Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Media Membuat Siswa Takut Menghadapi UN

17 April 2012   02:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ujian Nasional (UN), kini menjadi momok bagi siswa dan orangtua, bahkan juga guru. Tidak sedikit siswa yang stress saat menghadapi UN. Mereka takut tidak lulus sekolah. Orangtua takut jika anaknya tidak lulus dan dicap koleganya sebagai anak yang bodoh. Guru takut siswanya tidak lulus, sehingga kompetensinya dipertanyakan. Akibatnya, siswa, orangtua, dan guru berusaha sekuat tenaga agar lulus UN. Siswa dan orangtua rela merogoh koceknya jika ada yang meminta uang untuk bocoran kunci jawaban. Guru rela menggadaikan kejujurannya dalam memberi nilai sekolah kepada anak didiknya (setelah kelulusan ditentukan nilai UN dan nilai sekolah). Tidak bisa dimungkiri, banyak guru yang mengatrol nilai sekolah siswa-siswanya agar nantinya nilai UN "tertolong". Bahkan, pihak Dinas terkait (Kemendiknas) di tingkat kota/kabupaten memberikan lampu hijau untuk mengatrol nilai sekolah siswa. Tujuannya jelas, agar wilayah kerjanya memperoleh predikat "baik".

Berbagai tekanan psikologis (dari orangtua dan guru yang "mengharuskan" siswa lulus) yang datang pada siswa, membuat siswa semakin stress saat hendak UN. Padahal, setiap kegiatan, setiap pembelajaran, memerlukan evaluasi (dalam hal ini pemerintah memilih evaluasi dalam bentuk UN). Diakui atau tidak, media, baik media elektronik atau media cetak, berperan dalam membuat siswa semakin stress. Bagaimana tidak, sebelum UN dilaksanakan, media begitu gencar memberitakan anak-anak yang stress saat UN di tahun lalu. Ditambah lagi dengan liputan penuh air mata pada siswa-siswa yang tidak lulus pada tahun sebelumnya.Liputan-liputan media elektronik (televisi) yang memberitakan kecurangan-kecurangan saat UN secara "live" pada saat UN masih berlangsung, dapat membuat siswa-siswa yang jujur menjadi bimbang. Dalam hatinya akan muncul pertentangan, "Buat apa aku mengerjakan soal dengan jujur, jika banyak siswa yang mengerjakannya dengan tidak jujur." Diakui atau tidak, lebih banyak media yang menyorot siswa yang tidak lulus, dibandingkan siswa yang lulus, padahal siswa yang lulus lebih banyak daripada siswa yang tidak lulus, sebelum dan selama UN berlangsung.

Para" pakar" juga berperan dalam membuat siswa semakin takut. Komentar-komentarnya yang "bombastis" tentang tidak perlunya UN dapat membentuk pola pikir negatif pada diri siswa. Siswa merasa bahwa UN tidak perlu (berdasarkan pendapat para pakar), namun mereka harus tetap menjalankannya. Pertentangan di dalam diri siswa ini tentu memberikan pengaruh terhadap diri siswa.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Tanpa bermaksud menentang kebebasan pers, menurut saya, sebaiknya media TIDAK mengulas kegagalan UN di tahun yang lalu, sebelum atau selama UN berlangsung. Tidak perlu memberitakan ritual-ritual yang dilakukan siswa di beberapa sekolah, karena membuat siswa di sekolah lainnya semakin gelisah. Biarlah siswa mempersiapkan dirinya dengan baik, tanpa gangguan berita-berita yang berkaitan dengan UN. Biarlah guru dan orangtua memberikan bekal mental kepada siswa dan anaknya dalam menghadapi UN, tanpa perlu pendapat para "pakar". Biarlah siswa mengerjakan Ujian dengan tenang tanpa berita tentang kecurangan-kecurangan yang terjadi. SILAHKAN MEMBERITAKAN APAPUN YANG TERKAIT UN SETELAH UN SELESAI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun