Mohon tunggu...
Risyad Sadzikri
Risyad Sadzikri Mohon Tunggu... Pelajar -

Sekadar pelajar biasa yang masih dan akan terus belajar kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Emosi dan Bunuh Diri

26 Juli 2017   23:09 Diperbarui: 26 Juli 2017   23:57 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita tentang bunuh diri sedang ramai menghiasi media massa akhir-akhir ini. Mulai dari berita collapse by design-nya artis lokal hingga legenda musik terus menerus menjadi topik hangat di tengah-tengah masyarakat. Bunuh diri seakan-akan muncul sebagai solusi tuntas mengakhiri penderitaan duniawi yang dianggap sudah terlampau berat, seperti depresi, rasa malu, terlilit hutang, hingga diputuskan kekasih.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang religius, Orang Indonesia selalu menanamkan pendidikan agama yang ketat sejak dini. Pendidikan agama dianggap penting sebagai sarana diri dan orang lain untuk selamat dunia dan akhirat. Meskipun orang Indonesia selalu mengutamakan pendidikan agama, namun mengapa banyak orang Indonesia yang beragama melakukan bunuh diri padahal itu dilarang oleh agama?

Salah satu faktor yang penting mengapa hal tersebut terjadi adalah siapakah yang menguasai dan mengendalikan diri sang pelaku bunuh diri ketika kejadian berlangsung? Mereka yang melakukan bunuh diri itu bukanlah dirinya yang asli, melainkan diri yang dikendalikan suatu hal dalam tubuh. Bisa jadi sang 'pengendali tubuh' itu adalah stres, depresi, putus asa, dan lainnya. Emosi tersebut dapat menyebabkan hilangnya kendali seseorang atas diri sendiri dan menjadikan diri sendiri lebih labil sehingga meningkatkan potensi mengakhiri hidup. Dalam sisi religius, hawa nafsu-lah yang menguasai hati si pelaku sehingga ia semakin termotivasi dan tidak mau mendengar ajakan untuk kembali ke sifatnya yang semula.

Karena yang menguasai tubuh bukanlah diri sendiri, maka akan terasa sulit dalam menerima akal pikiran yang jernih dan rasional. Emosi akan mencegah atau mempersulit sang pelaku bunuh diri untuk menerima akal maupun nasihat untuk tidak melakukan bunuh diri. Sering kita temukan banyak orang menasihati pelaku bunuh diri dengan nasihat religi, namun kebanyakan dari mereka tidak mau menuruti karena mereka hanya ingin mengakhiri penderitaannya masing-masing dengan segera.

Faktor eksternal juga mempengaruhi perilaku bunuh diri. Sering terjadi beberapa oknum tidak bertanggung jawab yang menyindir, sarkasme, bahkan menertawakan pelaku bunuh diri seakan-akan itu hanya candaan murah semata. ITU SAMA SEKALI TIDAK LUCU! Karena si pelaku bunuh diri tidak bisa berpikir jernih, ia tidak bisa mencerna sindiran atau sarkasme sehingga pelaku mengira bahwa itu adalah ungkapan emosi yang memotivasinya untuk bunuh diri. Sekali lagi: ITU BENAR-BENAR TIDAK LUCU!

Remaja adalah masa rentan untuk bunuh diri, karena emosi di masa remaja itu masih sangat labil. Emosi remaja akan mudah terganggu apabila ada yang mengusiknya sedikit saja bahkan untuk hal-hal yang orang anggap tidak penting. Remaja menjadi semakin rentan bunuh diri karena disebabkan beban dari berbagai sisi, seperti masalah sekolah, kekasih, ataupun bullying. Juga sangat mungkin bahwa kebiasaan remaja memutar lagu-lagu bertema kesedihan akan semakin menambah keterpurukan.

Karena itu, kontrol emosi menjadi sarana yang penting dalam mencegah bunuh diri. Seseorang yang memiliki emosi yang stabil akan lebih jarang melakukan bunuh diri dibandingkan dengan seseorang yang memiliki emosi yang labil. Perbanyaklah pendidikan agama karena pendidikan tersebut memiliki keunggulan di bidang pencegahan bunuh diri. Ceritakan dengan teman terpercaya atau psikolog untuk mencurahkan semua masalah yang dialami. Emosi memang menjadi anugerah Tuhan YME kepada manusia agar memudahkan interaksi dengan yang lain. Namun, apabila emosi telah menguasai dan mengendalikan diri seseorang, maka emosi dapat berubah menjadi monster yang menakutkan.

Bunuh diri adalah solusi, namun bunuh diri mematikan puluhan bahkan ratusan solusi lain yang jauh lebih baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun