Mohon tunggu...
risyadara
risyadara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Airlangga

Syarifah Risya Dara Saqueena lahir di Bandung pada 4 November 2006 dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ia tumbuh besar di Depok dan saat ini tinggal di Surabaya untuk menempuh pendidikan S1 di jurusan Sosiologi. Risya memiliki minat besar dalam bidang sosiologi dan bercita-cita memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Ke depannya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Hukuman Telah Berakhir, Tapi Stigma Tak Kunjung Hilang: Tantangan Reintegrasi Narapidana di Tengah Penolakan Sosial"

3 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 3 Januari 2025   21:32 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara, termasuk mereka yang pernah melakukan tindak pidana. Namun, ketika mantan narapidana telah menyelesaikan masa hukuman, perjalanan mereka untuk kembali diterima oleh masyarakat sering kali terhambat oleh stigma yang melekat. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar bisa kembali menjalani hidup seperti biasa?  

Stigma terhadap mantan narapidana bukan tanpa sebab. Ketakutan akan kemungkinan mereka mengulangi kejahatan menjadi alasan utama masyarakat sulit memberikan kepercayaan penuh. Hal ini diperkuat oleh pemberitaan media yang kerap menyoroti residivisme sehingga menciptakan stereotip negatif. Akibatnya, masyarakat seringkali menganggap mantan narapidana sebagai ancaman, baik secara sosial maupun ekonomi.  

Tidak hanya itu, mereka yang baru saja keluar dari penjara juga sering menghadapi hambatan besar dalam dunia kerja. Banyak perusahaan enggan mempekerjakan mereka karena catatan kriminal, yang dianggap mencerminkan masalah kepribadian. Sikap diskriminatif seperti ini semakin menegaskan bahwa stigma masyarakat menjadi salah satu penghalang terbesar bagi reintegrasi sosial mantan narapidana.  

Stigma sosial yang diterima oleh mantan narapidana membawa dampak besar, tidak hanya pada hubungan sosial mereka tetapi juga pada kondisi psikologis. Perasaan malu, rendah diri, bahkan depresi sering dialami mereka yang merasa tidak diterima oleh lingkungan. Tekanan seperti ini tidak jarang membuat mantan narapidana merasa terisolasi dan kehilangan harapan untuk memulai hidup baru. Dalam beberapa kasus, rasa putus asa ini bisa mendorong mereka kembali ke lingkaran kejahatan. Lingkaran setan ini seringkali sulit dihentikan tanpa dukungan dari masyarakat. Menghapus stigma terhadap mantan narapidana bukan tugas mudah, tetapi bisa dilakukan dengan berbagai langkah konkret yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan mantan narapidana sendiri. Kesadaran publik perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak lagi menganggap semua mantan narapidana sebagai ancaman. Kisah-kisah inspiratif dari mantan narapidana yang berhasil kembali ke masyarakat dapat menjadi contoh nyata. Rehabilitasi tidak hanya soal melatih keterampilan kerja, tetapi juga mendukung pemulihan mental. Program ini harus mampu membekali mantan narapidana dengan keahlian yang dapat membantu mereka membangun kembali kehidupan.  

Mantan narapidana berhak mendapatkan kesempatan yang sama seperti warga negara lainnya. Kebijakan diskriminatif perlu dihapuskan, terutama yang berkaitan dengan akses pekerjaan. Komunitas lokal serta lembaga agama dapat memainkan peran penting sebagai jembatan antara mantan narapidana dan masyarakat. Dengan pendekatan berbasis nilai kemanusiaan, masyarakat dapat lebih terbuka menerima mereka. Stigma terhadap mantan narapidana menjadi penghalang besar bagi mereka untuk benar-benar memulai kembali kehidupan. Padahal, memberikan kesempatan kedua bukan hanya bermanfaat bagi individu tersebut, tetapi juga bagi masyarakat secara luas.  

Dengan membangun lingkungan yang inklusif, masyarakat Indonesia bisa membuktikan bahwa keadilan tidak hanya tentang memberi hukuman, tetapi juga memberikan kesempatan untuk berubah dan berkembang. Reintegrasi sosial adalah tanggung jawab bersama, yang hanya bisa terwujud jika stigma bisa dihapuskan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun