Mohon tunggu...
RIFKY R TANJUNG
RIFKY R TANJUNG Mohon Tunggu... Penikmat Akal Sehat -

1) Iam Moslem 2) Penikmat Kajian Sosial Politik dan Budaya 3) Love Bangka Belitung 4) *Menulis Untuk Melawan Lupa*

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuju Kedaulatan Komunitas Adat

31 Maret 2016   14:19 Diperbarui: 12 April 2016   09:37 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara kolektif, kita menyadari bahwa kearifan lokal sudah banyak tergerus oleh arus perubahan sosial yang begitu cepat. Kerusakan tanah dan air, juga kebudayaan adalah contoh kecil yang belum menjadi fokus perhatian kita bersama. Di beberapa desa di Bangka Belitung memiliki masyarakat yang memegang teguh nilai – nilai adat, di tanah dan airnya seperti suku – suku yang ada yaitu komunitas adat Suku Lom, Suku Jerieng, Suku Skak, dan lain sebagainya yang telah tergadai demi kelestarian alam dan tradisi masyarakat lokal.

Komunitas adat, sebenarnya adalah masyarakat yang sangatlah kaya, mereka memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang masih lestari dan juga disekelilingi oleh peninggalan benda bersejarah oleh para leluhurnya. Akan tetapi sungguh sangat disayangkan pada era desentralisasi yang memusatkan peran pemerintah berdasarkan kebutuhan masyarakat masih belum begitu maksimal dalam memfokuskan pada komunitas adat. Tanah dan kekayaan alam yang sering disalah pahami oleh berbagai pihak, konteksnya adalah pengelolaan SDA yang berbasis pada investasi modal oleh korporasi kepada pemerintah. Memang benar, bahwa keberadaan industri dari korporasi baik dalam bentuk investasi atau pun industri kehutanaan di tanah masyarakat lokal yang melibatkan masyarakat merupakan cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui sumber mata pencaharian baru oleh industri tersebut. Tetapi, dengan logika masyarakat terkadang sangatlah berbeda dengan apa yang diupayakan oleh pemangku kepentingan dan korporasi yang mendirikan perusahaan di tanah masayarakat adat. Hal inilah yang menimbulakan gesekan kepentingan diantara mereka, dan terkadang terjadi intervensi SDA yang melahirkan marginalisasi komunitas adat dan kerusakan ekologi. Konflik agraria merupakan salah satu contohnya akibat tarik menarik kepentingan antara ketiga relasi sturktur sosial yang memiliki kepentingan pada SDA di tanah dan air.

Pembaca yang budiman, banyak sekali harapan – harapan yang ingin disampaikan dari mereka “Komunitas Adat” yang sering sekali tidak berdaya karena tanah dan air mereka seringkali dimanfaatkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pasar, dan kebutuhan kita. Masalah ini dapat dimaknai bahwa belum terumuskan sebuah ketegasan yang jelas mengenai pengakuan hak dan wilayah adat. Padahal jika ditelaah dengan seksama mengenai produk hukum untuk kedaulatan komunitas adat, Aliansi Komunitas adat Nusantara (AMAN) sudah memiliki konsep untuk peluang pengakuan hak ulayat yang tercantum pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang dilantunkan pada tanggal 16 Mei 2013. Tak hanya itu, peluang melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berintisari penegakan otonomi desa beserta komunitas di dalamnya. Tegaknya pengakuan secara hukum untuk perdamaian memiliki peluang dapat terlaksananya kawasan komunitas adat menjadi Desa Adat dengan melihat kemajuan komunitas adat di wilayah nusantara lainnya.  Oleh karena itu, guna mendukung pelestarian dan pengakuan hak – hak adat yang meliputi tanah, air, dan kebudayaanya, maka diperlukan konsep yang dapat melindungi ekstistensi kearifan lokal komunitas adat seperti memperkuatnya dengan konsep “Desa Adat” atau yang diformulakan sebagai desa binaan. Setelah terbentuknya Desa Adat maka luaran yang diharapakan dapat berupa terbentuknya wisata budaya dan sejarah, pengembangan ilmu pengetahuan, keragaman flora dan fauna di kawasan hutan komunitas adat.

 

Desa Adat, Perlukah?

Idealnya, penerapan konsep Desa Adat paling tidak dapat menjadi upaya pembangunan masyarakat madani, melalui kemandirian masyarakat untuk meresolusi masalah mereka, dengan memberikan kewenangan sepenuhnya bagi desa untuk mengatur hak ulayatnya berdasarkan peraturan perundang – undangan yang ada dan diatur dalam Peraturan Daerah, dan Peraturan Desa. Kewenangan – kewenangan pada konsep Desa Adat di UU No. 4 Tahun 2014 tentang Desa pasal 103, sangatlah mempertegas bahwa terdapat nilai sosiologis dan budaya yang ditegakan untuk melindungi komunitas adat, secara inti yaitu, pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli, pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat, pelestarian nilai – nilai sosial budaya, resolusi konfik sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat, penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa, pemeliharan ketentraman dan ketertiban Desa Adat yang berlaku di Desa Adat, dan pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat. Tidak hanya itu, Desa Adat bagi komunitas adat, juga secara positif dapat melahirkan sebuah kekuatan sosial, ekonomi yang baru yaitu wisata desa adat. Objek wisata yang digagaskan bisa meliputi kearifan lokal seperti hutan adat beserta kekayaan flora dan fauna di dalamnya, dan artefak sejarah peniggalan nenek moyang, serta rangkaian tradisi adat.

Belum menjadi pemikiran kita bersama mengenai konsep Desa Adat, ditambah lagi dengan lemahnya kondisi masyarakat untuk menerapkan gagasan tersebut seperti, peta tata ruang wilayah adat yang belum pasti, masih tumpang tindih dengan batas wilayah oleh negara, bahkan perusahaan yang ada di tanah adat mereka. Lalu, Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum kuat ditandai belum diberdayakannya lembaga adat untuk mengurusi persoalan di desa, dan peran aktif serta penyatuan persepsi bersama antara pemerintah daerah, korporasi, dan masyarakat tentang pengelolaan tanah dan air agar tidak terjadi tafsir ganda kearifan lokal.

Memanglah tidak mudah untuk menerapkan konsep Desa Adat di beberapa tanah adat khususnya di wilayah Babel. Perencanaannya dapat juga dikatakan memiliki jangka waktu yang cukup panjang, dengan SDM yang memadai, namun tidak salah jika kita berniat baik untuk sesegera mungkin berkomitmen, melindungi kearifan lokal komunitas adat yang tergadai demi kelangsungan hidup kita semua.

Diterbitkanrakyatpos tanggal 09 April 2016

(http://www.rakyatpos.com/menuju-kedaulatan-komunitas-adat.html)

[caption caption="Sumber : Jurnal Wacana Tentang Masyrakat Adat NO. 33 | TAHUN XVI | 2014"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun