Menutup tahun yang hampir habis, ada fenomena menarik di masyarakat, yang secara tiba-tiba mewabah dan menjadi viral di media sosial, dan mungkin masih akan berlanjut di tahun yang baru. Ya, fenomena ‘om telolet om’ menjadi menarik karena merebut perhatian publik yang sebelumnya tersedot energinya oleh kasus tuduhan penistaan agama oleh Gubernur non aktif DKI Jakarta. Fenomena seperti ini sering terjadi di masyarakat kita, tiba-tiba muncul tapi tidak lama kemudian menghilang. Seperti fenomena lagu “Chaiya-chaiya” yang dinyanyikan Briptu Norman beberapa tahun yang lalu, atau lagu “Sakitnya Disini” yang dinyanyikan Cita Citata, yang menyebar kemana-mana dan kemudian menghilang begitu saja.
Tidak ada yang aneh sebenarnya, ‘telolet’ adalah bunyi klakson unik yang biasa dibunyikan sopir bis, umumnya bis antar kota atau bis antar provinsi, sekedar untuk menarik perhatian tanpa ada maksud tertentu. Nadanya yang unik dan keras biasanya mengejutkan orang-orang sekitarnya, sehingga terkadang cukup mengganggu, terutama apabila dibunyikan dekat rumah sakit atau tempat ibadah. Yang menjadi fenomenal adalah begitu cepatnya ‘demam’ permintaan untuk membunyikan klakson ini menyebar kemana-mana, dan media sosial serta media elektronik sangat besar peranannya dalam menyebarkan ‘wabah’ ini.
Gejala ini, dan gejala serupa yang terjadi sebelumnya, sebenarnya dapat merupakan katup pelepas yang cukup menghibur. Katup pelepas dari suasana yang menyesakkan dada sebagian besar masyarakat akhir-akhir ini. Dampak positifnya, gejala ini ternyata meningkatkan omzet penjualan klakson telolet sampai 75 persen dan, sebagaimana dilaporkan dalam acara salah satu teve swasta, ternyata pembelian klakson tersebut bukan pesanan dari perusahaan bis yang bersangkutan, melainkan inisiatif dari para sopir dan kernetnya, yang membelinya secara patungan. Ternyata terjadi persaingan diam-diam diantara sopir bis, dengan harapan penumpang menjadi lebih tertarik untuk naik bis yang memiliki klakson telolet.
Yang menjadi masalah adalah, apabila penggunaan klakson tersebut dilakukan tanpa melihat kondisi sekitar, terutama kawasan dekat rumah sakit dan rumah ibadah, sehingga cukup mengganggu.
Penggunaan klakson sebenarnya ada aturannya. Sepanjang yang penulis ketahui, klakson digunakan hanya pada situasi tertentu dan tidak boleh dibunyikan pada kawasan-kawasan tertentu dimana terdapat rambu untuk tidak membunyikan klakson. Klakson juga dilarang dibunyikan di malam hari. Tapi di masyarakat kita, aturan tersebut terkadang diabaikan. Klakson dibunyikan di sembarang tempat dan waktu, siang dan malam, apalagi dalam keadaan dimana jalanan macet, atau polisi terlalu lama menahan kendaraan untuk berhenti, misalnya karena ada rombongan kendaraan pejabat yang mau lewat, dan suara klakson yang memekakkan telinga terdengar bersahut-sahutan. Bagi yang duduk di dalam mobil tertutup dan ber AC, suara klakson tersebut mungkin tidak terlalu terdengar keras, tapi bagi masyarakat sekitar, suara ini sangat menganggu dan menjengkelkan.
Kembali ke fenomena ‘om telolet om’, penulis yakin gejala ini sifatnya sementara dan akan berhenti serta menghilang begitu saja, diganti dengan fenomena yang lainnya. Yang jelas, ‘om telolet om’ cukup menghibur, asal dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Telolet…telolet…telolet, tet…tet…tet…
Tulisan ini adalah tulisan pertama setelah absen dari Kompasiana selama lebih dari dua tahun. Menyongsong tahun yang baru, penulis ucapkan Selamat Tahun Baru untuk para Kompasianer semuanya….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H