Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

BLSM: Ikan atau Kail?

19 Juni 2013   13:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:45 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13716511972078424963

[caption id="attachment_269123" align="aligncenter" width="565" caption="Ilustrasi/Admin (Tribunnews.com)"][/caption] Iseng-iseng saya mencari berita melalui Google dengan kata kunci BLSM menurut rakyat kecil. Hasilnya, hingga 6 halaman Google, tak satu pun berita yang menunjukkan komentar rakyat kecil terkait rencana pemberian BLSM oleh pemerintah. Artinya, belum ada media yang mewawancarai rakyat yang bakal memperoleh BLSM itu, apakah BLSM bermanfaat bagi mereka atau sebaliknya. Yang ada justru pendapat para pakar, politikus, orang-orang berpendidikan, dan kalangan menengah ke atas. Dan, seperti kita ketahui bersama, banyak dari mereka yang menyatakan tidak setuju dengan adanya BLSM ini, dengan berbagai dalih dan alasan. Dan, saya yakin sebagian besar Kompasianer (yang saya yakini bukan penerima BLSM) menolak pemberian BLSM ini kepada rakyat miskin. Tentunya dengan alasan sendiri-sendiri, baik alasan politik maupun alasan pribadi. Salah satu alasan yang banyak saya jumpai adalah lebih baik rakyat "diberi kail daripada ikan" agar rakyat mampu bangkit dan tidak kembali miskin saat BLSM di-stop. Mereka berargumen bahwa lebih baik dana BLSM disalurkan dalam bentuk lain, seperti pemberian insentif pada usaha rakyat, atau pemberian kredit dengan bunga rendah. Atau, dengan alasan BLSM merupakan bentuk suap partai penguasa (partai koalisi) kepada rakyat dan penuh kepentingan politik. Lepas dari alasan-alasan yang disampaikan, sudahkah kita benar-benar bertanya kepada calon penerima BLSM, apakah uang Rp150.000,- /bulan selama 4 bulan itu berguna bagi mereka? Benarkah mereka (rakyat miskin) hanya akan menggunakan dana yang mereka peroleh hanya untuk kepentingan konsumsi, bukan digunakan untuk usaha produktif. Kita ambil contoh sederhana, seorang "tukang gorengan" yang menerima BLSM tentu berpikir panjang jika uang itu hanya digunakan untuk membeli lauk pauk. Mereka tentu lebih memilih untuk menambah modal dagangannya, atau paling tidak menutupi biaya pembelian bahan pokok dagangannya. Kemudian, para petani kecil ketika menerima BLSM, apakah mereka akan langsung menggunakannya untuk membeli sembako? Belum tentu. Mereka tentu akan memilih menggunakan BLSM itu untuk membeli pupuk, misalnya, sehingga hasil panen mereka lebih baik. Sementara untuk orang-orang lanjut usia, dana BLSM yang diberikan tunai jelas sangat bermanfaat guna menyambung hidup. Nah, sekarang, seandainya BLSM disalurkan dalam bentuk lain, misalnya dalam bentuk kredit bunga rendah atau insentif bagi usaha kreatif, apakah semua rakyat miskin dapat mengaksesnya? Apakah ada jaminan para petani, pedagang gorengan, dan sebagainya bisa memperoleh kredit tersebut? Dan, apakah mereka, yang rata-rata berpendidikan rendah, dapat membuka usaha kreatif, meski diberi insentif? Kemudian terkait dengan politik, saya rasa rakyat kita sudah pintar. Tentunya mereka tidak akan mudah "diakali" oleh para politikus yang mengklaim memberi mereka BLSM. Para pakar, mahasiswa, politikus, dan orang-orang yang kontra BLSM sepertinya sudah memahami bahwa pemberian BLSM akan berakibat ini itu. Tapi, cukupkah sampai di sini? Mengapa mereka tidak menindaklanjuti perjuangan dengan menutup "lubang" penyalahgunaan BLSM? Jika pemberian BLSM dianggap pembodohan, mengapa mereka tidak berusaha "memintarkan" rakyat penerimanya? Mengapa mereka tidak mengedukasi penerima BLSM agar mampu memanfaatkan dananya untuk kegiatan yang lebih produktif, sehingga dana itu bukan berfungsi sebagai "ikan", tetapi sebagai "kail" untuk memancing rezeki yang lebih besar. Bukankah ini lebih baik, daripada kita setiap hari disodori pertentangan, perselisihan, kerusuhan, dan berita-berita negatif lainnya, yang hanya menumbuhkan sikap pesimisme?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun