Sungguh, ini bukan tentang kau lagi. Tapi tentang bibir yang kau curi malam itu. Bahkan, hingga kini tak bisa kau kembalikan lagi. Kemanakah kamu menyimpannya? Rapatkah? Ataukah kau tunjukkan pada mereka bibir yang kau curi itu?
Jika saja aku dapat berteriak malam itu, aku akan berteriak. Tapi kau membekap bibirku hingga aku tak mampu bersuara sedikitpun, hingga ketika kau mencurinya pun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bergeming di bibir dermaga. Ada yang aneh. Seperti listrik menyetrum tubuhku begitu hebat. Kau benar-benar mengalirkannya begitu deras. Inikah yang dikatakan orang-orang itu padaku? Bahwa ketika bibirmu kelak dicuri oleh seseorang, maka kau takkan mampu berkutik di hadapannya, bahkan untuk kasus pencurian tidak bisa dikenakan pasal atau undang-undang pencurian. Dan kau tak bisa melaporkannya ke kantor polisi. Sungguh malangkah nasibmu? Atau sungguh berbahagiakah dirimu?
Bibir yang kau curi malam itu tak lagi bersuara kini. Menghilang di kawanan malam yang dingin. Terhempas di deburan ombak yang meliuk dan menari di dermaga yang patah. Kau bersembunyi di mana?
Bibir yang kau curi malam itu bernyanyi di sekawanan burung yang melintas di atas kamarku. Memberitahuku tentang bibir yang kau curi tak lagi bisa kembali seperti semula. Berontakah aku? Atau kudiamkan saja dalam bekuan pisau malam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H