"Nah aspek positif yang pertama dari kemacetan ialah semakin banyaknya warga Jakarta yang memiliki kehidupan yang baik sehingga mampu memiliki kendaraan bermotor. Itu artinya juga kondisi ekonomi, politik, keamanan dan lain-lainnya baik. Kan tidak mungkin penjualan kendaraan bermotor terutama yang baru terus meningkat kalau situasinya tidak baik. Sisi ini yang selama ini tidak pernah dilihat masyarakat...”
Macet sebagai indikator kemakmuran penduduk suatu kota, sebagaimana kutipan di atas, adalah argumen sesat yang muncul entah dari mana usulnya. Sebuah argumen yang harusnya cuma bisa terloncat dari mulut seorang berlogika dangkal yang gagal menarik korelasi antara fenomena macet dengan berbagai macam dampak negatifnya. Celakanya, terutama bagi jutaan warga kota Jakarta, sosok pandir berlogika dengkul yang mengeluarkan argumen di atas.......ternyata adalah salah satu calon wakil gubernur mereka sendiri dalam pilkada Jakarta 2012.
Nachrowi Ramli namanya.
Sebagai seorang warga yang setiap hari bersinggungan langsung dengan kota Jakarta, saya tahu persis bagaimana busuknya sistem transportasi di kota ini. Macet sebagai pertanda tingginya kemakmuran masyarakat Jakarta adalah luar biasa ngawur. Macet, sebaliknya, justru adalah bukti kegagalan pemerintah kota Jakarta di bawah asuhan Fauzi Bowo (Foke) dalam menyediakan moda transportasi umum untuk mengakomodasi mobilitas warganya. Akibatnya, alih-alih berdesakan di dalam transportasi umum busuk bau ketiak, warga lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dalam rangka menunjang mobilitas mereka sehari-hari. Dan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, otomatis kendaraan yang beredarpun akan semakin membludak jumlahnya hingga akhirnya tidak tertampung oleh ruas-ruas jalan yang tersedia.
Lalu jadilah macet.
Sayangnya kondisi inilah yang tidak mampu ditangkap oleh kapasitas akal cawagub kita ini. Saya sendiri sampai hari ini masih tidak habis pikir kenapa Foke sampai sudi untuk meminang Nachrowi Ramli (Nara) sebagai pasangannya dalam pemilihan gubernur dan calon wakil gubernur Jakarta tahun ini. Dan memang terbukti, hingga saat artikel ini ditulis, saya sama-sekali belum pernah mendengar satupun gagasan cerdas nan revolusioner yang keluar dari mulut Nara mengenai strategi pembenahan kota Jakarta. Yang muncul dari mulutnya hanyalah gelontoran pernyataan-pernyataan tak bermakna. Salah satunya adalah seruan untuk mengusir orang Betawi yang tidak mau memilih pasangan asli Betawi (Foke-Nara) dalam pilkada nanti. Atau di lain waktu, ‘akan membuat jalan bertingkat empat seperti di luar negeri’, saat ditanya wartawan bagaimana strategi yang dia miliki untuk mengatasi kemacetan Jakarta.
Singkat kata: dangkal.
Menurut saya sih, kalopun masih ada masyarakat Jakarta yang memilih pasangan Foke-Nara di pilkada 20 September nanti, kemungkinan besar itu karena sosok Foke, dan sama-sekali bukan karena sosok Nara. Jika Foke adalah Superman, maka Nara adalah kotoran kukunya. Tanpa peran signifikan. Tanpa pernahmengeluarkan argumen berkualitas. Tanpa sekalipun menunjukkan bahwa dia adalah calon pemimpin yang valid buat Jakarta. Di sebelah Foke yang jago berargumen, Nara cuma badut gempal cengengesan berkepala angin, yang bahkan mungkin tidak tahu benar di mana persisnya lokasi Monas berada. Jika anda menyebut Telettubies sebagai sebuah karakter yang paling menyedihkan dalam sejarah umat manusia, maka Nara berada setingkat di bawahnya.
Nara malang, Nara yang kurang pintar. Bila akhirnya Foke kalah dan gagal memenuhi ambisinya untuk kembali menduduki posisi DKI 1, dari sekarang kita sudah tahu persis siapa yang bakal jadi kambinghitam-nya.
*kutipan di paragraf awal, diambil dari situs liputan6.com
*tulisan ini juga bisa dibaca di SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H