Mohon tunggu...
Risvania Andaresta
Risvania Andaresta Mohon Tunggu... Lainnya - Selamat datang

Aku mau ngga bosen menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sesak

22 Februari 2021   12:26 Diperbarui: 22 Februari 2021   18:24 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : weheartit.com

Jika ditanya di mana tempat yang paling menyesakkan di muka bumi ini? Maka jawabanku adalah, Rumah Sakit. Rumah bagi manusia yang merasa jiwa maupun raganya sedang tidak baik-baik saja untuk terus dipaksa menjalani realita. Siapa sangka tempat yang bangunannya tumbuh subur di seluruh penjuru dunia itu bisa menjadi sebuah trauma bagi sebagian orang.

Masih terekam jelas diingatan bagaimana wujud melati yang aku temui Desember, tahun 2019 lalu. Melati itu berbeda, ia tidak harum seperti wangi-wangian parfum. Untungnya ia tak sampai kehilangan jati diri sebagai sebuah melati yang khas dengan warna putih, meski dibeberapa sudutnya terlihat ada debu tipis melapisi. 

Kamar inap kelas II yang disewa menggunakan uang hasil iuran bulanan BPJS Kesehatan tersebut diberi nama "Ruang Melati" Aku tak pernah membayangkan kalau salah satu Rumah Sakit rujukan di sebelah Timur Jakarta itu akan menjadi pelabuhan terakhir bagi Ayah setelah 6 tahun belakangan melanglangbuana ke beberapa Rumah Sakit demi menjalani pengobatan kanker usus yang dideritanya.

Di dalam bangsal, ada tiga buah ranjang yang semuanya terisi penuh oleh pasien-pasien dengan penyakit cukup berat, termasuk Ayah yang harus melakukan transfusi darah sebelum akhirnya bisa menjalani operasi untuk yang kesekian kali.  Aku bisa melihat bahwa yang merasa sakit bukan hanya mereka yang terbaring di sana, tetapi juga para anggota keluarga yang silih berganti menemani. Dari balik tirai tempat Ayah berbaring, seorang Ibu tiba-tiba mengalami epilepsi sesaat setelah mendengar kondisi suaminya yang menurut pemiriksaan dokter semakin menurun. Suasana semakin terasa dingin. Bukan karena latar waktu yang tengah menunjukan malam hari, tetapi karena lantunan ayat suci Al-Quran berkumandang dengan diiringi isak tangis yang datang dari ranjang pasien lain. Aku ingat banyak-banyak kalimat Syahadat yang dibisikan anggota keluarga pasien tersebut dalam upaya mengantarkan kepergian orang terkasihnya dengan berharap kemudahan dan ketenangan.

Pada hari-hari depan yang aku jumpai, aku diberi kabar bahwa Ayah terjebak di dalam ruang ICU akibat pendarahan setelah 2 hari berturut-turut perut dan ususnya dibedah. Tubuhku hanya mendadak lemas, aku merasa ada sesak yang sulit untuk dijelaskan, dadaku terasa berat ketika membaca pesan singkat yang sungguh isinya pun benar-benar singkat, padat, dan menakutkan. Tanganku selalu membeku ketika jam besuk di Ruang ICU sudah tiba, bunyi-bunyian yang keluar dari bedside monitor seolah menjadi suara yang paling tidak ingin aku dengar di muka bumi. 

Aku juga melihat tubuh Ayah dihinggapi banyak sekali selang dan kabel. Dari ventilator yang merogoh tenggorokannya, sampai selang yang tertancap menembus dinding tipis milik perutnya. Dingin dan sepi. Hanya ramai dengan suara doa-doa yang dirapal dalam hati. Sesekali aku menengok ke arah selimut yang menutupi perut Ayah, melihat apakah selimut itu masih bergerak naik turun mengikuti tiap hembusan napasnya. Dengan metode pengecekan khas masa kecilku itu, aku menjadi lebih yakin bahwa kedua orang tuaku ternyata masih hidup, dan mereka hanya sedang tidur siang.

Biasanya, aku, adik, dan Mama akan menunggu di luar ruang ICU bersama para keluarga pasien lainnya. Setiap malam, di luar ruang ICU terlihat seperti sebuah kamp pengungsian korban bencana, hamparan tikar tergelar dari ujung koridor hingga ke pelataran Mushola. Perumpamaan itu memang ada benarnya juga, karena kami yang tengah menunggu orang tersayang kami kembali sadarkan diri, sebenarnya juga tengah dilanda musibah.

Pada Sabtu malam setelah panggilan darurat dari perawat terdengar menggema melalui speaker di ruang tunggu ruangan ICU, aku, adik, dan Mama bergegas masuk menemui Ayah yang napasnya sudah terputus-putus. Malam itu salah seorang perawat yang memang sudah terbiasa melihat manusia silih berganti pergi menemui Sang Ilahi, memintaku untuk membisikan kalimat pengantar keikhlasan agar ruh ditubuh Ayah bisa melepaskan diri dengan mudah. Aku ragu untuk membuka suara, aku hanya ingin Ayah pulang ke rumah kami yang ada di pinggiran Kota Bekasi. Bukan pulang ke tempat lain yang sangat tinggi dan sulit untuk dikunjungi. Tapi semuanya memang harus berjalan sesuai dengan skenario yang sudah ditulis oleh Tuhan.

Aku membisikan rahasia yang selama ini tak pernah kuungkapkan langsung kepadanya, bahwa aku sungguh menyayangi Ayah. Terima kasih karena Ayah sudah hadir di dunia ini dan menjadi Ayahku. Ayah sungguh manusia terhebat dan kuat. Yah, kalau reinkararnasi benar ada, aku harap ayah terlahir kembali di dalam jiwa dan raga yang berbahagia, dan semoga kita bisa dengan kebetulan berpapasan di manapun Ayah berada. Kalau reinkarnasi tidak nyata, aku ingin Ayah tinggal selamanya di surga dan menunggu orang-orang tersayang Ayah tiba di sana. Aku ingin kita semua bertemu lagi. Ayah, maaf atas setiap salahku yang tidak sengaja terpatri di ingatan dan hati Ayah.

Setelah malam-malam penuh biru itu, aku terus berjalan mengekor di belakang tempat tidur Ayah yang sudah disulap menjadi sebuah kereta keranda. Aku melihat Ayah dimandikan dengan banyak luka jahitan di tubuhnya. Pilu seketika menyayat hatiku. Jarum jam terlihat cepat sekali mengelilingi angka-angka yang tak pernah berubah jumlahnya sejak dahulu kala. Menjelang Subuh, akhirnya aku, adik kecilku, Mama, dan Ayah, kami sekeluarga akhirnya pulang bersama ke rumah sekaligus tempat favorit kami. Tempat yang telah lama Ayah rindu, dan tunggu-tunggu untuk bisa memulai kembali lembaran baru setelah sembuh pasca operasi kankernya. 

Namun, waktu sudah lebih dulu diperintahkan untuk memukul mundur tubuhnya dari dunia, bahkan sebelum ia menyatakan menyerah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun