Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manusia Dungu

19 Desember 2012   02:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:24 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Botol kaca menjadi magnet? Mungkin itu hanya ada dalam hidupku. Ya, botol-botol berisi minuman keras itu laksana magnet yang menarik tanganku untuk mencumbunya. Lengket dan tak ingin terlepas. Itulah yang aku rasakan saat tanganku menyentuh botol-botol jahanam itu. Sungguh, aku tak kuasa menahan tanganku yang menyuapkan minuman panas itu ke dalam mulutku. Otakku seakan tidak mampu lagi mengontrol tanganku sendiri.

Dulu, ketika pelbagai persoalan berkecamuk di hatiku, aku menganggap alkohol dan pil setan adalah teman terbaikku. Mereka mampu menekan permasalahan yang aku rasakan. Tapi ternyata, persoalanku tak pernah berakhir. Bahkan, hingga aku terkapar di ujung hidupku. Ya, hanya karena kekasihku yang tidak setia meninggalkanku, aku limbung. Aku tak mempunyai pegangan lagi.

Sungguh aku tidak mengerti dan memahami jalan pikiran yang ada di kepalanya. Entah apa kesalahanku hingga kekasih yang aku harapkan pergi menggandeng laki-laki lain. Apa yang belum aku lakukan untukmu? Pertanyaan itulah yang selalu mengisi hari-hariku. Ia senantiasa menghantui mimpi malamku  bagai racun yang dituangkan dalam setiap santapanku. Tidak ada lagi kenikmatan hidup yang kurasakan setelah itu.

Masih terekam jelas di otakku kejadian malam itu.

“Mas, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini,” katamu.

“Mengapa? Kesalahan apa yang telah aku lakukan kepadamu?” kataku sambil memandang kedua matamu. Di sana, aku melihat keyakinan yang takkan tergoyahkan walaupun prahara menerpa.

“Kamu tidak bersalah mas. Aku hanya tidak bisa terus bersamamu. Aku wanita normal Mas. Aku butuh kehangatan seorang laki-laki perkasa yang . . . .”.

Telingaku tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan omongannya. Mataku seolah melihat setan berwajah hitam gelap mengulurkan tangan ke tenggorokannya. Tangan itulah yang menggerak-gerakkan pita suara di tekak wanita celaka itu. Aku tahu, ia masih terus mencerocos, tapi tak sepatah katapun yang aku dengar.

Aku tersadar dari pesona hitam itu ketika setan di pundakku berteriak menggelegar. Setan itupun kemudian berkata, “He, kau sudah dengar? Dia tidak menemukan kepuasan bersamamu, meski kalian telah bersama selama 5 tahun. Ia telah mendapatkan lelaki perkasa yang diimpikannya. Mereka telah mereguk kenikmatan duniawi selama 2 tahun belakangan ini. Kamu sungguh tidak berguna karena tidak bisa memuaskan wanita yang engkau cintai. Kalian memang sering bercinta, tetapi itu hanya memuaskan dirimu saja. Dia tidak pernah merasa puas denganmu. Dengan lelaki itu, dia menemukan kebahagiannya. Kamu sungguh pria impoten tolol.”

Ketika kembali ke dunia nyata, aku tidak lagi melihat wanita itu di hadapanku. Hanya setan di pundakku yang terus-menerus membisikkan kata-kata beracun ke dalam otakku. Dan, seperti kena sihir, akupun mengiyakan semua kata-kata beracun itu. Setanpun tertawa melihat aku takluk.

***

Suasana di ruangan ini sungguh hingar-bingar. Musik keras. Lampu remang-remang berwarna-warni. Suara tertawa dan desahan semakin mengeruhkan suasana. Di tempat inilah aku mulai berkawan dengan isi botol-botol kaca itu. Kawan-kawanku mengatakan itulah air surga. Ia mampu menghilangkan semua duka yang aku derita. Mana mungkin. Semula aku tidak mau menyentuhnya. Akan tetapi, ia begitu menggoda. Ia seolah menari-nari di dalam lipatan-lipatan otakku. Otakku yang sedang kacau tak mampu mengontrol kelakuanku. Hingga minuman yang dikemas dalam botol cantik itu memasuki perutku.

Aku tahu, lidahku sudah berusaha menolak minuman pahit itu melewatinya. Namun apa daya, indra perasa itu sudah mati sehingga tak dapat merasakan apa-apa lagi. Sekali lagi, lidah dan juga kerongkonganku hanya bisa kelu saat lambungku mengembang hingga cairan di mulutku mengalir deras. Mulutku seakan tidak peduli lagi pada muara di lambungku yang sudah banyak berlubang. Ia terus saja mempersilahkan alkohol itu memasukinya. Padahal, jika mulut itu bisa menolak, lambungku tidak akan terbakar oleh minuman setan itu.

Terbakar. Itu yang aku rasakan saat minuman haram itu memasuki rongga perutku. Perlahan tapi pasti, panas itu mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Syaraf-syaraf dari perutku mengantarkan pesan yang membuat otakku bingung. Pesan yang di bawanya tidak mampu diterjemahkan otakku dengan baik. Aku pun linglung. Saat itulah aku terlupa pada semua persoalan yang menghimpit dadaku. Terutama tentang pengkhianatan itu.

Kedashyatan alkohol yang membuat hidupku limbung tak bisa bikin aku kapok. Bahkan, tanganku pun mencengkeram pil-pil setan. Aku sendiri tak tahu apa nama pil itu. Yang aku tahu, aku seakan hidup di kahyangan. Tapi hanya sesaat. Ya, hanya sesaat. Setelah itu, sakit bukan kepalang yang aku rasakan. Apalagi ketika urat-urat di tubuhku menuntut. Sementara, aku tidak mampu menjangkau barang entah apa itu namanya. Aku pun hanya bisa menggelosoh di kubangan ompolku sendiri.

***

Saat ini aku hanya bisa menantikan sang malaikat maut turun menjemputku dari awan putih yang menggelayut manja di kaki langit diiringi suara menggelegar dahsyat. Suara itu bak vonis dari malaikat maut atas perbuatan-perbuatanku. Suara-suara itu terus memburu dan menggetarkan gendang telingaku. Namun, sayaf-syaraf di telingaku seakan mati. Ia tidak mampu mengantarkan pesan sang bunyi ke otakku, sehingga aku tidak bisa lagi membedakan mana suara ember jatuh atau suara sapi melenguh.

Mataku pun seakan kabur tak lagi mampu menerima cahaya dari benda di sekitarku. Lensa mataku terasa mengganjal di kornea dan menimbulkan rasa perih yang menjalar hingga seluruh tubuhku. Aku tak lagi bisa melihat. Otakku tak lagi bisa berpikir dan neuron-neuron di kepalaku sudah layu termakan usia dan tak mampu lagi berkarya. Bahkan, untuk mengingat kejadian yang baru saja terjadi pun sudah tak mampu. Yang teringat justru dosa-dosa yang tertawa menyaksikan penderitaanku. Suara mengejek yang dilontarkan kekhilafanku semakin menambah nestapa di hatiku.

Air es tak lagi mampu mendinginkan tenggorokanku yang terasa terbakar, seperti ketika pertama kali minuman keras mengenali lorong di leherku. Tapi ini beribu-ribu kali lipat panasnya. Bahkan jika aku sedang berada di kutub selatan, mungkin es di sekitarku akan mencair akibat panas yang kurasakan. Pita suaraku tak lagi mampu bergetar walaupun hanya sekadar untuk mengeluh. Lidahku kelu dan kaku seperti tersuntik formalin dan tak mampu lagi merasakan benda di mulutku. Akupun gagu.

Minuman keras dan narkoba yang telah bercampur dengan darahku sekarang berontak ingin melepaskan diri seolah ingin bebas dari tuntutan pengadilan. Pemberontakan ini telah melumpuhkan transportasi oksigen oleh darah ke seluruh tubuhku. Akibatnya, setiap sel di tubuhku mati secara perlahan karena tidak bisa bernapas. Akupun merasa tubuhku semakin kering karena tidak ada lagi cairan yang mengisi lapisan di bawah kulitku. Akupun hanya tinggal tulang terbungkus lapisan tipis kulit yang tidak lagi kurasakan keberadaannya.

Alkohol dan obat terlarang yang telah terbawa darah dengan paksa kini berkumpul di perutku. Kini perutku semakin buncit. Sangat kontras dengan tubuhku yang kurus kering. Perutku diaduk dan dikocok hingga ususku berlubang di setiap tempat. Dari lubang-lubang itu memancar najis-najis yang dahulu tidak pernah aku singkirkan dari tubuhku. Bahkan, dengan senang hati aku mengundangnya masuk. Ah... betapa bodohnya aku. Andaikan dulu aku menjauhi minuman dan pil neraka itu mungkin ….

Tak ada lagi yang bisa aku jadikan pijakan dalam hidup ini. Harta benda yang kukumpulkan dengan keringat darah, amblas. Aku tak lagi bisa berbuat apa-apa ketika malaikat Israil mulai menggunting namaku di Lauh Mahfudz. Raga yang dulu aku banggakan, kini hanya bisa berbaring lemah. Harta yang kukumpulkan, tidak cukup untuk membeli oksigen yang dulu disediakan gratis. Nikmatnya makanan yang telah terbiasa ku kunyah, kini tertolak oleh tubuhku sendiri. Kehausan yang aku rasakan takkan terobati walau minum air seluas lautan.

Kurasakan Israil mulai mengulurkan tangannya ke tenggorokan dengan kasar dan membuat mulutku menganga lebar. Wajahnya yang begitu menyeramkan membuat mataku tercekat. Melotot. Seolah ingin meloncat bersembunyi di kolong dipan. Suaranya yang menggelegar bak halilintar membuat gendang telingaku pecah. Kini, telingaku hanya mampu mendengar rintihan. Rintihan dari setiap sel-sel tubuhku yang sedang kesakitan karena kehilangan nyawanya.

Dua bola mata yang dulu sering melihat wanita-wanita yang bukan haknya, kini hanya mampu melihat kabut hitam. Mulut yang dulu begitu mudah memfitnah, mengadu domba, dan menciumi tubuh wanita tak tahu sopan, kini tak lagi bisa berkutik. Tidak untuk minta penundaan pada Israil barang sedetik pun. Tangan yang dulu begitu perkasa untuk menempeleng, meraba, atau memeluk makhluk lemah yang tak bersalah, kini tak lagi mampu melawan tangan malaikat pencabut nyawa. Kaki yang dulu digunakan berjalan dengan sombong, kini tak lagi mampu menjejak bumi. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Roh pun melayang dan menyaksikan ragaku mengerang.

Dalam keadaan itu, aku melihat setan yang selama ini setia di pundakku sedang bercengkerama dengan setan yang menggerakkan lidah di mulut wanita pengkhianat itu. Kedua setan itu tertawa menyaksikan aku sekarat. Bukankah setan-setan itu yang dulu menyediakan diri untuk menjadi temanku saat aku berduka? Mengapa sekarang mereka tertawa seolah senang dengan keadaanku? Saat aku merasa haus terbakar, bukan air dingin yang dibawa setan-setan itu, tapi air timah yang mendidih.

Perlahan tapi jelas aku mendengar kedua setan itu bicara.

“Lihat. Kita telah berhasil menjerumuskan seorang manusia dungu,” kata setan yang selalu di pundakku sambil mencibir dan melirik ke arah ragaku. Setan kedua pun segera menimpalinya.

“Bukan hanya dia. Wanita itu pun telah berhasil aku pengaruhi. Kini, ia begitu menikmati perbuatan terkutuknya bersama lelaki pilihannya itu. Dengan demikian, teman kita di neraka kelak semakin bertambah banyak dan kita tidak akan pernah kesepian.”

Kemudian terdengar suara tertawa mereka semakin lama semakin  menjauh dari raga. Rohku yang tak bisa kemana-mana semakin menderita karena penyesalan. Sekarang aku sadar, setan tidak mungkin menjadi teman yang setia. Namun, aku juga sadar kesadaranku kini sudah tak berarti lagi. Andaikan aku bisa hidup sekali lagi....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun