Jika pada akhirnya takdir manusia adalah meninggalkan bumi, dan tertidur di dalam kubur sampai alarm kebangkitan dari Tuhan dibunyikan tanda bahwa kehidupan nyata di alam baka telah berjalan, maka aku menganggap apa yang terjadi di dunia ini hanyalah sekumpulan bunga tidur yang sulit sekali untuk diatur.Â
Hanya ada dua macam mimpi yang sering digunakan sebagai latar kisah pada tiap-tiap kehidupan manusia bernyawa di bumi, yaitu mimpi buruk, dan mimpi indah.Â
Namun mimpi buruk dan mimpi indah tidak muncul hanya dengan satu wajah saja, mereka selalu datang dengan menjelma banyak sekali rupa. "Kehilangan" adalah salah satu wujud dari mimpi buruk yang enggan, tapi pasti akan siapa saja temukan.
Langit masih mendung. Malam terus berkabung. Rintik hujan mengetuk-mengetuk genting dengan sopan, seolah-olah mencari perhatian dari seorang gadis yang sedari tadi tersungkur di atas kasur sendirian.Â
Dengan luluh hati, aku akhirnya bangkit dari tempat tidur dan membiarkan sepasang jendela menganga agar bulir-bulir air hujan bisa meninggalkan jejak kasar di atas permukaan lantai kamar.
Sudah beberapa malam aku bermain petak umpet bersama realita. Sementara si realita berjaga, aku memutuskan bersembunyi di dalam kamar yang berada di lantai dua rumah orang tuaku.Â
Biasanya aku menolak untuk menginjakan kaki di sini pada malam hari, apalagi jika harus merebahkan tubuh selama tujuh jam lamanya. Terlalu kecil nyaliku jika harus melawan monster-monster kelaparan atau para hantu gentayangan yang bersarang di kolong tempat tidur pada jam-jam rawan.Â
Belum lagi, pasukan sekutu yang menamai diri mereka sebagai "Overthinking" sudah bersiap-siap untuk melahap bagian otakku secara brutal, sesaat setelah aku menempelkan kepala pada bantal.
Di atas sini seperti tidak ada kehidupan lain, hanya ada aku, sekawanan boneka panda, dan suara helaan napas yang penuh asa. Aku mulai akrab dengan permainan petak umpet yang ditawarkan oleh kenyataan. Pelan-pelan aku pun menjadikan kamar di lantai dua sebagai tempat persembunyian andalan.Â
Tidak hanya malam kuhabiskan untuk berlabuh di sini, tetapi juga pagi, bahkan siang hari ketika matahari sedang semangat-semangatnya memanaskan bumi. Menjelang sore, sesekali ada burung pingai datang bertamu, ada juga yang hanya sekedar berlalu-lalang tak karuan sembari berkicau tersedu-sedu.Â
Aku tidak begitu paham beban sepeti apa yang sedang burung kecil itu keluhkan, yang kutahu hanya ia tidak betah berlama-lama singgah di kamarku, barang dua menit saja sayapnya sudah kembali mengepak dengan terburu-terburu dan terbang keluar melalui celah kecil di antara daun pintu.