[caption id="attachment_187697" align="aligncenter" width="448" caption=""][/caption] Tak akan ada lagi pergerakan licin tanpa bola dibarengi akselerasi eksplosif jarak dekat (dan sesekali aksi diving) dari kaki Filippo Inzaghi. Tak ada lagi mercusuar kokoh di tembok pertahanan yang tertanam pada sosok Alessandro Nesta. Dan tidak ada lagi sergapan barbar sang manusia temperamen pendek berstamina badak, Gennaro Gattuso, di lapangan tengah. Kamis dan Jumat, 10/11 Mei 2012, ketiga pemain tersebut secara berurutan mengumumkan perpisahan mereka dengan klub sepakbola terbaik Italia, AC Milan. Kepergian ketiga pemain ini, menandai berkhirnya sebuah era emas dimana tim ini berhasil tiga kali menembus partai final UEFA Champions League (UCL) dalam kurun waktu empat tahun (2003-2007), dan memenangkan dua titel diantaranya. Mungkin Inzaghi, Gattuso, dan Nesta telah melewati performa puncak mereka sebagai seorang pemain sepakbola. Namun tetap saja kepergian mereka yang nyaris bersamaan bukanlah kabar baik bagi jutaan penggemar AC Milan di seluruh dunia. Ketiga pemain ini adalah eksponen penting dari kejayaan formasi pohon cemara 4-3-2-1 milik AC Milan yang begitu perkasa pada pertengahan dekade lalu. Pada saat itu, mustahil bagi klub ini menjuarai UCL 2006/07 jika Inzaghi tidak tampil superior dengan dua buah gol di partai final. Atau juga, jika Gattuso tidak tampil trengginas dan membuat Cristiano Ronaldo terlihat bagai ayam sayur impoten yang gagal menampilkan aksi terbaik di fase empat besar. Lalu bagaimana dengan Nesta? Nesta memang tidak setangguh sepuluh tahun yang lalu saat pertamakali didatangkan dari klub asalnya, SS Lazio. Tapi keberadaannya di jantung pertahanan, adalah kredit tenang tersendiri bagi setiap fans AC Milan. Dan entah anda setuju atau tidak, dalam usia-nya yang telah menginjak tiga puluh enam tahun, buat saya Nesta tetap berada pada level yang berbeda dibanding defender AC Milan lain yang usianya lebih muda macam Philippe Mexes, Danielle Bonera, hingga Mario Yepes. Bahkan seorang Leonel Messi sekalipun terbukti kewalahan saat harus mendapat penjagaan rapat sang mantan pangeran Roma ini pada perdelapan final UCL musim ini. Tapi apalah artinya klub besar jika tidak memiliki sistem regenerasi yang baik. Kepergian Nesta, Gattuso, dan Inzaghi di sisi lain adalah angin segar bagi peremajaan skuad I Rossoneri yang selama ini begitu tersendat. Saya sendiri berharap kepergian mereka bertiga mampu memberi ruang bagi pemain-pemain muda menjanjikan macam Rodney Strasser, Alexander Merkel, hingga Stephan El Sharaawy untuk berkembang sekaligus mendorong Massimiliano Allegri untuk lebih berani menaruh kepercayaan pada barisan pemain muda dalam setiap pertandingan penting. Selalu ada akhir untuk setiap era. Dan setiap pemenang tahu kapan saat yang tepat untuk mengakhiri karier pada titik tertinggi. Inzaghi, Gattuso, dan Nesta, mungkin tak akan kita temui lagi di lapangan dengan jersey suci merah-hitam. Tapi selamanya mereka tetap menjadi catatan emas yang akan selalu melekat kuat dalam ingatan setiap fans AC Milan di seluruh dunia, termasuk saya dan mungkin anda yang sedang membaca tulisan ini. Sebuah era emas telah mencapai ujungnya. Selamat tinggal, veteran. *Sumber Gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H