Â
Memasuki masa transisi era otonomi daerah dan demokratisasi pasca pergolakan politik lalu, telah membawa animo optimisme setiap daerah. Perubahan yang terjadi berdampak pada kekuatan kebijakan pemerintah ditingkat kemandirian daerah yang mempertimbangkan suara dan kebutuhan masyarakat di daerah. Kadua hal tersebut memiliki korelasi yang dekat bagaikan dua sisi uang logam, karena pada hakikatnya, suara dan kebutuhan rakyat menjadi pusat utama demokrasi dan otonomi daerah.Â
Transisi demokrasi dan otonomi daerah juga berdampak pada pola rekruitmen politik kepala daerah yang kita sebut dengan Pilkada. Pilkada mulanya hanya berlangsung di ruang – ruang sempit demokrasi yang minim partisipasi dan berubah secara terbuka. Pilkada dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber and Jurdil) tentu memberikan spirit positif bagi penguatan otonomi daerah. Penyelanggaran yang sesuai undang – undang dan demokratis mampu memperkuat sinergisitas antara masyarakat dan pemerintah daerah karena warga negara mendapat legitimasi langsung saat proses tahapan Pilkada berlangsung.
Selanjutnya, Pilkada dalam kaitan penguatan otonomi daerah juga memberikan kesadaran, daya kritis pada masyarakat yang bermuara pada meningkatnya partisipasi politik warga Negara, baik dalam rangka memilih atau dipilih karena Pilkada menjadi bagian penting untuk pendidikan politik masyarakat. Keterbukaan demokrasi membuka pintu aspirasi masyarakat secara langsung maupun melalui media massa.Â
Hal ini diharapkan mampu memberikan jawaban untuk segala masalah yang dialami setiap daerah. Meskipun pada kenyataanya, kesenjangan, kemiskinan, ketidakadilan hukum, dan pembangunan yang belum merata masih belum tuntas karena demokrasi hanya dipahami sebagai laba politik yang merangkai instrumen politik dari demokrasi berjalan setengah hati.
Antara Pilkada dan keberhasilan otonomi daerah sebenarnya menjembatani pemerintah yang mendukung kemajuan suatu daerah. Menurut Zainal Arifin Hoesein, Pilkada berguna untuk mendekatakan pada basis otonomi daerah tentang tata kelola pemerintahan yang berpijak dan berpihak pada kehendak dan kebutuhan rakyat, sehingga Pilkada benar – benar bisa menghasilkan derajat demokrasi yang berdampak pada kesejahteraan dan keadilan sosial.Â
Meski pada kenyataannya muncul berbagai anomali atas paraktik – praktik Pilkada itu sendiri. Sebagai contohnya banyak Gubernur, Walikota, dan Bupati yang menjadi pesakitan karena tersangkut kasus korupsi. Kemudian, keberadaan seperti ini tentu memunculkan pertanyaan mendasar bahwa, apakah ini kesalahan sistem dalam Pilkada  ataukah rakyat yang salah memilih calon pemimpin? Skandal kasus korupsi ini, merekonstruksi paradigma berfikir masyarakat menjadi apatis terkait dengan Pilkada yang sebenarnya adalah suatu proses politik sangat penting, dalam rangka memilih pemimpin yang berintegritas yang mampu membawa perubahan secara cepat dan tepat, sesuai dengan cita – cita Indonesia.
Calon Tandingan
Permasalahannya, dari sekian banyak pola pikir yang hidup dimasyarakat, mereka selalu cenderung menstigma instrument demokrasi ini yakni saat pemilu ataupun Pilkada. Mereka mengkonstruksi dan menggiring opini itu dengan sangat mendramatisir padahal sebenarnya tidak ada yang patut kita cela, dan dipersalahkan. Pemilu hanyalah sebuah instrument demokrasi untuk menjalankan kedaulatan rakyat terutama untuk pemilihan pejabat publik. Jika memang tidak ada calon yang ideal, apakah kita yang non – partai (independent) akan  ikut andil sebagai calon kepala daerah yang akan dipilih nanti?
 Atau kita hanya akan menjadi calon pemilih yang hanya bisa menonton dan mengontrol melalui kritik masa atau, golput? Hal ini berarti bahwa masyarakat harus melakukan langkah – langkah kecil sebagai upaya kritik sosial dalam melawan krisis kepercayaan ataupun sebagai langkah preventif melahirkan gerakan penyadaran kolektif bagi calon pemimpin nanti, dalam bentuk hadirnya calon pemimpin tandingan.Â
Calon pemimpin tandingan pada dasarnya merupakan calon kepala daerah alternatif yang diusung tanpa melalui partai. Kekuatan politik yang dibangun oleh calon kepala daerah alternatif ini berpusat pada modal sosialnya, yang berarti bahwa sosok ini adalah benar – benar orang yang disegani dan memiliki citra positif di mata masyarakat, seperti tokoh – tokoh besar di daerah ataupun putra daerah.