Seperti biasa aku pulang larut malam lagi, pekerjaan yang menumpuk di awal bulan membuatku geram. Di tambah gaji yang masih lama cair tapi keuangan ku sudah mulai menipis. Salah ku terlalu banyak cicilan demi sebuah validasi. Cicilan mobil, apartemen serta gaya hidup selangit yang aku ikuti.
Aku keluar dari ruang kerjaku menuju lift, aku kerja di sebuah perusahaan properti di lantai enambelas. Aku setiap harinya bertemu klien yang beraneka ragam yang kadang membuatku muak.
Setelah sampai di lift aku menuju basement, di dalam lift aku bisa melihat keluar gedung. Karena lift yang terbuat dari kaca dan persis berada di sisi luar gedung. Kadang aku berpikir lebih baik aku keluar dari tempat kerjaku lalu kembali ke kampung halamanku, kembali jadi petani rasanya menyenangkan.
Beberapa tahun lalu sebelum aku berada di ibu kota, aku tinggal di kampung ku menjadi seorang petani sayuran. Jujur saya ada rasa malu yang menyelimutiku kala itu, aku yang lulusan S1 hanya jadi petani yang kerjaannya nyangkul, menanam benih, menyiram, memberi pupuk lalu menunggu sampai tanaman siap untuk di panen. Belum lagi risikonya jadi petani ketika gagal panen atau tanaman di makan hama. Sudahlah tak ada penghasilan tetap bagiku.
Suatu pagi ketika aku sedang panen cabe, aku bertemu dengan sahabat SMAku, Jaka. Ia saat ini bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta.
" Fadil, gimana kabar lu?". Teriak Jaka yang baru keluar dari mobilnya.
" Jaka, tong lu gw an lah pake bahasa urang we (Jaka, jangan pake lu gw, pake aja bahasa kita )". Jawabku dengan aksen sunda yang kental.
"Heg ath, cager di dinya? Beughar euy batur boga kebon lega ( baiklah, gimana kabar kamu? Jadi kaya nih punya kebun yang luas)".
"Beunghar timana. Urang teu boga mobil jiga maneh ( Kaya darimana. Aku gak punya mobil kaya kamu)". Tiba-tiba Jaka tertawa dan aku pikir dia menghinaku.
Selepas pertemuan itu aku sering menemui Jaka hanya sekedar nanya ini itu tentang kehidupan di Jakarta. Aku yang melihat Jaka yang berbeda sekarang, mulai menanyakan ada lowongan tidak di Jakarta.
Jaka langsung marah ketika aku ingin ikut kerja bersamanya, dia memintaku untuk tetap saja jadi petani. Dari situ aku marah padanya, mungkin benar dia tidak mau aku jadi sepertinyaa. Punya mobil, bajunya bersih dan wangi tak seperti aku yang lusuh dan bau keringat.