Mohon tunggu...
Riswan Hidayat
Riswan Hidayat Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Ketupat Tak Lagi Bermakna

2 Juli 2017   17:52 Diperbarui: 10 Juli 2017   14:34 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Ketupat Tak Lagi Bermakna

Lebaran telah usai, sisa-sisa ketupat (yang memasaknya kurang baik) sudah mulai membusuk dan terpaksa dilemparkan ketempat sampah. Tidak ada yang harus disesali, semua masih dalam tahap wajar dan biasa-biasa saja.

Ketupat yang dalam bahasa Jawa Kupat adalah makanan wajib ketika hari raya lebaran, kupat  biasanya akan disandingkan dengan opor ayam dan sambel krecek tempe dan hati.

Kupat jarwo dhosoknya / asal usul adalah ngaku lepat (mengaku bersalah) sedang janur sebagai selongsongnya adalah jatining nur atau hati nurani. Mengapa ketupat dengan selongsong janur ini bisa menjadi makanan wajib ketika hari raya iedul fitri konon ini dimulai ketika Sunan Kalijogo. Apakah hal tersebut benar adanya atau tidak benar adanya, sudah tidak menjadi masalah lagi. Kita terlalu gampang untuk tidak menanyakan segala hal. Kita terlalu sendika dawuh pada orang --orang (yang dituakan) pada masa lalu.

Tetapi di abad ini banyak juga orang yang merindukan masa lalu dengan merutuk jaman. Perputaran perubahan jaman yang menurun dan melemah yang ditunjukkan dengan kemerosotan pada fenomena sosial, menjadikan rutukan sepanjang jaman sepanjang jalan (tidak pakai kenangan). Untuk sekedar contoh sebut saja tentang chating sex seorang imam besar dengan wanita yang bukan muhrimnya, tokoh reformasi yang ternyata korup ,mantan menteri yang menjadi narapidana dan lain sebagainya.

Sama dengan fenomena sosial yang mengalami penurunan, perputaran jaman yang menurun dan melemah juga dialami sendiri oleh ketupat. Ia (ketupat) yang dulu bukanlah yang sekarang, ia yang dulu dirangkai dari daun kelapa muda (yang masih kuning) dengan hand made, sekarang sudah bisa kita didapatkan di super market maupun tempat perbelanjaan sebagai ketupat instan,dengan bungkus plastik. Ketupat tidak berasa seni lagi. Silahkan buka google dan ketikkan ketupat instan akan banyak muncul merk merk ketupat instan tersebut. Ketupat menjadi barang pabrikan.

Apakah ini kemajuan ataukah kemunduran? Ya semua tergantung cara memandangnya juga sih. Kalau boleh diperbandingkan dengan pertanyaan Pak Jakowi tentang nama-nama mentri pada kabinetnya, oleh seorang santri dijawab salah, dengan menyebut salah satu mentri Jakowi adalah Ahok, dan jawaban salah tersebut mendapatkan sepeda! Maju atau kemunduran, hukuman atau ganjaran, salah atawa benar mejadi sangat-sangat relatif bukan?

Oke kita tinggalkan Pak Jakowi yang sedang membagi-bagikan sepeda. Mari kita pertanyakan cara memotong ketupat yang syari itu bagaimana? Apakah dari pinggir kiri dulu atau dari tengah? Atau kita ikutan Jupe saja supaya gampang dan sedikit bercitarasa "kalau abang suka tinggal belah saja" ya terserah kita-kita suka saja, lagian enakan ikutan Jupe. "dibelah bang dibelah/ enak bang? Silahkan dibelah"

Kita kembali ke ketupat, imho ketupat instan ketupat made in pabrikan dibandingkan dengan ketupat hand made akan terasa lebih nyus ketupat yang selongsongnya pakai janur dan dirangkai dengan tangan-tangan trampil. Sedangkan ketupat instan ataupun ketupat pabrikan tidak menjadi khusus lagi tidak menjadi istimewa lagi , ketupat menjadi sangat-sangat biasa dan jauh dari kesan sakral. Ketupat menjadi nge pop dan banal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun