kelas tiga itu. Di depan wajahnya dan Molly benar-benar nggak menoleh padanya sedikitpun –seolah-olah Getta nggak ada di depannya, seolah-olah Getta nggak melihat gimana Molly membalas uluran tangan cowok itu dengan malu-malu. Tiba-tiba jadi ingin menggerutu sendiri, terus kenapa?. Toh, itu bukan urusannya. Tapi, kenapa ya Getta kesal banget sama cowok itu? Mentang-mentang kelas tiga, dia kelihatan seenaknya masuk ke kelas orang dengan gaya belagu. “Nggak nyangka deh, cewek kayak Molly digodain sama Richard juga…”, di belakang Getta, Yuna ikut berkomentar saat mereka akhirnya menuju ke kantin sama-sama –sedangkan Molly tetaptinggal di kelas (habis nggak diajak). Dua orang ini jadi kompak banget ngomongin kakak kelas mereka itu –di mana kata-kata ‘playboy’ selalu di ulang-ulang. Jonas dan Yuna lebih tahu karena ini tahun kedua mereka sekolah di sini. Tapi, apa mau dikata? Mau marah? Nggak mungkinlah! Lagian mau marah sama siapa? “Kalian pergi aja sana”, kata Getta tiba-tiba, sambil menghentikan langkahnya. “Lho?’, Yuna heran, “Kok gitu sih, Get?” Jonas nggak komentar, kayaknya mengerti kalau Getta merasa sangat terganggu dari tadi. Menarik kuncir rambut Yuna, “Yuk!”, ajaknya sambil menyeret Yuna yang menjerit lagi. “Jonas, sakit!”, teriaknya berusaha melepaskan diri. Tapi, tetap aja mengekor walaupun kesal setengah mati –Jonas benar-benar memaksanya untuk nggak bikin Getta tambah mumet. Sebenarnya Yuna heran, mood Getta berubah drastis gara-gara Richard. Ada apa ya?, dia bertanya sambil menoleh ke belakang sebentar, memandangi punggung Getta yang semakin jauh di pandangan matanya. --- ‘GUE BOSAN NIH, PELAJARANNYA LAMA BANGET’, kata Chika dalam SMS-nya yang dikirim setengah jam yang lalu. ‘KENAPA NGGAK BOLOS AJA?’, balas Getta lalu menyimpan hp-nya di dalam saku setelah memastikan pesannya terkirim. Belakangan ini Chika jadi pengeluh. Sedikit-sedikit mengadu soal yang nggak terlalu penting. Dari semalam mungkin udah ada seratus SMS yang masuk dari Chika. Getta menghela nafas, sambil menyandarkan punggungnya ke anaktangga. Angin sepoi-sepoi bertiup dan bikin ngantuk, kayaknya Getta bakal bolos lagi seperti kemarin. Ia mulai memejamkan mata –ingin tidur. Ingin melupakan beban itu untuk sejenak karena ia mulai berpendapat bahwa tidur melindungi kita dari sesuatu yang nggak ingin kita rasakan. Itu memang benar. Tapi, ada suara-suara yang mengganggunya. Suara-suara orang yang sedang berbicara dengan nada meninggi –seperti bertengkar. Getta mengintip hati-hati ke dalam –lorong lantai 2 yang sepi yang jarang didatangi karena di sini nggak ada ruang kelas, hanya gudang dan laboratorium yang jarang dipakai. Terperanjat, Getta membeku beberapa saat. Menemukan dua orang sedang berdebat dan ia bisa dengan jelas mendengarnya. “Apa sih salahku sampai kamu jadi kayak gini?”, seorang siswa perempuan, yang Getta kenal sebagai teman sekelasnya yang jutek –Lara yang dikejar-kejar Jonas setengah mati itu! “Sudah, Lara!”, lelaki yang berdiri di depannya nggak lain dan nggak bukan adalah gurunya sendiri, Pak Heru –wali kelas mereka, “Saya terlalu dewasa untuk kamu dan saya nggak ingin kamu mendapat masalah” Ada apa di antara mereka? Lara menangis, ia menarik tangan Pak Heru, memaksanya untuk nggak pergi dan mendengarkan permintaannya, “Aku mohon, jangan begini… kamu tahu aku nggak punya siapa-siapa lagi…” “Saya mengerti, Lara…”, Pak Heru berujar dengan tenang, “Justru karena itu kamu harus bangkit, berusaha untuk jadi lebih baik…” “Aku nggak bisa, Heru…” Apa? Lara memanggil guru dengan namanya saja? Getta lebih syok lagi! “Aku mohon… aku nggak mau berakhir seperti ini…”, pinta Lara lagi. “Tolong saya, Lara…”, balas Pak Heru, dengan tatapan yang sama seperti yang diperlihatkan Lara padanya. “Jika ini dilanjutin, sama-sama nggak baik untuk kita” Lara masih merengek, tapi ia nggak lagi menghentikan Pak Heru yang hendak pergi. Kasihan melihatnya begitu, menyeka air matanya berulang-ulang yang nggak juga berhenti menetes. Getta jadi bingung, heran, campur aduk pokoknya. Ternyata di sekolah, ada pula yang begini. Nggak nyangka! Lara masih berdiri di situ, kelihatan terluka dan belum berhenti nangis. Sampai dia dengar sesuatu dari tangga darurat. Hp Getta bunyi! Pasti SMS dari Chika! Ketahuan deh kalau ia barusan menguping! Lara berlari ke arah tangga darurat dengan perasaan cemas. Terlambat, Getta nggak sempat kabur. Lara menemukannya terduduk di tangga karena tergelincir. --- “Ada yang lihat Adhia Getta dan Lara Sophia?”, Bu Sandra kelihatan marah. Nggak ada seorang pun yang berani menjawab. Mereka sama-sama tahu, kalau tadi Getta dan Lara masih ada di jam pelajaran pertama dan kedua. Bu Sandra tersenyum penuh arti –Getta mungkin nggak tahu kalau Bu Sandra sangat berbakat dalam menghukum siswa yang suka bolos mata pelajarannya, Matematika. Sampai-sampai nggak pernah ada lagi yang bolosdi kelas matematikanya, “Oke”, dia berkata dengan tenang, “Kita mulai pelajarannya” Pelajarannya dimulai, tapi Molly gelisah memandangi kursi kosong di depannya. Besok Bu Sandra pasti menghukum Getta. Apa ya hukumannya? Selama Bu Sandra berdiri di depan sana, Molly terus-terusan khawatir. Memang sih, ini bukan pertama kalinya Getta bolos. Dan Molly juga kaget, dulu Getta kan anaknya baik banget –nggak ketus dan cuek kayak sekarang. Tapi, lebih nggak nyangka lagi kalau ternyata sekarang Getta suka bolos –memang di sekolahnya yang lama Getta juga suka bolos? Parahnya, kayaknya nggak ada yang kasih tahu ke dia supaya jangan bolos di kelasnya Bu Sandra. Begitu kelasnya usai dan Bu Sandra pergi meninggalkan banyak PR, semua mengeluh. Guru cantik sih titelnya tapi pemarahnya minta ampun. “Gue jadi curiga…”, komentar Jonas yang duduk di kursinya Getta, “Bolos berdua, aneh nggak sih?” “Getta sama Lara?”, balas Yuna, dengan ekspresi sangsi, “Nggak mungkin!” Jonas tiba-tiba berdiri, “Gue harus cari tahu deh”, katanya, lalu pergi. Yuna cuma angkat bahu, kelihatan cuek. Memang dia suka Getta, tapi toh cuma karena mukanya agak mirip Kim Bum –artis Korea itu. Sifatnya bertolak belakang! Getta itu nggak pernah senyum, sering nyebelin dengan jawabannya yang asal-asalan dan malas. Siapa sih cewek yang nggak keki dicuekin? Namun, tiba-tiba dia jadi kepikiran sesuatu saat melihat Molly sedang memasukan bukunya ke dalam tas dan siap-siap mau pulang. “Eh, Molly”, tegurnya sambil duduk di kursinya Getta dan menatap Molly serius, “Beneran lo, Getta dan Jonas satu SMP?” Molly terkejut ditanyai mendadak, tertunduk, ia menjawab dengan pelan, “Iya…”, jawabnya, lalu menatap dua bola mata bulat Yuna yang besar dan riang penuh rasa ingin tahu, “Kenapa?” “Nggak sih…”,Yuna lagi berpikir, “eh, dulu Getta emang nyebelin gitu ya?” Molly menggeleng, seingatnya Getta nggak secuek itu. Dulu Getta termasuk cowok yang periang dan disukai. Itu kan dulu. Molly juga nggak tahu kenapa dalam setahun Getta berubah drastis. “Hm…”, Yuna mengangguk-angguk, “Apa dulu dia punya pacar?” Molly kaget, pacar? Pertanyaan itu bikin Molly jadi bingung. Apa ya? Dulu Molly merasa kalau Getta suka padanya. Tapi, karena Chika juga suka, terpaksa Molly mundur. Waktu kelulusan, ternyata mereka memang jadian. Benar-benar membingungkan kalau dijelaskan. “Aku nggak tahu…”, jawab Molly, “Setelah lulus SMP nggak pernah ketemu lagi…” “Masa…”, Yuna putar otak lagi, “Tapi, Jonas kemarin bilang ke gue kalau dulu Getta pernah suka sama cewek di kelasnya” Molly terdiam. “Dasar, si Jonas reseh…”, gerutunya sambil berdiri dari kursi Getta, kembali ke kursinya sendiri, “Masa dia bilang kalau Getta nggak bakal suka sama gue? Dia bilang Getta nggak suka sama cewek agresif” Kata-kata jujur Yuna bikin Molly melongo. “Enak aja dia bilang gue agresif!”, gerutunya sambil menyandang tas dan kayaknya bakal pergi. “Yah, gue kan cuma mau berteman…” Molly tertunduk saat Yuna tiba-tiba menoleh lagi padanya. “Tapi… kalau diingat-ingat soal kemarin…”, katanya lagi, dengan wajah tanpa ekspresi, “Waktu Richard masuk ke sini dan lo lagi salaman sama dia, tepat di depan Getta yang kayaknya syok, terus dongkol nggak karuan, gue jadi ngerasa kalau yang disuka Getta itu… elo…” “Hah?”, Molly membelalak. “Yah…”, dia terlihat santai-santai aja, “Kalau yang dibilang Jonas bener; Getta nggak suka cewek agresif, dia punya alasan buat suka sama lo kan?” Molly nggak tahu harus bilang apa. Yuna tiba-tiba tersenyum, “Aneh deh…”, komentar dia lagi, “Dari tadi gue juga perhatiin lo terus-terusan mandangin bangkunya Getta. Heran, kalau sama-sama punya perasaan tapi kenapa di depan orang lain kalian tuh kayak nggak saling kenal?” Pertanyaan Yuna bikin Molly jadi sedih. --- “Terus, sekarang rencana lo apa?”, tanya Getta. Lara angkat bahu, “Gue juga nggak tahu”, jawabnya, murung. Menatap lurus ke depan, seolah ia bisa menemukan jawabannya ada di halaman yang mulai ramai oleh anak-anak yang mau pulang. “Kalau ketahuan lo bisa dikeluarin dari sekolah”, Getta mengingatkan, “Gue sih… nggak ngerti sama hal yang begituan… tapi… kalau dia emang nggak peduli sama lo lagi, itu udah menjelaskan semuanya…” Lara menggeleng, hampir menangis, ia menahan nafas, “Lo nggak bakal ngerti…” “Lo bener. Gue nggak bakal ngerti”, balas Getta menghembuskan nafasnya, sadar sudah waktunya pulang. Jonas pasti sedang mencarinya. Begitu, menoleh ke belakang, temannya itu sudah berdiri di pintu, memandangi mereka heran. Lara dan Getta? Sejak kapan? Jonas mematung, menemukan Lara baru saja menghapus air matanya. “Kalian…”, lidahnya kelu. Sikap Lara mendadak berubah. Begitu pula ekspresinya yang tadi kelihatan sedih sekarang datar. Caranya menatap Jonas juga –kembali nggak bersahabat seakan bibirnya ingin memaki. Tanpa bicara apa-apa, dia langsung pergi. Tanpa pamit atau bilang sesuatu. Ada apa sih?, Jonas hanya bisa menyaksikannya pergi lagi dan lagi. Getta belum bicara. Kelihatan sadar kalau Jonas pasti salah paham. Mengira kalau sekarang Getta juga punya niat sama Lara –meski logikanya itu sangat nggak mungkin. Tapi, apa yang dia lihat mungkin bertolak belakang sama pendapatnya. Bingung, Jonas akhirnya meluncur dengan kesal. Meninggalkan Getta yang bahkan nggak sempat mengucapkan satu kata pun –membantah bahwa mereka cuma kebetulan ketemu. Jonas nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Lara. Dan Getta nggak bisa mengatakannya karena sudah janji sama Lara nggak akan menceritakan apa yang dia lihat sama siapapun. Ternyata Jonas beneran suka sama cewek ini. Tanpa tahu, kalau Lara lebih berbahaya dari yang mereka tahu selama ini. Dan, kayaknya segigih apapun Jonas mencoba, Lara nggak akan suka padanya. Getta kesal dan menggerutu sepanjang jalan menujuke kelas. Tapi, waktu melihat Molly masih ada di sana –sendirian, iajadi melupakannya sejenak. “Kamu…ngapain masih di sini?”, tanya Getta menghampiri. Molly yang duduk di kursinya tersenyum, “Tas kamu…”, jawabnya dengan suara yang amat kecil. Tapi, bisa terdengar jelas karena di kelas sudah nggak ada siapa-siapa selain mereka. Getta meraih tasnya –sesuatu yang dia ingat dan mengharuskannya kembali ke sini. Ternyata Molly sengaja menunggunya. Cewek itu sama sekali nggak berubah. Di sekolah seluas ini dan orang-orang yang begini ramai, dia selalu kelihatan beda. Beda karena dia selalu sendirian. Seperti Lara. Mereka nggak disukaikarena dianggap memiliki sifat yang ekstrim. Ternyata nggak di mana-mana –baik itu di sekolah yang lama maupun di sini, selalu ada hal-hal seperti ini. --- Molly nggak bicara. Getta juga nggak mengatakan sesuatu untuk meringankan hatinya. Sejak Getta ada di sini, ini pertama kalinya mereka berada di satu tempat berdua. Rasanya aneh dan bingung. Molly nggak tahu cara memulainya karena dulu biasanya Getta lebih banyak bicara. Sekarang, cowok ini, kelihatan lebih pendiam. Cara bicaranya juga. Dia nggak lagi ramah; seolah tertukar oleh seseorang yang lain –yang bukan Getta, selama mereka nggak pernah ketemu. Tapi, apa yang tersisa yang bisa dikatakan? “Kamu pulang sama siapa?”, Getta akhirnya bertanya, saat mereka sudah sampai di halaman sekolah. “Dijemput Papa”, jawabnya sambil tetap melangkah. “Papa kamu nggak kerja?”, tanya Getta lagi. “Ya, habis ngantar sampai rumah, balik ke kantor lagi”, jelas Molly, menoleh ke sampingnya. Berusaha tersenyum, berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Walaupun, entah mengapa rasanya sedih. Teringat sesuatu yang pernah terlupa olehnya –dan jika saja Getta nggak pindah ke sini tiba-tiba, ingatan itu juga nggak akan kembali bersamaan dengan dirinya dan Molly nggak perlu harus merasa gelisah seperti ini. “Memang kenapa sih kamu harus dijemput? Bukannya bisa pulang sendiri?”, Getta bertanya lagi. “Memang rumah kamu jauh ya dari sini?” Molly tertunduk, “Aku…”, ia ingin mengatakannya tapi ragu. “Getta!”, suara panggilan seseorang mengalihkan perhatian Getta darinya saat Molly ingin mengaku. Getta kaget, begitu juga dengan Molly, yang sama-sama menemukan bahwa Chika tengah berlari ke arah mereka. “Lo lama banget sih!”, gerutu Chika sambil mengatur nafasnya begitu ia sampai di depan Getta. Masih mengenakan seragam sekolah dan menyandang tasnya. Keduanya diam. Lalu Chika berdiri dengan tegap di depan Molly, “Hai”, sapanya dengan senyum ramah, “Lama nggak ketemu, Molly…” Molly hanya menatapnya. Memandangi Chika yang kelihatan berbeda dari tahun lalu –saat mereka baru masuk SMA dan masih berteman. Chika yang sekarang berambut sebahu dan lurus, juga lebih tinggi. Dengan seragam sekolah favorit yang rapi, ia kelihatan beda jauh dengan anak-anak sini. Chika memandanginya dengan senyum sumringah –yang menancapkan pisau-pisau tajam, hingga membuat Molly tanpa sadar mundur selangkah. “Lo ngapain di sini?”, tanya Getta, sedikit kelabakan –nggak nyangka Chika berani datang ke sini. “Bukannya tadi gue udah bilang mau ke sini?”, balas Chika, “Atau lo nggak baca SMS gue lagi?” “Gue lagi belajar!”, celetuk Getta, “Mana bisa lihat hp!” “Udah, ah! Kebanyakan ngomong!”, cetus Chika, menghampiri, menarik tangan Getta, “Kita pergi yuk!” “Ke mana?!”, Getta makin bingung dan nggak tenang. Chika datang di saat yang nggak tepat. “Makan! Gue lapar tau, nungguin lo kelamaan!”, katanya mulai menarik Getta pergi, lalu menoleh ke Molly sebentar, “Gue pergi dulu ya, Mol. Sampai nanti!” Pertanyaan Yuna seketika terlintas di pikiran Molly, ‘kalau sama-sama punya perasaan tapi kenapa di depan orang lain kalian tuh kayak nggak saling kenal?’ Saat itu Molly nggak bisa menjawabnya. Awalnya dia bingung, tapi sekarang ia tahu, kenapa mereka nggak bisa bersama, soalnya Getta sudah punya pacardan itu Chika –sahabatnya. Dan jauh sebelum hari ini, Molly sudah mengalah, sampai ia lupa bahwa Getta juga pernah suka padanya. Teringat bagaimana bahagianya Chika saat dia bilang bahwa Getta menerimanya. Molly menukar Getta dengan seorang sahabat sejati yang katanya akan selalu bersamanya Sekarang, semuanya nggak sama lagi. Andai semuanya seindah seperti saat pertama kali kita jatuh cinta, Getta… “Hei!”, seseorang tiba-tiba menyikut punggung Molly pelan, “Kenapa masih di sini? Nungguin siapa sih?! Nungguin pacar ya?” Richard! –si kakak kelas yang terkenal playboy itu. Dia juga jam segini ngapain masih di sini? “Nungguin Papa”, jawab Molly murung, melirik jam tangannya lagi, dan menghitung, sudah hampir satu jam ayahnya belum juga muncul. “Nggak ditelpon?”, tanya Richard. “Nggak diangkat…”, jawab Molly, masih murung. “Lagi sibuk, mungkin”, ujar Richard dengan wajahnya yang selalu kelihatan gembira, “Aku antar aja gimana?” Molly langsung menggeleng canggung, “Nggak… nggak usah aja, makasih…”, katanya. Richard tersenyum, “Lho kok gitu sih?”, dia mengernyit, dan tiba-tiba saja menarik tangan Molly, “Udah deh, aku antar pulang…” “Tapi, Kak…”, Molly sedikit cemas, tapi cowok ini memaksanya untuk naik ke mobilnya. “Udah, naik”, cowok itu berkata dengan lembut saat ia membukakan pintunya untuk Molly. Molly paling nggak bisa bilang nggak. Apalagi dipaksa dengan cara yang manis begini. Begitu duduk di sampingnya Richard, jantungnya malah deg-degan. Nggak biasanya –mungkin karena sudah lama nggak merasakannya. --- Sepanjang perjalanan, Richard nggak berhenti ngomong. Dia punya banyak pertanyaan yang harus Molly jawab. Soal keluarganya dan teman-temannya. Tapi, dia paling sering bertanya soal piano, dari mana Molly belajar piano dan apa lagu yang paling dia sukai. Begitu sampai depan rumah, Mama sudah menunggu. Ia sengaja berdiri di teras dan begitu melihat Molly dia kelihatan menarik nafas. “Kamu pulang sama siapa?”, tanya dia, menghampiri Molly yang kelihatan khawatir, lalu menemukan seorang cowok asing turun dari mobil yang sama. “Teman sekolah, Ma”, jawab Molly, menggenggam tali ranselnya, tertunduk khawatir –takut dimarahi gara-gara pulang telat. “Selamat siang, Tante…”, Richard menghampiri, dengan senyum ramah yang nggak pernah hilang dari wajah kebule-buleannya itu. “Siang”, Mama menatapi Richard, Molly bergaul dengan anak seperti ini? “Tadi Molly nunggu Papanya lama banget di depan gerbang sekolah. Karena kebetulan kita searah, jadi saya antar aja, Tante”, jelas dia. “Tapi, tadi Molly udah telpon Papanya diantar sama saya kok… “Oh, makasih ya,…”, ibunya Molly tersenyum. Cowok ini memang pandai mencuri hati orang lain. “Saya Richard, Tante…”, kata Richard, “Kakak kelasnya Molly” Mama masih tersenyum padanya, tapi Molly malah heran. “Kamu sudah makan siang? Kebetulan Tante baru selesai masak”, kata Mama. Molly membelalak, Mama bisa ramah sama cowok yang baru dikenal? Bukannya Mama itu over-protektif? “Maaf, Tante, saya…”, Richard kelihatan canggung, bisa juga salah tingkah. “Udah, masuk yuk, nggak apa-apa”, ujar Mamanya Molly dan bikin Molly jadi heran, “Molly, jangan diam aja dong. Ajakin teman kamu masuk sana” Molly mengangguk, menoleh ke Richard, ia sama sekali nggak tahu harus bilang apa sama Richard yang jadinya bingung juga. Akhirnya dengan sedikit ragu, Richard masuk ke rumah. Mama mempersilakan Richard ke ruang makan dan duduk di salah satu kursinya. Sementara Molly ganti baju di kamar, Richard diajakin ngobrol sama Mamanya Molly. Ini pertama kalinya sejak Chika nggak pernah lagi main ke sini. --- “Molly ngerepotin kamu ya?”, tanya ibunya Molly. “Ah, enggak kok, Tante…”, jawab Richard menggeleng, sambil memandangi sekitarnya selagi Mama menyiapkan makan siang mereka –sup kepiting dan gurami goreng. “Kebetulan rumah saya nggak jauh dari sini…” “Biasanya dia selalu dijemput Papa-nya”, kata ibunya Molly, “Tapi, mungkin lagi rapat dan nggak bisa jemput” “Molly nggak dibolehin pulang sendiri ya, Tante?”, tanya Richard, karena sedari tadi ini yang bikin Richard jadi bertanya-tanya –Molly kelihatan nggak ingin menjawabnya seakan itu sesuatu yang sangat menyinggung dan sensitif. Mama terdiam sebentar, “Bukannya nggak dibolehin”, jawabnya sambil tersenyum saat ia menaruh mangkok di atas meja, “Tapi, Molly sering nyasar kalau pulang sendiri” “Nyasar? Kok bisa?”, Richard makin heran, “Molly nggak tahu jalan pulang atau gimana, Tante?” “Molly itu punya kekurangan yang nggak bisa dilihat oleh orang lain…”, jelasnya, dengan suara dingin, “Dia punya penyakit yang bikin dia berbeda dari anak-anak seusia kamu” “Penyakit?” “Udah deh ceritanya”, kata Mamanya Molly tiba-tiba, rautnya yang tadi sedih mendadak ceria, “Nanti kamu nggak jadi makan dan nyobain sup buatan tante. Biasanya Molly sama Papa-nya doyan banget” Richard tertegun, kemudian berusaha tersenyum, kayaknya dia belum boleh tahu terlalu jauh. Mamanya Molly meninggalkan dapur sebenrtar. “Molly?”, suaranya terdengar memanggil di bawah tangga kayu ke lantai dua. “Cepat turun!” “Iya, Ma!”, sahut Molly yang terdengar berlari menuruni tangga. Begitu ia duduk di depan Richard, ia masih kelihatan malu-malu. Nggak nyangka cowok ini tiba-tiba sekarang bisa ada di rumahnya –beramah tamah sama Mama lagi! Padahal juga nggak biasanya Mama ramah sama orang –apalagi itu cowok yang dekat sama Molly. Molly kan belum dibolehkan pacaran. --- “Orang tua saya dua-duanya nggak di sini, Tante”, jelas Richard saat ditanyai soal keluarganya. “Oh ya? Terus kamu tinggal sama siapa?”, tanya Mama. “Sama pengurus rumah tangga”, jawab Richard, “Adik saya tinggal sama orang tua saya di Australia” Molly cuma bisa melongo. Bener kan? Richard ada darah bule-bule gitu. Ternyata ayahnya orang Australia. “Kenapa kamu mutusin tinggal di Indonesia?”, tanya Mama lagi, sepertinya tertarik sama kepribadian Richard. Benar-benar nggak biasanya, kayaknya Mama lagi kasmaran sama Richard. “Dari kecil saya memang tinggal di sini. Saya belum mau pindah, karena punya banya teman. Rasanya nggak mau kemana-mana”, jelas Richard, tertawa terkekeh. Ternyata Richard, cinta Indonesia banget. “Tapi, begitu lulus SMA, saya punya rencana nyusul orang tua saya ke sana”, kata Richard, menemukan Molly sedikit tercengang. “Memang orang tua kamu kerja apa?”, Mama belum mengakhiri sesi wawancaranya. Seolah sedang interview calon pacar yang pantas buat anaknya. “Orang tua saya dua-duanya pemusik, Tante”, jawabnya, “Ayah saya seorang dirigen dan ibu violinis. Sebagian besar di keluarga saya semuanya pemain musik” Mama kelihatan semakin tertarik, “Kamu sendiri?” “Saya main piano”, jawabnya dengan senyum percaya diri. Entah mengapa Molly mulai cemas. Di rumah ini, istilah piano adalah tabu –terutama buat Mama. “Saya belajar piano dari kecil”, Richard masih ingin melanjutkan, “Oh ya, Tante, ngomong-ngomong soal piano… Molly juga mainnya bagus banget” Jderr!! Harusnya Richard nggak bilang itu segala! Molly mulai cemberut. Menatap Richard yang seolah nggak bisa melihat rautnya. Tapi, mana Richard tahu soal Mamanya? Mana dia tahu mereka nggak boleh ngomongin soal piano. “Oh ya?”, Mama tersenyum. Melirik Molly nggak percaya. Heran… “Saya pernah lihat sendiri di ruang kesenian”, Richard semakin bersemangat buat membahasnya. Nggak sadar bahwa suasananya mulai menegangkan. --- Richard melambaikan tangannya sebelum ia naik mobil, masih dengan senyum yang sama. Molly membalasnya ragu-ragu dan Mama berdiri di sampingnya menyaksikan Richard akhirnya pergi. Sore sudah menjelang tanpa disadari karena Richard kebetulan betah berada di sini, mengobrol dengan Mama. Soal piano –yang membuat Molly heran, kenapa Mama nggak lagi sensitif seperti yang Papa bilang. “Lihat Richard, Mama jadi ingat Chika”, kata Mama, yang masih berdiri di teras, selepas Richard dan mobilnya sudah nggak kelihatan, “Bukannya juga Chika jago banget main pianonya?” Molly hanya terdiam dan tertunduk lagi. “Kamu…”, Mama menoleh padanya, hendak mengatakan sesuatu yang Molly pikir adalah keluhan lagi, “Walaupun kamu disleksia, bukan berarti kamu harus selalu bergantung sama orang lain, Molly” Molly menatapnya sungguh-sungguh, nggak percaya sejak Mama tahu keadaannya, akhirnya Mama mengatakan sesuatu yang ingin Molly dengar darinya –dukungan. “Kalau kamu begitu terus, nggak ada seorangpun yang bakal mau berteman sama kamu”, kata Mama, “Ingat kenapa Chika nggak mau temenan sama kamu lagi kan. Karena itu, mulai dari sekarang, kamu harus berhenti merasa kalau kamu nggak berdaya…”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H