Pengimplentasian Ajaran Tri Hita Karana Dalam Berkehidupan
Tri Hita Karana adalah prinsip atau ajaran penting dalam agama Hindu yang menekankan pentingnya hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan, serta betapa pentingnya hidup berdampingan dengan saling menghargai, toleransi, dan kedamaian. Konsep ini dapat diartikan secara harfiah sebagai "tiga penyebab kesejahteraan", yang terdiri dari tiga elemen utama: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Parahyangan merujuk pada hubungan manusia dengan Tuhan, Pawongan menggambarkan hubungan antara manusia dengan sesama makhluk hidup, dan Palemahan menekankan pentingnya hubungan manusia dengan alam.
Dalam Bhagavad Gita (III.10), unsur-unsur Tri Hita Karana juga disebutkan, yang mencakup Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Yang Maha Esa), bhuana (alam), dan manusia. Ini menggarisbawahi bahwa harmoni dan kesejahteraan hanya dapat tercapai jika hubungan antara ketiga elemen ini seimbang dan dijaga dengan baik. Dengan demikian, Tri Hita Karana mengajarkan nilai-nilai penting seperti rasa saling menghormati, perdamaian, dan keselarasan dalam kehidupan sehari-hari serta bagaimana menjalani kehidupan dengan cara yang menciptakan harmoni di antara manusia, lingkungan, dan keberadaan spiritual.
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu selama ini adalah sebagai berikut: hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya, hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya, sedangkan hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya. Padahal, hubungan ini jauh daripada itu. Misal Parahyangan bisa saja diwujudkan dengan PHBS di Pura, yaitu menjaga kebersihan, keindahan dan kesuucian di Pura juga merupakan wujud hubungan bhakti kita kepada Hyang Widhi.
Pada awalnya, konsep Tri Hita Karana muncul terkait dengan keberadaan desa adat di Bali. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa desa adat di Bali bukan hanya merupakan tempat tinggal bagi masyarakat, tetapi juga berperan penting dalam konteks kehidupan keagamaan dan penghormatan terhadap Tuhan. Dengan kata lain, ciri khas dari desa adat di Bali adalah keberadaan unsur wilayah, populasi manusia yang menghuni wilayah tersebut, dan keberadaan tempat suci untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan. Salah satu unsur utama dalam konsep Tri Hita Karana adalah Parahyangan. Parahyangan berasal dari gabungan kata "para" (tinggi) dan "hyang" (Tuhan), yang secara harfiah berarti Tuhan.
Parahyangan mencakup segala hal yang terkait dengan aspek spiritual dan keagamaan dalam rangka memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa. Banyak di antara kita mengartikan bahwa Parahyangan merujuk kepada tempat suci (Pura) sebagai tempat untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan. Manusia menghormati dan memuja Tuhan karena sifat-sifat satwika (kebajikan) yang dimilikinya. Rasa bhakti dan pengabdian kepada Tuhan muncul dalam hati manusia karena kehadiran Sanghyang Widhi yang maha kuasa, maha pengasih, penuh belas kasihan, dan memberikan kebijaksanaan kepada ciptaan-Nya. Sebagai umat beragama yang selalu memohon perlindungan-Nya, kita merasa teramat berhutang budi, baik secara fisik maupun secara spiritual. Hutang budi tersebut tidak akan pernah bisa terbayar dengan apapun. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang dapat kita lakukan sebagai ungkapan penghargaan kepada-Nya adalah dengan memberikan penghormatan dan pengabdian yang tulus serta sungguh-sungguh. Adapun contoh implementasi rasa syukur kita kepada Tuhan adalah dengan jalan :
Dengan sradha dan bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melakukan Punia (persembahan) tanpa ada rasa pamrih, melakukan tirtta yatra (perjalanan suci) ke tempat-tempat yang bisa mengantarkan pada nilai-nilai kesuciannya.
Peduli dengan sesama terutama di saat mendenganr ada saudara (sesama) tertimpa musibah. Sebagai orang yang yang senantiasa bisa menjadi suri tauladan, menjadi suluh bagi orang lain maka setidaknya harus bisa menjadi suluh bagi diri kita terlebih dahulu. Rajin bicara kebajikan dengan disertai tindakan yang nyata.
 Alam sekitar atau lingkungan kita merupakan cermin kita yang paling dekat wujud peduli terhadap alam. Lingkungan tampak asri, bersih, tertata rapi artinya kita sudah bisa mewujudkan salah tri hita karana ini. Dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa "Satatam kirtayatom mam. Yatantas ca drsha vrtatah. Namasyantas ca mam bhatya. Ni tyayuktah upsate"(IX.14) (Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu dengan tiada putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta dengan kebaktian yanbg kekal adalah dekat dengan-Ku)
Selain itu, rasa pengabdian kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dapat muncul dalam bentuk sembah, pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati, dan kesiapan untuk berkorban demi kebajikan. Sebagai umat manusia yang beragama dan bermoral, kita harus menghormati dan menjalankan kewajiban-kewajiban seperti cinta kepada kebenaran, kejujuran, ketulusan, dan keadilan. Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widi menjadi jelas; hubungan ini perlu dikembangkan dan ditingkatkan menuju dimensi yang lebih tinggi dan suci baik secara lahir maupun batin. Sesuai dengan panggilan jiwa umat yang religius, yakni mencapai kebahagiaan hidup dunia (sekala niskala) yang didasari oleh prinsip kebenaran.
Di sisi lain, Pawongan adalah tentang hubungan antar manusia dalam kehidupan masyarakat. Secara sempit, pawongan merujuk pada kelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu wilayah. Karena manusia adalah makhluk sosial, mereka membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan sesama. Oleh karena itu, hubungan antar sesamanya harus selalu baik dan harmonis. Hubungan antar manusia harus didasarkan pada asas saling menghormati, saling mengasihi, dan saling membimbing. Keharmonisan dalam hubungan keluarga di rumah maupun dengan masyarakat lain akan menciptakan kedamaian dan keamanan lahir batin dalam masyarakat. Masyarakat yang aman dan damai akan membawa pada terciptanya negara yang tenteram dan sejahtera.Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah palemahan, setelah itu barulah Beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan.