Mohon tunggu...
Aris Tok
Aris Tok Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Resepsi dan Teori Air Es

9 Februari 2017   16:36 Diperbarui: 9 Februari 2017   21:29 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Mendatangi pesta perkawinan atau undangan khitanan sebenarnya hal yang umum dan biasa. Undangan perkawinan dan khitanan dari tetangga atau teman-teman kerja sudah sering saya dapatkan. Perayaan pernikahan yang acaranya dilaksanakan di gedung atau di rumah mempelai juga sudah biasa saya hadiri. Jadi ya biasa saja. Sebiasa tali kasih sayang saya yang putus-nyambung putus-nyambung dengan mantan saya dulu.

Dari bermacam undangan resepsi pernikahan yang pernah saya hadiri, resepsi yang dihelat di gedung pertemuan biasanya lebih punya kesan ketimbang yang diselenggarakan di rumah mempelai. Bisa jadi dengan menyewa gedung resepsi, si empunya hajat menginginkan acara resepsi yang diadakan menjadi buah perbincangan yang menyenangkan. Tak terlupakan dan berkesan bagi tamunya. Dan sudah pasti pernik-pernik pendukung kemeriahan hajatan juga dipikirkan matang-matang sebagai penyeimbang megahnya gedung pertemuan.

Pernah dalam satu resepsi pernikahan, saya mencoba teori teman, yang katanya kalau pingin leluasa ici-icip tanpa over dosis perut kekenyangan, dimulai dengan minum air putih dingin dan mengulum es batu sebelum mencicipi hidangan yang tersedia. Sebenarnya saya belum pernah mendengar testimoni dari pemakai teori ini, tetapi kok ya resepsi yang saya datangi memang cocok untuk mencoba teori ini.

Begitu masuk ke ruangan resepsi, weeehh... lha kok seperti festival kuliner. Berbaris stand makanan berbendera nama makanannya, melambai-lambai di kiri dan kanan area pintu masuk. Seperti lambaian bendera murid-murid SD di pinggir jalan sewaktu menyambut pejabat jaman Orba lewat, meriah dan tertata rapi. Terhitung ada 13 stand makanan, belum termasuk menu nasi, snack dan minuman/es krim.

Karena terbayang resepsi semacam ini belum tentu saya jumpai lagi, dan didukung penerawangan batin akan rasa ici-icip yang menggelora, akhirnya saya meyakinkan diri untuk memakai teori “air es” ini. Sebenarnya ini keputusan yang gak mudah, saya harus meng-adjust 3 strip kepedean saya lebih tinggi, dan mengendurkan mur rasa malu saya sedikit longgar. Tetapi tak ada alasan lagi, inilah waktu yang tepat. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Kalau tidak yang ini, di mana lagi?

Akhirnya, satu demi satu menu yang ada saya cicipi dan berharap tidak ada yang terlewat karena kehabisan. Zig-zag ke sana kemari seperti Metro Mini mengejar setoran, saya mencari sajian yang ajib yang kira-kira belum pernah saya makan.

Tanpa pernah menyantap nasi, piring demi piring tandas setiap mencoba menu seperti bebek peking, kambing guling, empal gentong, tengkleng, martabak mesir, sate lontong dan semacamnya. Menu yang jarang-jarang saya temukan di acara resepsi lain adalah menu yang terus saya buru.

Tetapi tak ada pertemuan tanpa perpisahan, sampai pada waktunya saya harus pamit dengan pengantin yang berbahagia. Namun perut ini kok masih bergetar terasa belum makan. Apakah pertanda teori air es ini benar? Entahlah! Karena sebagai pribumi tulen, seperti lazimnya, saya akan merasa kenyang kalau sudah menyantap nasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun