Mohon tunggu...
Risvania Andaresta
Risvania Andaresta Mohon Tunggu... Lainnya - Selamat datang

Aku mau ngga bosen menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengukir Jejak di Pesisir Utara Pulau Jawa

23 Mei 2018   21:15 Diperbarui: 11 Februari 2021   12:38 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejenak menepi dari hingar bingarnya berbagai macam hal yang sulit untuk dipahami, seperti menepi dari masalah anak muda masa kini perihal sakitnya patah hati. Tidak ingin terus-terusan tenggelam dalam jurang kegaluan tentang pasangan yang keberadaannya masih jauh di awang-awang hingga lupa menunaikan kewajiban sebagai mahasiswa perguruan tinggi untuk merajut masa depan. Tidak ingin juga membuka potensi diri sebagai mahasiswa abadi, maka dari itu jalan satu-satunya adalah dengan cara tetap memfokuskan diri. Fokus pada tugas-tugas dan ujian di akhir semester genap ini.

"Hanya sekitar empat hari." menurut surat edaran yang sudah resmi dibagi, tertera juga di sana biaya administrasi yang cukup tinggi. Berat rasanya meminta persetujuan orang tua untuk menandatangani, tapi mau bagaimana lagi, demi sebuah ujian fotografi, mau tidak mau harus di lunasi. Di dalam kepala ini mulailah tumbuh cabang-cabang yang memecah pikiran tentang "Bagaimana cara untuk menyelesaikan tugas sebanyak ini?" Sejak dahulu, meski sering mendengar nasehat dari orang-orang yang gemar menyemangati diri bahwasannya "Tugas itu dikerjakan, bukan dipikiran." Tetapi tetap saja beban tugas itu mampu membuat mata sulit untuk tidur, dan tubuh enggan menikmati hari libur.

Sepekan menjelang keberangkatan menuju kota yang letaknya masih di sekitaran Jawa Barat namun biaya perjalanannya sangat menyedot rupiah dengan begitu kuat. Saat jadwal kuliah sedang padat-padatnya dan juga tugas-tugas  lain yang sudah menanti karena tidak sabar untuk segera dijamah oleh tangan-tangan nan lelah, tiba-tiba teringat kembali raut masam para mahasiswa dan dengus kecewa ketika mendengar kata "Cirebon" yang akhirnya menjadi destinasi untuk menuntaskan ujian. Lantas, apa yang bisa diambil dan didalami dari kota yang dikenal dengan jalur panturanya itu?

Yogyakarta, Bali, Solo, dan Semarang memang tidak asing lagi bagi para pelancong baik dari dalam maupun luar negeri. Kota-kota itu memiliki karakter tersendiri dibandingkan dengan wajah ibu kota saat ini, di mana jati dirinya sebagai 'Daerah Khusus' hanya diartikan sebagai sebuah tempat impian bagi para kaum urban untuk mengais penghasilan. 

Berbicara soal karakter, mari segera bergeser menuju daerah di bumi pertiwi yang sudah ditetapkan sebagai destinasi untuk Hunting Fotografi Kampus Akademi Televisi Indonesia (ATVI). Tidak perlu terlalu jauh dan lelah memikirkan waktu tempuh.  Tepat pada hari Rabu, 3 Mei 2018, pukul 7:00 Waktu Indonesia Barat, ujian yang berbalut wisata itu pun tiba. Perjalanan dari Jakarta menggunakan kereta api hanya menghabiskan waktu sekitar 4 jam, demi mengulik sembari membidik berbagai macam hal-hal unik dan menarik pada kekhasan sebuah wilayah yang identik dengan jalur mudik. Alih-alih ingin menuntaskan tugas yang tertera pada lembar buku panduan, ternyata,  tidur adalah cara yang  paling bijaksana dan nikmat untuk menyimpan tenaga sambil menikmati perjalanan. 

Sementara kelopak mata masih terasa berat untuk dibuka, kepala para mahasiswa lain justru otamatis berpaling ke arah jendela saat titik terang akan keberadaan lokasi  yang dituju ternyata sudah hampir terlihat, masih penasaran dengan karekter dan jati diri apa yang dapat ditemui dari kota yang memiliki kawasan Desa pembuat Batik Trusmi, belum terasa pula kekentalan rasa akan suatu budaya di tanah persinggahan yang letaknya berdampingan dengan provinsi Jawa Tengah. 

Stasiun Cirebon akhirnya menyambut kedatangan wajah 200 orang mahasiswa yang memakai dress code serupa, yaitu kaos berwarna biru tua. Disiapkan oleh kota udang itu sebuah lampu alam yang berpijar begitu terik, dan cahayanya jatuh tepat di atas kepala para muda-mudi. Memutuskan untuk keluar dari gerbong kereta eksekutif seakan-akan menjadi pilihan yang salah. Semuanya mengeluh kepanasan. Padahal, jika di Bekasi sekali pun, rasa mataharinya tetap saja sama seperti di Cirebon ini.

Bus yang sedari tadi sudah siap untuk menemai perjalanan, saling berjejer menunggu penumpangnya yang kepanasan untuk masuk. Dibawalah tubuh semangat para mahasiswa oleh mobil besar itu berkeliling menuju pusat kota. Tidak jauh berbeda dengan pusat kota di daerah lainnya, di Cirebon pun sudah berjamur gedung-gedung tinggi meski tidak semenjulang di ibu kota. 

Pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, kolam renang, tempat bimbingan belajar, restoran, tempat ibadah, dan hotel maupun penginapan semuanya lengkap tersedia dan dijajakan. Rasanya terlalu cepat jika ingin menyimpulkan kesan pertama dari kota ini. Tak terasa, singgah sudah bus ini pada destinasi pertama. Sejak hari pertama kedatangan itu, Cirebon sepertinya sudah tidak sabar lagi untuk segera digeluti oleh para mahasiswa dan mahasiswi dari fajar ke senja, hingga ke pagi lagi.

Bersamaan dengan suara kumandang adzan diantara tengah hari yang teduh di pelataran Taman Budaya Hati Tersuci. Tenang sepanjang mata memandang, terlihat para pengurus taman tersebut sedang menyirami rerumputan agar tetap segar meski kepanasan. Tidak ramai pula pengunjung datang, tapi sesekali ada wisatawan yang mengambil kesempatan untuk beribadah dan bertegur sapa dengan Sang Tuhan. Terasa khusyuk dan mesra. Menelusuri setiap sudut taman ini, semuanya terawat begitu hebat, ada pendopo-pendopo yang disesuaikan dengan khas keraton Cirebon, ada relief-relief, dan ada juga patung-patung berdiri begitu tegap. Hingga rasa penasaran ini pun berhasil mengantarkan pada sebuah bangunan gereja besar, megah melihat hamparan kursi berjejer dari depan sampai belakang, langitnya tinggi jauh dari jangkauan, dan tidak luput pula dari pandang sebuah patung Tuhan Yesus yang membentang di atas salib dengan dikelilingi ornamen-ornamen kaca seperti memancarkan cahaya. Indah memang. Sayang, pihak travel sudah mengharuskan untuk segera pulang. Tak apa, mengingat bahwa waktu dzuhur telah lewat, dan kewajiban sebagai muslim pun belum sempat ditunaikan. Beruntung, persinggahan selanjutnya adalah Keraton Kasepuhan yang di dalam kompleksnya terdapat sebuah masjid bersejarah yaitu, Masjid Sang Cipta Rasa.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Ada kesan pertama yang sedikit berbeda dari tempat ibadah bagi umat muslim ini, pelataran masjidnya dipenuhi olah para pencari rezeki yang mengadah kasihan, ada pula yang menyediakan kotak bertuliskan "seikhlasnya", ada yang sedikit marah ketika salah satu pengunjung menolak untuk membayar. Begitu masuk ke dalam masjid,  di suguhkan lah sebuah arsitektur dimana pilar-pilar penyangga berdiri tegap menahan atap utama berbentuk limasan di masjid itu. Di dekat tempat wanita menunaikan ibadah sholat, ada sebuah tiang yang terukir disana tulisan-tulisan arab. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun