Mohon tunggu...
A Rita
A Rita Mohon Tunggu... -

Seorang sekretaris yang nggak seksi,\r\ningin nampang dan terkenal tapi minder,\r\ningin tenar tapi nggak lovable enough,\r\nseorang pemimpi sejati yang terus mencari jalan untuk meraih mimpinya,\r\n\r\ndan seorang Putri yang menginginkan cinta sejati,\r\n\r\nsekaligus spesialis cerita sedih dan mellow\r\n\r\nread my stories in\r\nkaryacinta-rita.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dead Man Walking (4)

19 September 2014   02:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:17 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kehidupan Lama Seorang anak? Aku tidak mempercayainya. Jari-jariku tidak bisa berhenti gemetaran memencet nomor telpon ibuku. Aku sangat putus asa karena Mami tidak mengangkatnya. Kebenciannya adalah hal yang sangat aku takuti di dunia, bahkan melebihi neraka. Karena, Mami tidak pernah marah padaku. Dia tidak pernah bicara keras padaku. Tidak pernah melarang apapun yang ingin aku lakukan. Dan setiap aku pulang, dia selalu menyambutku dengan senyuman. Hal yang dulu selalu aku abaikan ketika aku kembali, sekarang menjadi hal yang sudah aku rindukan, sekalipun aku belum tahu reaksi apa yang akan Mami berikan ketika melihatku datang. “Halo?”, suara itu menjawab panggilanku yang penuh harapan, tapi bukan suara Mami. “Mami mana, Gin?”, tanyaku, sedikit lega, setidaknya telponnya diangkat. “Ini Ivanna”, suara itu terdengar gusar, “Kenapa sih nggak bisa lagi bedain suara aku sama Gina?” “Mami mana?”, tanyaku sekali lagi. “Mami lagi istirahat, Bang”, jawabnya. “Barusan tidur…” Aku tidak tahu harus mengatakan apa. “Mami sakit?”, tanyaku cemas. Ivanna terdengar menghela nafas, “Yah…”, jawabnya lemas, “Sudah dua hari…” “Kenapa nggak kasih tahu Abang?” “Memang kalau dikasih tahu Abang bisa langsung pulang?”, cetusnya. Aku terdiam. “Sania udah telpon ya?”, tanya dia. Aku masih diam. “Dua hari lalu dia datang ke sini, sejak itu juga Mami nggak berhenti nangis…sampai aku sama Gina nggak tahu harus gimana. Kami dilarang nelpon Bang Lan. Katanya biar Sania sendiri yang kasih tahu.”, jelasnya, “Bang Achen juga masih di sel”, “Di sel? Kenapa lagi?” “Biasa. Berantem terus ketahuan narkoba”, jawab Ivanna terdengar acuh. “Kalian kenapa sih?! Kenapa nggak ada seorang pun yang bilang?!”, aku mulai emosi. “Itu karena Mami nggak mau nyusahin Abang. Kata Mami nanti Abang nggak bisa kerja lagi. Lagian biar Achen tahu rasa. Udah sebulan dia di situ!”, Ivanna terdengar ketus. “Sekarang Mami sakit, nggak mau ke rumah sakit…dan dia…belum mau bicara sama Abang…” Tenggorokanku terasa perih. Dan tubuhku menggigil. Aku tidak pernah takut pada apapun. Namun, sepertinya, kemarahan ibuku-lah yang membuatku sedemikian khawatir. --- Aku menyeret tasku keluar melalui pintu saat aku menemukan Fayra berdiri di depan pintunya dan dia langsung menghampiriku dengan wajah lega. “Kamu mau ke mana, Den?”, tanya dia mengernyit melihat tasku. “Pulang”, jawabku singkat. “Maaf ya…”, ucapnya, mengangkat kepalaku untuk melihat seberapa menyesal ia telah mengacaukan apartemenku dengan sikapnya yang kekanakan. Meski aku tidak ingat lagi perasaan kesal saat ia berlalu dengan membanting pintu, aku masih merasa tidak ingin berurusan dengannya. “Kamu jangan pergi…” “Aku harus pulang, Fay”, kataku, datar dan dia menggeleng-geleng, tampak mengira kepergianku karena sikapnya. “Kenapa tiba-tiba mau pulang sih?”, ia mulai merajuk. “Aku janji nggak akan marah-marah lagi sama kamu, tapi kamu jangan pergi…” “Aku pulang karena ada urusan penting. Kalau sudah selesai aku pasti balik lagi ke sini…”, kataku. “Urusan apa?”, dia mendesakku. “Ibuku sakit”, jawabku. Dia mulai tersenyum padaku, “Kalau ibu kamu sudah sembuh, kamu pasti kembali kan?”, tanya dia lagi. Aku mengangguk pelan sekali. “Janji?” Aku mengangguk lagi dan dia memelukku sangat erat. Aku membiarkannya berlama-lama menyentuhku, karena aku tidak tahu, apakah aku akan kembali kepadanya atau tidak. Aku bahkan tidak tahu akan pulang ke sini lagi. Karena betapa pun aku mencintai kota ini, aku tidak bisa menyebutnya tempat pulang, melainkan tempat lari. Sedangkan, apa yang bisa aku sebut sebagai rumah adalah kota kelahiranku – yang sangat aku benci. --- Padang, Maret 2008… Mami menatapku datar, sesaat setelah mengalihkan perhatiannya dari makanan di etalase. Aku menghampirinya, tanpa tahu apa yang bisa aku katakan. Begitu turun dari taksi, aku masih memikirkannya, namun begitu melihat wajah Mami, semua kata yang telah aku susun sebaik-baiknya, hilang dalam satu kerlingan matanya. Kedua adik perempuanku melotot seperti menyaksikan aku akan membunuh diriku dengan sengaja. Layaknya aku yang ketakutan, mereka juga merasakannya. “Kamu sudah makan?”, tanya dia, kembali menyiapkan makanan pesanan pelanggan yang sempat ia tinggalkan. Setelah aku menghabiskan 4 jam dari Jakarta dengan perasaan cemas, Mami hanya menanyakan itu?, aku terkesiap saat Mami tidak lagi menoleh kepadaku. Melainkan Ivanna dan Gina. “Ngapain kalian di situ?!”, tegurnya, “Banyak orang yang mau makan” Aku melihat sekelilingku. Memang ada banyak orang yang menunggu makanan mereka datang ke meja mereka. Gina mendorong Ivanna untuk maju lebih dulu. Mereka mulai sibuk membantu Mami dengan keragu-raguan yang terlihat saat sesekali mereka menoleh padaku. Aku bingung. Aku tidak tahu harus melakukan apa dengan tasku. “Kenapa kamu malah diam?!”, Mami menegurku, “Sudah nggak biasa lagi kerja di warung nasi?” Aku menghembuskan nafas, setidaknya lega, Mami tidak mengabaikanku. Ivanna tersenyum ketika aku menghampirinya dan dia menyodorkan sendok nasi padaku agar ia bisa mengerjakan hal yang lain. Aku tersenyum, lalu tertawa pelan, sudah lama aku tidak menjadi bagian dari hiruk-pikuk warung nasi Mami yang ramai saat jam makan siang. Kadang, aku terlalu menyepelekan hal-hal seperti ini. Bau nasi yang matang dan gulai buatan Mami. Menghirup aromanya yang khas, mengembalikanku pada kehidupan sederhana kami yang harmonis. Masa-masa yang tidak akan terjadi lagi, hal yang menguatkan kami pada saat yang paling menyedihkan sekalipun. Aku sadar, Jakarta mengubahku. Tapi, apa yang aku lakukan sejauh ini, semata-mata bukan untuk diriku sendiri. Hanya saja, mungkin ibu dan adik-adikku sudah tidak membutuhkan semua uang yang aku dapatkan dengan terkungkung 15 jam sehari di gedung megah. Mereka mandiri sejak aku tidak pernah pulang dan mengetahui banyak hal telah terjadi tanpa sepengetahuanku, membuatku merasa bukan aku yang membuang mereka –melainkan akulah yang membuang diriku sendiri. --- “Bang Lan?!”, suara Achen terdengar dari pintu masuk dan ia serta merta berlari ke arahku. Aku tidak tahu harus tertawa, memeluknya atau bagaimana. Adikku benar-benar tidak kukenali lagi, namun hanya ada satu hal yang menandakan bahwa dia memang benar-benar adikku. Yaitu, caranya memanggilku. Dengan tindik di pelipisnya, ia benar-benar seperti preman jalanan. Kepalanya plontos dan ada beberapa bekas luka jahitan di dahi dan bagian bekakang kepala. Achen terlihat seperti Frankenstein yang kurus. Dan pipinya yang tirus menunjukan bahwa ia sudah kecanduan narkoba. Aku mengurut dada. Apa yang salah dengan hidup kami? “Bang Lan kapan pulang sih?”, dia bertanya, dengan tawa cengengesan seperti biasanya. Aku menarik nafas, “Kemarin siang”, jawabku. Memandang sekelilingku, di mana penjaga mengawasi kami dan sorot mata mereka membuatku tidak nyaman. Mungkin karena ini pertama kalinya aku menginjakan kakiku di tempat seperti ini. Tawa Achen masih terdengar, “Kirain nggak mau pulang lagi…”, komentarnya. “Abang bakal keluarin kamu dari sini, tapi kamu harus sumpah pakai nyawa, nggak akan bikin masalah lagi” “Nggak mau”, kata dia, “Enakan di sini. Nggak perlu dengar Mami marah-marah. Nggak perlu ribut sama Ivanna.” “Mami lagi sakit”, kataku dan menemukan Achen cukup terkejut. “Parah ya, Bang?”, tanyanya. “Kalau nggak parah Abang nggak akan pulang….”, kataku. --- Orang-orang bemunculan entah dari mana. Mereka mungkin tetangga yang merasa terganggu oleh suara panci yang menghempas lantai dan teriakan Mami. Aku shock, terpaku menatap ibuku yang marah dan melempari Achen dengan apa yang ia temukan di sekitarnya. Panci, sendok, gelas dan piring plastik. Apapun yang menimbulkan suara keras. “Pergi kamu!”, usirnya, “Mami sudah bilang jangan kembali lagi ke sini!” Aku mulai mengerti, tampaknya Mami sengaja membiarkan Achen di penjara untuk membuatnya jera. Tapi, aku malah mengacaukan semuanya. “Kenapa kamu malah mengeluarkan dia?!”, Mami menuntutku. “Biar dia mati di penjara! Mami nggak peduli!” Achen ketakutan, dan ia tertunduk di hadapan Mami. Tampak menyesal namun sulit untuk menangisi keadaan. Ibuku berwajah pucat. Ia memandangku lalu, Achen dan si kembar yang hampir menangis, “Kenapa kalian seperti itu?”, suaranya terdengar merengek, “Apa kesalahan Mami sampai kalian jadi begini?” Aku ikut tertunduk. Mencoba mengingat entah sejak kapan semuanya jadi seperti ini. Aku merasa bersalah, aku harusnya menjaga mereka, tapi malah menyelamatkan diri sendiri. Melihat ibuku seperti sekarang seperti melihatnya menyakiti dirinya sendiri. Aku tidak dapat mengatakan apapun. Aku kesal pada diriku yang tak dapat membuat keadaan membaik, padahal itulah yang seharusnya aku lakukan. “Mami?!”, jeritan Gina bergema, dan ketika kepalaku terangkat ibuku sudah rubuh di lantai. “Mami?!”, Achen berlari ke arahnya. Aku tidak ingin kehilangannya… Tuhan, jangan ambil dia sekarang, karena aku…belum melakukan apa-apa untuknya… --- Gina masih menangis. Achen berdiri di dekat pintu, sementara Ivanna di dalam bersama Mami. Aku duduk dengan membungkukan badan. Kami sama-sama menunggu Mami mengizinkan kami masuk. Tapi, sepertinya kami akan pulang tanpa bisa bicara dengannya. Sejam kemudian, Mami keluar dari ruang perawatan dengan Ivanna yang memapahnya. Aku dan Achen serentak menghampirinya, tapi dia berisyarat dengan tangannya tidak ingin kami mendekat. Langkahku terhenti di depannya sebelum aku menyingkir untuk membiarkannya lewat. Pergi meninggalkan rumah sakit dengan langkah tertatih yang pelan. Seperti kedua kakinya tidak dapat lagi menyangga tubuhnya yang lemah. Gina mengikuti mereka. Sementara aku dan Achen sama-sama menghela nafas lelah. Aku meliriknya, dia tampak panik dan beberapa kali menyapukan tangannya di atas puncak kepalanya. Kami dua orang anak lelaki tumpuan harapan yang gagal dengan mengecewakan. Apa yang aku punya untuk keluargaku, hanya sampah. Aku merasa semuanya sia-sia bukan karena tidak ada yang menghargainya, melainkan Mami tidak pernah merasa membutuhkannya melebihi diriku –anaknya. Bahkan aku tidak pernah memikirkannya. Aku tidak dapat mengembalikan semua senyum dan perhatiannya itu --- “Anak si Pak Haji yang sombong itu?”, Achen membelalak. Lalu tertawa, sambil menggeleng-geleng dan menepuk punggungku sekali, “Hebat juga Bang Lan, sekali langsung jadi!” Aku mendengus, bisa-bisanya dia mengatakan itu. “Tapi, nggak apa-apa, Bang!”, katanya santai, “Biar si Pak Haji itu tahu rasa! Kualat sama kata-katanya sendiri!” Masalahnya bukan itu. Aku masih memikirkan apa yang akan kukatakan pada keluarga itu ketika menemui mereka. “Gimana rasanya anak cucu mirip sama orang yang selalu dia hina. Namanya sih Pak Haji, tapi kata-katanya sama kayak preman pasar…”, sambung dia, dengan tawa sinis. “Malah lebih parah” Aku masih diam, memperhatikan adikku merokok dan dia sangat menikmatinya. “Bang Lan nggak usah takut sama masalah itu! Tinggal kasih mereka uang, selesai kan?”, ujarnya, “Dulu mereka selalu mencaci maki kita karena kita Cina, miskin, nggak tahu diri, bahkan lebih rendah dari sampah.” Aku tidak pernah tahu, Achen masih menyimpan rasa dendam tentang apa yang kami alami waktu kecil. Saat itu juga aku sadar, apa yang membuatnya seperti ini, adalah semua perlakuan orang-orang terhadap kami. Aku sangat mengenal adikku – selain karena sama-sama lelaki, adabanyak hal yang kami hadapi bersama. Berbeda denganku yang menanggapi semua hinaan orang dengan diam, Achen sangat frontal terhadap siapa saja yang terdengar melecehkan kami. Mungkin aku sempat lupa, dulu ia pernah melempari kedai beras Pak Haji dengan batu tidak lama dia memakiku di pinggir jalan karena putrinya. Pak Haji mendatangi rumah kami dan memaki-maki ibuku. Achen datang dari dapur dengan pisau yang akan dia hujamkan pada pria itu dan aku menghentikannya. Pak Haji itu ketakutan saat meninggalkan rumah kami setelah ancaman Achen. Jika dia menghina kami lagi, maka ia akan membunuhnya. Tidak peduli setelah itu ia akan membusuk di penjara. Aku juga ingat saat sekelompok anak pribumi merusuh di sekolah dengan meneriaki semua murid dengan julukan ‘Babi’. Beberapa orang sempat ribut sampai salah satu dari mereka melempar batu dan mengenai kepalaku. Aku pulang dengan kepala berdarah, dan tidak lama kembali bersama Achen yang mengamuk, mencari siapa pelakunya. Adikku memukul anak itu dan jika tidak ada yang menghentikannya, satu nyawa akan melayang. Tanpa disadari, Achen memikul tanggung jawab yang harusnya dibebankan padaku. Setiap ada yang membuat adik kami menangis, ia sudah pasti tidak membiarkannya. Sementara aku dan kepengecutanku berada di belakangnya, setiap saat. Hanya saja, Achen mungkin memang tidak ingin, aku mengotori tanganku dengan darah orang lain. Aku rasa itu telah menggantikan kepolosan anak-anak yang ada padanya ketika itu. Lagipula, jika aku seperti Achen, Mami mungkin akan lebih tertekan menghadapi kami. Seperti saat ini. Ketika ia tahu, bahwa kami sama-sama telah rusak. Hal yang selalu aku takutkan sekarang hadir di hadapannya. --- “Malam ini kita nggak bisa pulang”, kata dia merebahkan tubuhnya di pagar jembatan tempat kita duduk memandang sampai ujung sungai. “Kalau kita pulang dan Mami lihat kita, bisa kumat lagi sakitnya…” Aku tidak setuju, kecuali untuk pendapatnya soal Mami. Mungkin, kami harus membiarkannya tenang. “Kita tidur sini aja, Bang”, katanya. Aku mengernyit. Tidur di jembatan? “Di sini nggak sama kayak Jakarta...”, ujarnya. Ya, aku sependapat soal itu. Tentu tidak akan ada yang berani mengganggu, karena ada preman yang tidak takut mati di sini. Siapa yang mau cari masalah dengannya? Aku tertawa pelan dan mengulangnya sekali lagi. Tidur di jembatan. Aku mungkin akan mengingat ini seumur hidup. Tapi, aku memang tidak akan tidur di sini – aku tidak bisa. Satu persatu orang meninggalkan jembatan wisata, menyisakan lampu-lampu yang menyala terang. Suara kendaraan membuat bunyian nyaring yang singkat dan menghilang perlahan di ujung jalan. Tempat ini terasa asing, sekalipun tidak berada jauh dari lingkungan tempat aku lahir dan dibesarkan. Aku hanya tidak pernah duduk di sini berlama-lama. Jembatan ini dinamakan Siti Nurbaya – legenda cinta mati yang abadi dan menjadi pameo kawin paksa. Dari jembatan, dapat terlihat Bukit Padang, tempat di mana perempuan dalam legenda dan cinta sejatinya dikubur. Cahaya lampu kota memantul pada air sungai di bawah kakiku. Aku melihat beberapa kapal merapat di muara yang dapat terlihat dari tempat dudukku dan memperhatikan beberapa orang masih bekerja. Achen sudah ketiduran dan sesekali bergerak ke sana ke mari. Tidurnya pasti tidak nyaman. Namun, ia tampak terbiasa tidur di mana pun. Asalkan dapat berbaring dan meninggalkan dunia ini sejenak. Angin malam bertiup. Aku memeluk diriku. Aku tidak bisa tidur walaupun mengantuk. Pada akhirnya, aku melewatkan malam itu, dengan terjaga. Hingga semua lampu kota telah mati dan cahaya menelisik secara perlahan dari celah awan. Aku bersyukur, aku dapat berpikir dengan tenang selama itu. --- Kemarin, aku mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada hidupku. Pada hidup adik-adikku. Meski Mami membesarkan kami dengan penuh kasih sayang. Namun, di saat yang sama ia harus berjuang dalam kenyataan pahit untuk mempertahankan hidup empat orang anak yang kehilangan ayah, juga hidupnya sendiri. Hidup kami tidak sesempurna ketika ayah masih ada. Tidak seorang pun yang menyalahkan kepergian ayah, kecuali aku. Setiap dia datang melihat kami, aku memilih pergi dari rumah dan baru kembali setelah dia tidak ada. Sejak dia menghilang, aku tidak pernah bicara dengannya sekali pun hanya bertegur sapa. Aku tidak tahu apakah aku membencinya atau merasa kecewa. Sekarang aku mengerti, aku hanya marah karena setelah dia pergi semua tanggungjawab diserahkan kepadaku sebagai beban di saat yang sama aku masih ingin bermain-main. Aku tidak pernah mengeluh pada ibuku, atau memarahi adik-adikku yang nakal dan menyusahkan. Aku lebih sering marah pada diriku, kenapa tidak melakukan semuanya dengan baik. Jika semua dilakukan dengan baik, maka tidak akan masalah. Aku tidak sadar, manusia tetap manusia. Di satu sisi mempertahankan ego sedangkan di sisi yang lain harus mengalah. Dalam masa-masa rentan yang aku jalani, aku terbiasa mengenyampingkan semua keinginanku dan mengalah pada kenyataan. Pada akhirnya aku malah mengisolasi diriku, berpikir menjadi lebih baik dalam taraf berpikirku, karena aku tidak ingin orang lain melihat kelemahan yang aku sembunyikan. Pada saat aku pulang, sekitar jam 8 pagi bersama Achen, Mami sudah tidak ada. Aku bertemu Ivanna yang sedang bersiap-siap menyusul Mami dan Gina yang masih uring-uringan di ruang depan rumah. “Mami maksa tetap mau jualan hari ini”, kata Ivanna padaku, dengan caranya yang ketus. “Tadi aku udah bilang Mami supaya istirahat tapi dia nggak mau” “Apa Mami masih marah?”, tanyaku. Ivanna menghela nafas, “Ya…tapi bukan gara-gara masalah abang lagi. Tapi, Gina” Aku melirik Gina yang tampak merengut dan merengek pada dirinya sendiri sambil tiduran di kursi. “Di saat begini malah minta dibeliin laptop. Mami mana ada uang…”, omelnya. “Laptop?”, aku mengernyit dan tertawa sekali. “Dari dua hari yang lalu dia udahbegitu, Bang…”, jelasnya. “Kalau maunya nggak dapat …” “Biar Abang yang beliin”, kataku, dan… “Beneran, Bang?!”, jerit Gina yang melompat dari kursi dan berlari ke arahku. Ivanna mendengus, “Iih! Nanti Bang Lan dimarahin Mami lagi!”, protesnya. “Maunya Gina nggak usah diturutin, Bang! Hari ini dia minta laptop, habis itu pasti minta dibeliin mobil!” Dahi Gina berkerut memandang Ivanna. “Sirik!”, cetusnya gusar. “Nanti kita beli mobil juga…”, kataku tertawa pelan sambil meninggalkan ruang depan. “Emang Bang Lan punya uang?!”, seru Ivanna. Aku hanya tertawa-tawa sebelum menghilang di balik pintu kamar Achen. Aku punya semua yang mereka inginkan, tapi…tetap saja rasanya itu tidak pernah cukup. Aku ingin tidur beberapa jam sebelum melakukan hal lain. Seperti, bertemu Sania dan anak itu, serta bicara serius dengan Mami, memenuhi keinginan adik-adikku dan hal-hal yang belum terpikirkan olehku. Tarikan nafasku, menyusupkan perasaan lega pada paru-paruku yang terasa sesak belakangan. Lalu berkata dengan lapang, akhirnya aku pulang… ooOoo previous chapterNext Chapter

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun