Mohon tunggu...
Andi Riswanda Irawan
Andi Riswanda Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Writer

Penulis lepas dengan passion dalam menulis dan berbagi cerita. Berusaha menghadirkan artikel yang menarik dan menginspirasi bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Populisme di Era Kontemporer

1 Desember 2024   09:08 Diperbarui: 1 Desember 2024   09:16 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan bangkitnya fenomena populisme yang memengaruhi peta politik global. Populisme, yang pada dasarnya mengedepankan ideologi yang mengklaim sebagai suara rakyat melawan elite yang dianggap tidak mewakili kepentingan umum, telah menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan dalam banyak negara. Meskipun populisme memiliki berbagai bentuk dan nuansa, semua varian memiliki kesamaan dalam narasi yang menekankan konflik antara 'rakyat biasa' dan 'elitenya', serta klaim untuk mengembalikan suara rakyat ke tangan mereka.

Salah satu ciri khas populisme adalah retorika yang emosional dan polarizing, yang mampu menggalang dukungan luas dengan memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap ketidakadilan, kebijakan yang tidak merata, atau dampak dari globalisasi. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Brasil, dan beberapa negara Eropa, tokoh-tokoh populis telah menciptakan basis massa yang besar dengan mengadopsi bahasa yang lebih sederhana dan langsung, mengabaikan kompleksitas isu-isu sosial-politik untuk memberikan jawaban instan dan mudah dipahami.

Namun, meskipun populisme dapat memberikan suara bagi mereka yang merasa terpinggirkan, fenomena ini juga membawa tantangan signifikan. Seringkali, retorika populis memperkuat polarisasi sosial, menciptakan 'kita vs mereka' yang dapat mengancam kohesi sosial dan stabilitas politik. Para pemimpin populis sering kali mengandalkan narasi yang memecah belah dan mengaburkan fakta demi keuntungan politik, yang pada akhirnya dapat merugikan institusi demokrasi dan merusak kepercayaan publik terhadap proses pemerintahan.

Dalam jangka panjang, populisme juga bisa mengarah pada kebijakan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan yang matang, melainkan pada kebutuhan untuk memenuhi janji-janji kampanye. Hal ini bisa mengakibatkan kebijakan yang tidak berkelanjutan, peningkatan polaritas, dan potensi konflik sosial yang lebih besar. Meskipun populisme memiliki daya tarik yang kuat dalam menjawab kebutuhan politik yang mendesak, penting bagi masyarakat dan para pemimpin untuk mengenali potensi bahayanya dan bekerja menuju dialog yang lebih konstruktif serta kebijakan yang memperhitungkan kepentingan semua pihak.

Dengan munculnya populisme yang semakin meluas, penting untuk mengkaji kembali bagaimana sistem politik dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi tantangan ini. Apakah perlu ada perubahan dalam cara komunikasi politik dilakukan agar lebih inklusif, atau mungkin ada cara-cara baru untuk membangun jembatan di antara kelompok yang berbeda di masyarakat? Ini adalah pertanyaan penting yang harus dijawab agar demokrasi tetap sehat dan dapat berkembang di era yang penuh tantangan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun