Keputusan Gus Miftah untuk mundur sebagai Utusan Khusus Presiden memunculkan berbagai sorotan terhadap perilakunya yang dianggap melukai masyarakat kecil. Pernyataannya yang viral, ketika mengolok seorang penjual es teh dalam sebuah ceramah, menjadi bumerang besar bagi reputasinya. Sebagai seorang tokoh agama sekaligus pejabat publik, Gus Miftah seharusnya menjadi contoh penghormatan dan kepedulian. Namun, olok-oloknya justru mencerminkan ketidakpekaan sosial yang kontras dengan ajaran Islam tentang menghargai sesama.
Kejadian ini menunjukkan bahwa humor yang tidak tepat sasaran dapat dengan cepat berubah menjadi penghinaan yang merusak, baik secara personal maupun publik. Dalam konteks dakwah, di mana pesan moral seharusnya menjadi inti, tindakannya telah mengaburkan tujuan tersebut. Apalagi, sebagai representasi pemerintah, hal ini menodai kredibilitas lembaga yang ia wakili. Langkah mundurnya patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi insiden ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pejabat untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara.
Peristiwa ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang pentingnya empati, etika publik, dan tanggung jawab moral, terutama bagi mereka yang berdiri di bawah sorotan masyarakat. Ini bukan sekadar kasus individu, melainkan refleksi dari tantangan yang dihadapi tokoh publik dalam menyeimbangkan pengaruh dan integritas mereka di tengah tuntutan zaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI