Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Money

Rekanku, Pembunuh Ide-ideku

6 November 2010   16:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:48 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman, terlebih rekan kerja, adalah orang yang selalu berhubungan dengan kita di tempat kerja. Di tempat kerja, seharusnya orang-orangnya saling mendukung dan men-support agar timbul semangat kerja yang tinggi. Dengan kerja sama dan suport tersebut, kita dapat lebih kreatif dalam menyelesaikan pekerjaan atau lebih cerdas menggali ide-ide dari tidurnya di pikiran kita. Akan tetapi, yang terjadi sering sebaliknya. Bukannya mendorong kreativitas, terkadang rekan kerja –disadari atau tidak—justru menjadi pembunuh ide-ide yang sudah di ujung lidah. Saya pernah mengalaminya di suatu hari.

Ceritanya, 45 menit sebelum jam pulang, kami mengadakan diskusi untuk mencari tema-tema tentang buku yang mungkin bisa diterbitkan karena selama ini kami belum mendapatkan naskah untuk diedit. Nah, ketika saya menyampaikan satu ide tentang naskah tertentu, ide saya langsung dimentahkan oleh salah seorang rekan saya. Memang tidak semua rekan saya langsung mencibir ide saya. Alasannya beragam, mulai dari susah pemasaran, masalah teknis, membutuhkan waktu lama, dan sebagainya. Karena masih belum bisa diterima, saya pun menyampaikan usulan lanjutan. Akan tetapi, lagi-lagi mereka seolah mencibir usulan saya tersebut. Tidak mau kalah, saya pun menyampaikan alasan-alasan saya menyampaikan usulan tersebut. Tapi lagi-lagi, mereka tidak memberikan dorongan motivasi atau pujian, tetapi justru pandangan pesimistis dan cibiran—saya merasa seperti itu—padahal mereka sendiri belum mengajukan usul naskah satu pun…

Walhasil, diskusi selama 45 menit itu pun tidak menghasilkan apa-apa, selain perasaan hati saya yang semakin merasa malas untuk mengeluarkan ide-ide yang ada di otak saya. Saya merasa percuma saja menyampaikan ide-ide itu karena tidak akan mendapatkan apa-apa. Jangankan penghargaan atau ucapan yang menggembirakan. Yang saya dapatkan justru pandangan melecehkan seolah ide-ide saya sangat buruk dan tidak pantas ditindaklanjuti. Lebih aneh lagi ketika di akhir diskusi, salah seorang rekan mengatakan bahwa buku dengan sasaran remaja memang susah dipasarkan. Padahal saya diminta mencari ide tema buku tentang remaja. Alhasil, rasa malas berpikir dan menyampaikan ide saya semakin besar. Akhirnya, saya hanya bersikap masa bodo. Dikasih kerjaan ya dikerjakan. Kalau tidak dikasih, ya tinggal tunggu. Tidak ada gunanya meminta-minta pekerjaan…

****

Saya pernah membaca buku yang menceritakan tentang cara suatu perusahan agency iklan dalam mencari ide-ide. Ketika berdiskusi—brainstorming kata mereka—tidak ada ide yang dianggap jelek. Semua ide ditampung, meskipun itu ide yang sangat gila. Barulah ketika sesi penelaahan tiba, ide-ide tadi dibahas satu per satu. Saat penelaahan inilah ide-ide yang telah ditampung dipreteli lebih jauh. Ide yang jelek dianggap jelek, yang bagus dianggap bagus. Dengan pola diskusi ini, semua peserta tidak akan merasa tertekan ketika mengeluarkan ide karena ide-idenya pasti didengarkan, walaupun akhirnya mungkin dibuang ke keranjang sampah. Tapi yang pasti, ketika mengeluarkan ide, semua peserta merasa bebas dan tidak ada peserta lain yang langsung menimpali atau mencibir. Suasana seperti itulah yang dapat menciptakan ide-ide brlilian yang akhirnya berimplikasi pada keuntungan perusahaan.

Yang sering terjadi pada sebagian besar diskusi yang melibatkan karyawan dan atasan, saya meyakini sebagian besar karyawan enggan mengeluarkan ide-ide mereka, meskipun dipancing dengan iming-iming reward atau yang lainnya. Apa sebabnya? Sebab, tanpa disadari atasan, karyawan telah “diajari” minder terlebih dahulu, terutama ketika rapat dengan pimpinan. Inilah yang harus diperhatikan seorang pemimpin atau atasan. Selain itu, karyawan juga akan merasa bahwa ide yang dikeluarkannya hanya akan menguap begitu saja. Dan ketika rapat usai, atasan akan melupakan ide-ide yang disampaikannya.

Kejadian seperti itu mungkin lebih manusiawi. Kadang kala bahkan ada atasan yang tega mencatut ide dari bawahannya dan menyampaikan kepada level yang lebih tinggi sebagai idenya sendiri. Hal seperti ini saya yakin sering terjadi di lingkungan perusahaan. Perbuatan seperti itu tentunya sangat tidak fair. Karyawan yang mengeluarkan ide, atasannya yang akan memperoleh prestasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun