Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Swastanisasi” Air Minum, Perlukah? – Kisah Berliku dari Jakarta (3)

24 Desember 2009   08:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:47 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_42875" align="alignleft" width="300" caption="Instalasi Pengolahan Air Minum Karang Pilang, Surabaya (Foto oleh Penulis)"][/caption]

I

Menjelang akhir tahun 2009, tidak terasa kerjasama dengan swasta di Jakarta sudah akan menginjak tahun ke tigabelas. Kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS) untuk pelayanan air minum di Jakarta secara resmi berlaku efektif per tanggal 1 Februari 1998, meskipun prosesnya sudah dimulai bahkan sejak lima tahun sebelumnya. Suatu proses yang bukan saja panjang dan berliku, tapi juga penuh dengan gejolak, bahkan sampai hari ini! Pengalaman KPS air minum di Jakarta mungkin bisa dijadikan pelajaran yang berharga meskipun teramat pahit dan mahal. Seperti judul sebuah lagu (long and winding road), jalan panjang dan berliku KPS di Jakarta dimulai pada tahun 1995 dimana pemerintah Orde Baru yang otoriter menetapkan segalanya, termasuk menetapkan untuk membagi Jakarta menjadi dua wilayah konsesi KPS, dengan sungai Ciliwung sebagai batasnya. Sebelumnya, Thames dari Inggeris pada waktu itu sudah mengantongi ijin konsesi di sebagian wilayah Jakarta, dengan menggandeng perusahaan milik Sigit Harjojudanto, yang notabene tidak mengalami pengalaman dalam pengelolaan air minum, dengan porsi saham sebesar 20%. Sementara itu, Suez dari Perancis yang mengandeng Grup Salim, salah satu kroni Soeharto, juga berniat untuk ikut meramaikan kontrak konsesi di Jakarta. Agar tidak terjadi kekisruhan dalam pembagian wilayah kerja, dibagilah Jakarta menjadi dua wilayah konsesi dengan Thames memiliki konsesi di bagian timur dan Suez di sebelah barat Sungai Ciliwung. Keduanya ditunjuk langsung tanpa melalui proses pemilihan secara kompetitif. Sebelum swasta masuk, PAM Jaya adalah perusahaan milik pemerintah daerah DKI Jakarta yang mengelola pelayanan air minum di Jakarta sejak tahun 1922. Tahun 1993, Thames Water Overseas LTD, yang mulai menjajagi kerjasama dengan PAM Jaya, mengundang kritik banyak fihak karena dianggap memanfaatkan kedekatannya dengan anak Soeharto untuk mendapatkan konsesi tanpa melalui proses tender. Hal ini dibantah oleh Peter Spillet dari Thames yang mengatakan bahwa sudah menjadi persepsi umum kala itu bahwa semua perusahaan asing yang berurusan dengan pemerintah Indonesia mau tidak mu mesti berurusan dengan salah satu elemen keluarga Soeharto. Demikian pula Suez, yang juga tertarik untuk menanamkan modalnya, membawa Grup Salim untuk bernegosiasi dengan Konsorsium Thames, dan akhirnya menyepakati pembagian wilayah konsesi dengan Sungai Ciliwung sebagai batasnya. Proses ini cukup alot dan memakan waktu dua tahun untuk menyiapkan studi kelayakan, dan utamanya menyesuaikan peraturan yang ada tentang investasi asing di Indonesia. Regulasi yang berlaku di Indonesia pada waktu itu menutup investasi asing (negative list) untuk beberapa prasarana publik, termasuk air minum. Karena niatnya memang mau memuluskan masuknya kedua swasta asing tersebut, Menteri Dalam Negeri, yang pada waktu itu dijabat oleh Yogie S. Memet, merevisi peraturan tersebut sehingga investasi asing di bidang air minum tidak lagi masuk dalam negative list. Meskipun studi kelayakan sudah berhasil diselesaikan pada tahun 1996, terlambat enam bulan dari jadual semula, tidak serta merta proses penandatanganan kesepakatan bersama (memorándum of understanding - MoU) berjalan mulus. Hal ini terjadi karena alotnya negosiasi antara fihak operator dengan tim negosiasi dari fihak pemerintah yang melibatkan tiga menteri ditambah Gubernur DKI Jakarta. Lamanya proses negosiasi, yang berlangsung lebih dari setahun (sampai Juni 1997), antara lain karena banyaknya kalangan birokrat dan elemen masyarakat yang pada dasarnya mementang adanya pengalihan hak penyediaan air minum kepada fihak asing. Akhirnya KPS dengan kedua konsorsium tersebut ditandatangani pada tanggal 25 Agustus 1997, dan baru efektif tanggal 1 Februari 1998, setelah beberapa persyaratan pendahuluan (condition precedent) terpenuhi. Meskipun secara legal kedua operator tersebut sudah bisa bekerja, tapi dua skema PKS ini tidak lepas dari goncangan dan hambatan, yang berpuncak pada jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, pada saat KPS ini baru beroperasi tiga bulan. Pada waktu itu ada eksodus besar-besaran para ekspatriat yang ada di Indonesia, tidak terkecuali 30 eksekutif Palyja dan TPJ, dua perusahaan patungan mitra kerja PAM Jaya, yang terbang ke Singapura selama terjadinya kerusuhan. Pasca kerusuhan Mei 1998 dan lengsernya Soeharto, kedua mitra swasta tersebut tidak bisa lagi mengandalkan dukungan politis yang selama ini mereka nikmati, sehingga memaksa mereka untuk merumuskan strategi baru untuk menanggapi perubahan situasi politik itu. Salah satu langkah strategis mereka adalah dengan membeli saham-saham yang dimiliki mitra lokalnya, dengan demikian mereka memutuskan keterkaitan dengan jejaring bisnis keluarga dan kroni Soeharto. Karena kontrak mereka dilindungi hukum internasional, maka Pemerintah DKI Jakarta tidak bisa begitu saja memutus kontrak, sehingga dilakukanlah renegosiasi yang berjalan lama dan alot, karena menyangkut aspek legal. Renegosiasi yang berlangsung tiga tahun akhirnya menyepakati kontrak baru yang ditandatangani tanggal 22 Oktober 2001, dimana mitra asing memiliki 95% saham dan sisanya (5%) dimiliki masing-masing oleh mitra lokal yang sebelumnya merupakan subkontraktor mereka. Salah satu butir perjanjian yang disepakati adalah adanya badan regulator yang independen yang kemudian secara resmi terbentuk pada tanggal 1 November 2001, dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta. Apabila mitra swasta diharapkan lebih efisien, pada kenyataannya ternyata tidak. Sebuah auditor independen di Jakarta menyatakan bahwa kesulitan finansial yang dihadapi kedua operator tersebut sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor internal mereka sendiri, karena biaya operasional yang memang terlalu tinggi dan kurang efisien. Selain memilih tempat dengan menyewa ruang kantor di kawasan bisnis elit ketimbang memanfaatkan kantor PAM Jaya yang sudah ada, mereka juga menerima gaji yang dinilai terlalu tinggi. Dari sisi pelayanan, pada tahun 2001 kedua mitra mengklaim bahwa mereka telah meningkatkan jumlah sambungan sebesar 33 persen dari sekitar 468.000 sambungan menjadi hampir 620.000 sambungan. Tapi jumlah ini masih dibawah target sebesar 711.000 sambungan. Meskipun krisis sudah berlalu, situasinya tidak semakin membaik. Dan meskipun kenaikan tarif sudah dilakukan beberapa kali sejak 1998, lebih dari 70 persen penduduk Jakarta masih memiliki masalah dalam suplai air minum. Padahal kedua operator itu sudah melakukan investasi lebih dari 850 milyar rupiah. Ibarat hukum Murphy (Murphy's Law), segala sesuatu yang salah pada awalnya, akan berbuntut kesalahan terus menerus dalam kelanjutannya. Demikian juga yang terjadi dengan KPS di Jakarta. Apabila pemerintah memutuskan untuk membatalkan kontrak konsesi dengan kedua mitra swasta tersebut, Pemerintah DKI Jakarta diharuskan mengganti semua investasi yang telah ditanamkan sebesar lebih dari 3,5 trilyun rupiah, ini termasuk membayar cicilan utang PAM DKI sebelumnya, yang diambil alih oleh mitra swasta, yang jumlahnya tidak kurang dari 1,6 trilyun rupiah. Perkembangan yang terjadi kemudian, Konsorsium Thames akhirnya memutuskan untuk mundur, dan semua sahamnya diambil alih oleh Grup Bakri dengan menggunakan bendera Recapital dan konsorsium swasta yang beroperasi di wilayah bagian timur sungai Ciliwung itu berganti nama menjadi Aetra. Apakah kedua mitra swasta tersebut akan bertahan sampai tahun 2022, saat berakhirnya kontrak konsesi mereka? Sejarahlah yang akan menjawabnya. Suara dari beberapa fihak berikut barangkali bisa mewakili masyarakat Jakarta akan kinerja KPS di Jakarta. Ketua DPP Asosiasi Kontraktor Air Indonesia, Poltak Situmorang pada tahun 2004 pernah mengatakan bahwa KPS di Jakarta dinilai gagal, karena hanya menguntungkan perusahaan swasta dibandingkan dengan peningkatan pelayanan. Menurut dia, sebanyak 40,9 persen (4.908 pelanggan) mengeluhkan air kecil dan mati, 2.220 pelanggan mengeluhkan kebocoran pipa, 576 pelanggan mengadukan kerusakan meteran, dan sisanya mengeluhkan rekening yang tinggi serta kualitas air yang buruk. Sementara itu, Nila Ardhianie, Direktur Indonesian Forum on Globalition, pernah mengatakan bahwa swastanisasi air minum di banyak negara hanya menyebabkan kenaikan tarif pelanggan. Dia mencontohkan, di Inggris tarif air minum naik 105 persen dan Manila 50 persen. Selain itu, kualitas pelayanan malah menurun seperti semakin banyaknya bakteri coli seperti yang terjadi di Kanada. Kisah berliku dari Jakarta, serta pernyataan Nila Ardhianie yang Penulis kutip diatas ternyata memberikan gambaran bahwa KPS tidak membawa perbaikan pelayanan air minum sebagaimana yang diharapkan. Pertanyaan yang muncul kemudian, adakah contoh dari kisah keberhasilan KPS di tempat lain? Nantikan kisahnya dalam tulisan berikutnya. (Bersambung) Bahan-bahan dari Buku Sepuluh Tahun Kerjasama Pemerintah-Swasta pada Pelayanan Air PAM DKI Jakarta, 1998-2008, diterbitkan oleh Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, serta dari berbagai sumber lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun