Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demi Nyaleg, Gadaikan Iman?

2 Desember 2013   07:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:26 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen oleh: Riswandi

Lurah Kasio berdiri termangu di halaman sembari menatap rumahnya yang kusam. Cat tembok sudah banyak yang mengelupas. Genting-genting tidak lagi cerah, menghitam karena lumut dan panas. Beberapa kali lelaki bertubuh kurus itu menghela napas. Ia merasa beban yang diembannya semakin hari semakin berat. Terlebih sejak percakapannya dengan istrinya sebulan yang lalu.

“Pakne, Bapak kan lurah. Masa nggak bisa memperbaiki rumah kita yang hampir roboh ini?” kata sang istri sambil mengaduk teh di gelas.

“Bune, uang dari mana yang mau dipakai untuk membangun rumah? Gaji Bapak cuma cukup untuk makan dan membayar sekolah anak-anak.” Lurah Kasio memandangi istrinya dari sebuah kursi kayu.

“Kreatif dikit lah, Pak. Lurah desa sebelah rumahnya besar dan bisa beli mobil. Padahal sebelum jadi lurah, keadaannya sama seperti kita. Pakne kan sudah enam tahun jadi lurah, masa iya keadaan kita semakin memprihatinkan.” Perempuan yang masih terlihat cantik itu meletakkan segelas teh di meja di depan suaminya.

“Kreatif bagaimana, Bune?”

“Sini Pak, Ibu bilangin. Kata Ibu Clutis, istri lurah desa sebelah, suaminya sering bikin proposal ke kecamatan atau kabupaten. Ada proposal pembangunan jalanlah, kegiatan kepemudaanlah, ataupun untuk kelompok tani di desa mereka. Dengan sedikit rekayasa, suami dan bawahannya bisa mengantongi sedikitnya 10% dari dana yang cair itu. Itung-itung itu ongkos lelah bikin proposal. Begitu lho, Pakne.”

“Itu namanya korupsi Bune. Bapak nggak mau melakukan itu. Kita tidak boleh mengambil yang bukan hak kita. Bagi Bapak, lurah hanya berhak atas gaji bulanannya. Apa Bune mau dikasih uang haram? Sudahlah Bune, kita syukuri saja apa yang kita peroleh saat ini.”

Wanita itu—yang dinikahinya dua puluh tahun lalu—terus menyerocos menuntut Lurah Kasio mencari penghasilan lain. “Mumpung masih jadi lurah, Pakne. Kapan lagi?” Itulah kata-kata yang sering ditekankan oleh sang istri. Lelaki dengan wajah tirus itu hanya bisa mendengarkan celotehan istrinya. Berbagai argumen yang coba diutarakannya, mentah dan tak mempan.

Sudah sebulan ini Lurah Kasio tidak lagi bisa mengajak istrinya mengobrol seperti biasanya, meskipun kewajibannya sebagai istri tidak pernah dilupakannya, kecuali kewajiban di ranjang. Ini yang membuat lelaki itu belingsatan dan menjadi tidak tenang.

Hari ini Lurah Kasio harus memberikan jawaban atas permintaan seorang ketua cabang salah satu partai, yang memintanya untuk menjadi caleg tingkat kabupaten. Dua minggu yang lalu ia didatangi perwakilan dari partai politik itu. Mereka meminta kesediaan lurah yang dikenal jujur itu untuk menjadi caleg pada Pemilu tahun depan. Katanya mereka telah mengikuti sepak terjangnya selama menjadi lurah. Menurut penilaian mereka Lurah Kasio adalah pejabat yang bersih serta didukung penuh oleh warga desanya.

“Begitulah, Pak Lurah. Sayang sekali kalau pejabat jujur seperti Bapak cuma menjadi lurah. Bapak berpotensi menjadi caleg. Bagaimana, Pak?” kata Pak Tambun, sang tamu yang bertubuh gemuk dan kepala botak di bagian depan.

“Wah, terus terang saya belum kepikiran ke sana. Lagian saya tidak punya modal untuk nyaleg.”

“Kejujuran Bapak modal untuk maju, Pak. Kalau untuk modal materi, Pak Lurah tenang saja. Kami bisa kasih solusinya, asal Bapak mau mengikuti saran kami.”

“Maksud Pak Tambun?”

“Begini Pak, tapi maaf sebelumnya jika kurang berkenan. Sebenarnya Pak Lurah ini punya harta yang sangat berharga. Dan, jika bapak mau menggadaikan harta tersebut kepada kami, kami akan memberikan berapa pun yang Bapak butuhkan,” kata si Tambun dengan suara yang dipelankan.

“Harta yang berharga? Maksud Bapak, rumah saya atau sawah saya yang hanya sepetak? Kalau harta yang itu saya rasa tidak cukup untuk biaya nyaleg.”

“Bukan itu Pak, harta ini ada di dalam diri Pak Lurah. Dengan menggadaikannya Bapak tidak perlu kehilangan sawah atau rumah. Tidak. Bapak tidak akan kehilangan apa-apa,” kata pendamping Pak Tambun yang sedari hanya diam.

“Saya semakin bingung dengan maksud Anda berdua,” kata Lurah Kasio melemparkan pandangan kepada dua orang di depannya. Keduanya tersenyum menyeringai melihat kebingungan Sang Lurah.

“Begini, Pak …,” kata Pak Tambun sambil berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke arah Lurah Kasio, dengan kedua tangan menangkup. Lurah Kasio paham dengan apa yang dimaksud tamunya. Ia pun berdiri dan membungkukkan badan ke depan dan mengarahkan kupingnya ke tangan Pak Tambun. Muka Kasio memerah setelah orang gemuk itu selesai membisikinya.

“Jadi, begitulah Pak. Dengan cara itu, Pak Lurah bisa mendapatkan dana satu hingga dua miliar dari partai kami. Bagaimana, Pak Lurah?”

Lurah Kasio terdiam. Selama ini ia sama sekali tidak tahu ada praktik semacam itu. “Saya tidak bisa memberi jawabannya sekarang. Beri saya waktu.”

“Baiklah, Pak Lurah kami beri waktu untuk memikirkannya. Namun, Bapak juga perlu tahu kami butuh jawaban secepatnya.”

“Beri saya waktu dua minggu.”

“Baik Pak Lurah. Kalau Bapak bersedia, datanglah ke kantor kami. Ini kartu nama saya,” kata si Tambun sembari memberikan kartu nama kepada Kasio. “Kami mohon diri. Semoga kita dapat bekerja sama dalam hal ini Pak Lurah. Selamat siang.”

***

Beberapa saat setelah memandangi rumahnya, Lurah Kasio beranjak ke arah sepeda motor bututnya. Dilajukannya motor itu di jalanan desa yang sudah beraspal meski tidak lebar. Ia sudah membuat keputusan. Dengan ini ia berharap istrinya kembali seperti dulu lagi, dan mengakhiri gencatan senjata yang dirasa sudah cukup lama. Kasio melajukan motor bututnya ke arah kota kabupaten. Ia tahu betul alamat yang tertera di kartu nama Pak Tambun.

Tiga perempat jam kemudian Lurah Kasio telah memarkir motor bututnya di pelataran bangunan yang cukup megah, bercat krem, dan berlantai tiga. Melihat jajaran mobil mewah di pelataran parkir, lelaki berpakaian batik itu mendadak ragu untuk melangkahkan kakinya ke arah pintu.

“Bapak datang saja ke sana, lalu bilang ke petugas bahwa Bapak datang karena rekomendasi saya. Saya jamin, mereka akan melayani Bapak dengan baik.” Kalimat yang dilontarkan Pak Tambun membuat Lurah Kasio memberanikan diri melangkahkan kaki ke pintu gedung itu. Ia disambut pewangi ruangan beraroma jeruk dan sejuknya udara AC ketika pintu dibuka oleh seorang security. Kemudian, ia diarahkan menuju meja resepsionis, di mana tiga wanita muda tersenyum manis kepadanya ketika ia mengikuti arah yang ditunjuk security.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” sapa wanita yang menurut Lurah Kasio paling cantik di antara ketiganya.

“Saya diminta oleh Pak Tambun untuk ke sini, Mba.”

“Oh, Pak Tambun ya. Maaf, saya bicara dengan Bapak siapa?”

“Kasio. Lurah Kasio.”

“Sebentar ya, Pak Lurah.” Sang resepsionis kemudian memanfaatkan mouse di komputernya, entah untuk mencari data atau menuliskan kedatangan Lurah Kasio. Beberapa saat kemudian ia berkata, “Bapak langsung saja masuk ke dalam. Petugas kami sudah menunggu kedatangan, Bapak. Silakan, Pak.”

Lurah Kasio kemudian masuk ke ruangan yang ditunjuk oleh resepsionis tersebut. Di dalam ruangan itu, ia disambut oleh seorang wanita dan seorang lelaki muda yang duduk bersebelahan. Setelah dipersilahkan, ia duduk di hadapan kedua orang muda itu.

“Kalau tidak salah, Bapak direkomendasikan oleh Pak Tambun. Bukankah begitu, Pak Lurah?” tanya si wanita muda beberapa saat setelah basa-basi.

“Benar, Mba. Pak Tambun yang meminta saya datang ke sini.”

“Jadi, Bapak sudah setuju dengan usulan dari Pak Tambun untuk menjadi caleg?” kata Si Pria yang sejak tadi terlihat sibuk di depan komputernya.

“Iya, Mas. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya saya mengabdi dengan menjadi anggota DPRD …,”

“Tapi, apakah Bapak sudah siap dengan biayanya? Jadi caleg biayanya tidak murah, lho,” ujar pemuda itu lagi memotong pembicaraan Lurah Kasio.

“Untuk itulah saya datang kemari, Mas. Kata Pak Tambun, di sini saya bisa mendapatkan solusi untuk pencalonan saya.”

“Iya, benar sekali, Pak. Tapi, kami juga perlu jaminan. Apakah Bapak membawa jaminan, misalnya surat tanah, surat izin usaha, atau mungkin diri Bapak sendiri?”

“Saya akan menjaminkan diri saya sendiri, Mba. Sebab, hanya itu yang saya punya.”

“Baiklah, tunggu sebentar,” ucap Si Wanita yang kemudian sibuk dengan mouse di tangan kanannya, sementara matanya fokus pada layar komputer di depannya. Tidak berapa lama, suara printer terdengar. Lalu, sang wanita mengambil dua lembar kertas yang keluar dari mesin cetak tersebut dan menyodorkannya ke Lurah Kasio, “Silahkan Bapak pelajari syarat-syarat ini sebelum nantinya Bapak menandatangani perjanjian dengan ketua cabang partai kami. Nanti, setelah Bapak benar-benar siap, Bapak bisa menghadap Ketua Partai kami.”

Tanpa berkata, Lurah Kasio mengambil dua lembar kertas di tangan wanita itu. Kemudian, ia beranjak ke sofa yang ada di ruangan itu. Dibacanya tulisan yang ada di tangannya. Pada lembar pertama, isinya berupa syarat-syarat yang harus disediakan jika ingin menjadi caleg dari partai politik dimana ia berada. Di sini, ia tidak menemukan kejanggalan, syarat yang diberikan seperti syarat biasanya. Dibacanya kata demi kata tanpa terlewat. Lurah Kasio mengerutkan dahinya dan menyipitkan matanya saat membaca lembar kedua. Di sana ada beberapa kalimat, yang sepertinya berkaitan dengan kebutuhannya akan dana kampanye. Di sana tertulis:

Peminjam modal kampanye harus menandatangi surat-surat berikut di atas materai.

1.Surat pernyataan bahwa imannya hanya digunakan saat kampanye untuk menarik simpati rakyat.

2.Surat pernyataan bahwa ia akan meninggalkan iman di kantor partai jika terpilih sebagai anggota DPRD dan tidak akan membawa serta iman saat bekerja.

3.Surat pernyataan tidak akan mengambil imannya sebelum masa tugasnya sebagai anggota DPRD berakhir.

4.Surat pernyataan bersedia menjual imannya jika tidak mampu mengembalikan uang yang dipinjamnya saat kampanye.

Membaca syarat seperti itu Lurah Kasio tertegun. Selama ini ia bekerja selalu dengan iman yang melekat di hatinya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika saat bekerja tidak ada iman yang kuat. Lurah Kasio meragu, apakah ia harus meneruskan niatnya, atau harus menahan diri atas kelakuan istrinya beberapa minggu terakhir ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun