[caption id="attachment_177802" align="aligncenter" width="301" caption=""][/caption]
Darah muncrat, kepala pecah tertembus peluru, bagian tubuh yang terpisah oleh bilah samurai, hingga serpihan kaca yang menancap batang leher....
The Raid bahkan telah menggenjot jantung anda sejak awal film ini dimulai, saat mafioso tengik bernama Tama (diperankan oleh Ray Sahetapy) menembaki satu per satu sekapan yang tengah berlutut dengan kondisi tubuh bersimbah darah. Saat pistol di tangannya kehabisan peluru sementara masih ada satu sekapan yang masih tersisa...dengan bijaksana, Tama memilih senjata lain yang dirasa lebih manusiawi untuk memecah kepala sang sekapan tadi: PALU.
Film garapan sutradara asal Wales, Gareth Evans, ini berkisah tentang serbuan sekelompok pasukan elit yang dipimpin oleh Letnan Wahyu (Pierre Gruno) dan Sersan Jaka (Joe Taslim) ke sebuah bangunan tua yang dikuasai kawanan gangster pimpinan Tama. Niat awal ingin menuntaskan misi meringkus target operasi, kawanan pasukan elit tersebut justru terkurung dalam bangunan yang mendadak mati lampu dan berbalik menjadi objek buruan para penjahat bayaran, lengkap dengan bermacam senjata. Alih-alih berhasil meringkus gangster, pasukan elit tersebut justru menjadi objek pembantaian besar-besaran dengan modus eksekusi aneka rupa. Dan tentunya, bermandikan darah.
Lalu hadirlah tokoh Rama (Iko Uwais) yang menjadi penyelamat muka pasukan elit. Dengan daya tempur mengagumkan, tokoh ini menampilkan aksi flawless yang mampu menyelamatkan dirinya dari terjangan dan hujan peluru lawan sembari berbalik menghabisi mereka demi menuntaskan misi yang terancam gagal. Tapi jangan keburu senang dulu. Tak lengkap rasanya sebuah film laga tanpa sosok super-villain yang bengis dan susah mati. Dalam film ini, sosok itu jatuh pada tokoh Mad Dog (Yayan Ruhian). Alih-alih menggunakan senjata api, lelaki ini tipikal bajingan yang lebih memilih untuk menghabisi lawan secara perlahan dengan tangan kosong. Pertarungan final antara keduanya, adalah momen puncak film ini yang mampu membuat anda terpaku di tempat dan mengucapkan "anjing" ratusan kali sebagai bentuk ekspresi kekaguman.
Di luar peran yang mereka mainkan, saya mendapat fakta menarik dari seorang kawan bahwa Iko Uwais dan Yayan Ruhian sendiri-lah yang menjadi arsitek di balik setiap aksi laga yang terpapar sepanjang film ini. Kontribusi mereka tentu menjadi salah satu alasan kuat dibalik betapa standout-nya film ini, ditambah teknik pengambilan gambar yang mampu menangkap setiap adegan perkelahian dengan begitu sempurna. Kombinasi kedua hal ini, buat saya, mampu memberi The Raid kekuatan lebih untuk menghabisi film-film laga buatan Hollywood yang seringkali hanya mengandalkan ledakan gigantik omong kosong ber-budget tinggi.
Di Indonesia sendiri, kekerasan bukanlah bahasa yang asing untuk digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Gareth Evans berhasil muncuri cuplikan budaya kekerasan yang begitu lestari di negara busuk ini, lalu menerjemahkannya dalam gambar bergerak yang (sudah pasti) akan mampu membuat anda berdecak kagum.
Sedikit manyadur dari kata sambutan pada acara Gala Premiere film ini Rabu (21/3) lalu, mari sejenak lupakan nilai dan norma tai kucing yang selama ini seolah-olah dijunjung tinggi meski nyatanya tidak berlaku. Lupakan juga dialog cerdas yang mungkin anda harap akan muncul di film ini (lagipula di Indonesia, masyarakat kita memang lebih suka kekerasan ketimbang berdialog kan?).
Gareth Evans telah memilih caranya sendiri untuk bersenang-senang. Lekas kencangkan sabuk pengaman, saatnya kekerasan mengharumkan nama Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H