Meskipun banyak ditemukan industri keramik setempat, tapi pemakaian saringan keramik di Indonesia masih sangat terbatas. Tidak seperti di negara berkembang lainnya, di Indonesia, penggunaan saringan keramik sebagai pengolahan air tingkat rumah tangga di masyarakat miskin di perkotaan maupun di perdesaan masih sangat jarang. Memang terdapat beberapa fihak yang sudah memproduksi saringan keramik, diantaranya adalah yang dikembangkan oleh Perkumpulan Pelita Indonesia, sebuah LSM yang mendapat dukungan dana dari Palang Merah AS, tapi penggunaannya masih terbatas dalam upaya darurat untuk pemberian air minum bagi daerah terkena bencana tsunami di Aceh. Inisiatif lain datang dengan dukungan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, tapi penggunaannya masih terbatas. Ada juga yang mengembangkannya di Bali, tapi menerapannya tidak meluas ke tempat-tempat lain.
Dalam uji coba pembuatan saringan keramik penulis menggunakan buku panduan Ceramic Water Filter Handbook, June 2008 dari RDI Kamboja sebagai acuan utama. Bahan acuan lainnya adalah informasi dari Potter for Peace dan sejumlah besar hasil penelitian dari perguruan tinggi dan lembaga di seluruh dunia. Diskusi mendalam pernah dilakukan penulis bulan Januari 2008 dengan Bapak Husein Wirahadikusumah, penggagas saringan keramik yang diproduksi BPLHD. Dari hasil pembicaraan tersebut, saringan BPLHD menggunakan jenis yang berbeda, yaitu tipe lilin atau candle type, sedangkan jenis yang digunakan oleh RDI dan PfP adalah tipe pot atau pot type. Perbedaannya terletak pada prosesnya dimana air meresap kedalam bahan keramik secara terbalik
Pada bulan Maret 2008, penulis sempat berkunjung ke Delft University of Technology di Negeri Belanda, untuk menemui Doris van Halem, penulis tesis M.Sc dalam saringan keramik, dan membahas hasil penelitiannya. Kunjungan singkat ke pabrik saringan keramik Perkumpulan Pelita Indonesia di Lembang dilaksanakan pada bulan April 2008 dan Mei 2009 untuk mendapatkan informasi tangan pertama dalam proses pembuatannya. Semua informasi yang dikumpulkan mengenai saringan keramik digunakan sebagai acuan pada saat pembuatan bengkel kecil dilaksanakan sekitar bulan Juni 2008 di Purwakarta, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena dekat dengan Plered, lokasi perajin keramik dimana lempung didapatkan dengan mudah. Demikian pula bahan pengisi berupa sekam padi, ditemukan melimpah di sekitarnya yang merupakan daerah lumbung padi. Alternatif lainnya untuk bahan pengisi adalah serbuk gergaji.
Saringan keramik ini tidak mengenal hak paten, karenanya siapa saja boleh membuatnya, bahkan dianjurkan untuk dibuat sebanyak-banyaknya agar bisa memberikan pilihan bagi masyarakat, terutama masyarakat kurang mampu, untuk mendapatkan air minum dengan harga yang terjangkau. Untuk memproduksi saringan keramik, digunakan peralatan sebagai berikut: mesin penepung, mesin pencampur, keduanya digerakkan dengan motor, dan cetakan (mold). Pertama-tama, lempung kering yang sudah ditumbuk dihaluskan dengan mesin penepung, demikian juga dengan bahan pengisi. Lempung dan bahan pengisi yang sudah halus dicampur dengan air dan diaduk dalam mesin pencampur. Hasilnya berupa campuran lempung yang lunak, yang dipres dalam cetakan, sehingga hasil akhirnya berupa keramik berbentuk pot. Setelah dikeringkan selama beberapa hari pot dibakar dengan suhu diatas 980 derajat Celsius sehingga bahan pengisi terbakar sempurna, dan didapatkan porositas yang diinginkan, yaitu diameter 0,2 - 3 μm (mikron). Dengan ukuran sebesar ini hampir semua jenis bakteri bisa tersaring. Pembakaran yang sempurna menghasilkan pot yang menghasilkan bunyi nyaring kalau diketuk.
Saringan keramik dalam proses cetak (foto oleh Penulis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H