Nasionalisme, adalah Islam itu sendiri...
Sejarah tak pernah secara eksplisit menyorot peran pesantren selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setidaknya, itulah yang saya dapat selama masih di meja sekolah dulu. Jadi begitu saya tahu bahwa film Sang Kiai lebih menekankan peran K.H. Hasyim Asy’ari semasa zaman perjuangan – bukan kisah hidup beliau secara keseluruhan – ekspektasi saya justru jadi berlipat. Dan bagusnya, secara garis besar itu semua terbayar kontan.
Maka bergulirlah Sang Kiai dengan latar awal masa pendudukan Jepang di Indonesia, dimana K.H. Hasyim Asy’ari tampil sebagai sentral cerita. Kala itu, beliau menjadi tokoh terdepan yang menentang prosesi seikerei, sebuah ritual penghormatan terhadap matahari terbit, yang diwajibkan oleh kolonial Jepang. Masalahpun berkembang dengan ditahannya K.H. Hasyim Asy’ari oleh tentara Jepang, hingga memantik reaksi keras dari para santri Pesantren Tebuireng serta para pengikutnya.
Bagian paling menarik adalah pada bagaimana film ini membingkai pergolakan ideologis rakyat Indonesia yang saat itu masih membenturkan semangat nasionalisme dengan syariat agama. Permasalahan ini lalu terjawab lewat sebuah adegan perbincangan antara K.H. Hasyim Asy’ari dengan putranya, Wahid Hasyim, yang akhirnya menghasilkan resolusi yang kelak menjadi salah satu landasan dalam perjuangan kemerdekaan – sekaligus tamparan hebat bagi segelintir golongan berjubah moral yang hari ini sibuk berkoar tentang pentingnya penegakan sistem khilafah di Indonesia;
"Nasionalisme dan agama tak berada dalam kubu yang berbeda. Justru dari agama, lahirlah nasionalisme…”
Terpampangnya nama Ikranagara (KH Hasyim Asy’ari) dan Christine Hakim (Nyai Masruroh) sebagai cast, adalah sebuah jaminan mutu yang nyatanya memang sukses mengatrol film ini ke tempat yang istimewa. Sementara itu, Agus Kuncoro tampil ciamik lewat peran Wahid Hasyim yang cerdas, lengkap dengan kacamata dan dasi yang setia menggantung di lehernya. Kredit lain juga pantas diterima Dimas Aditya untuk peran kikuknya sebagai Husein, sang translator Jepang yang belakangan justru menyusup ke barisan pejuang Hizbullah dan ikut berjuang melawan Jepang. Set film yang tergarap maksimal, aneka rupa suguhan visual mulai dari ledakan granat tangan, kobaran asap hitam, bangunan remuk setengah roboh, desingan peluru, hingga pesawat tempur yang beberapa kali terlihat menggantung di udara, adalah suguhan lain dari film ini yang lumayan memanjakan mata.
Di luar selipan kisah cinta antara Harun dan Sarinah yang super-cheesy, kalaupun ada yang salah, mungkin itu ada pada pemilihan soundtrack yang menggelikan. Entah muncul dari mana, yang jelas ide mendaulat Ungu sebagai pengisi soundtrack film ini, adalah sebuah blunder besar. Kita sedang membicarakan film tentang perjuangan seorang Kiai besar pada zaman pra-kemerdekaan, bukan sinetron cinta monyet murahan khas TV Nasional. Dengan rentetan adegan heroik plus deretan dialog yang mendebarkan, Sang Kiai seharusnya pantas mendapat lebih. Bukan sekedar lirik dangkal plus rintihan memalukan ala Ungu, yang justru sukses berat mencipratkan setitik noda kotor pada film ini, yang (sayangnya) lumayan menempel di ingatan begitu saya berdiri meninggakan bilik sinema.
Tapi sekali lagi, Sang Kiai tetaplah sebuah film yang penting untuk ditonton. Dan – selamat untuk Rako Prijanto – jika kita berbicara tentang etos nasionalisme dalam bingkai film, maka dalam rentang sekian puluh tahun ke depan, Sang Kiai adalah salah satu judul yang mungkin akan terus penting untuk disebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H