Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Katak Dalam Tempurung

7 Februari 2010   04:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_69711" align="alignleft" width="300" caption="Yang ini bukan katak dalam tempurung, tapi katak diatas tempurung (arin-kun.blog)"][/caption]

Orang yang tidak mengikuti kemajuan jaman, yang tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya, biasanya disebut seperti katak dalam tempurung. Kesannya adalah kebodohan dan ketidak tahuan, dianggap ketinggalan jaman dan tidak modern, bahkan dianggap tidak berbudaya. Benarkah demikian?

Hidup di jaman sekarang, dimana media komunikasi telah demikian majunya, dimana arus informasi demikian deras mengalir dari dan kesemua arah, siapa sih yang luput dari informasi? Bahkan kejadian yang jauh dari tempat kita tinggal dan menetap sudah bisa kita ketahui segera melalui media cetak dan elektronik. Istilah katak dalam tempurung seolah seperti tidak relevan lagi.

Ternyata ada juga diantara masyarakat kita yang justru mengurung dirinya dan lingkungannya untuk tidak peduli kepada kejadian di sekitarnya. Mereka justru memelihara dan menjunjung tinggi adat budaya luhur yang mereka anut dan percayai, yang berasal dari nenek moyangnya dahulu kala, secara turun temurun. Beberapa diantaranya hidup terisolasi dari dunia luar, tapi mereka bisa mensyukuri hidup dan bahkan memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap alam dan lingkungan dimana mereka tinggal.

Suku Baduy (Kanekes) yang tinggal di daerah Lebak di Banten selatan adalah salah satu contoh dimana masyarakatnya sangat eksklusif dan terlepas dari hingar bingar dunia sekitarnya., padahal jaraknya tidak begitu jauh dari Jakarta. Mereka hidup rukun dan damai menjalankan rutinitas kehidupan mereka sehari-hari. Mereka tetap berusaha mempertahankan sifat keaslian dan kemurnian budayanya. Mereka bahkan tidak tahu dan tidak ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia yang penuh gegap gempita ini.

Demikian pula dengan masyarakat kampung Naga di daerah Garut. Mereka penganut agama Islam yang taat, disamping masih memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun berasal dari nenek moyang mereka. Dengan terbatasnya areal Kampung Naga, maka tidak mungkin dibangun rumah baru, sehingga banyak penduduknya yang bertempat tinggal di luar Kampung Naga, akan tetapi mereka tetap menjaga dan melestarikan adat istiadatnya.

Mengapa mereka memutuskan untuk hidup terpisah dari lingkungannya? Mengapa mereka seolah seperti katak dalam tempurung? Berbagai pertanyaan itu muncul tatkala kita hidup dalam dunia yang memiliki ketergantungan yang tinggi, bahkan kadang teramat tinggi. Bayangkan misalnya kalau kita bepergian dan lupa tidak membawa hand phone, rasanya hidup ini tidak lengkap. Kalau perlu, kita kembali kerumah dan mengambil hand phone yang tertinggal. Atau kita merasa ketinggalan jaman kalau tidak internetan satu hari saja. Kehidupan dimana kita tinggal saat ini, mau tidak mau, telah membentuk kita menjadi manusia yang tergantung dari benda buatan yang sifatnya artifisial. Kita menjadi orang yang tidak berdaya saat benda-benda modern itu tidak ada.

Disisi lain, kita seringkali menjadi orang-orang yang individualistis, yang tidak peduli dengan orang lain. Rasa tolong menolongpun rasanya semakin memudar. Dan kita menjadi tidak peka terhadap tanda-tanda alam yang memberi kita isyarat. Manusia modern dengan rakusnya menebang pohon seenaknya, akibatnya banjir melanda. Manusia modern mengambil air tanah semaunya, sehingga muka tanah amblas karena airnya habis ditambang. Manusia modern dengan mudahnya membuang sampah dan limbah sembarangan, sehingga sungai-sungai tercemar.

Kita tidak mungkin menolak segala bentuk kemajuan dan modernisasi. Kita tidak mungkin kembali hidup di jaman batu. Kita sudah terlanjur hidup bermasyarakat yang majemuk, yang memiliki latar belakang, perilaku dan kepentingan yang berbeda. Kalau kita tidak belajar dari kearifan masyarakat terasing seperti Kanekes dan kampung Naga terhadap alam, maka bencana demi bencana akan menunggu kita. Karena alam memiliki hukum-hukumnya sendiri yang tidak bisa kita mengerti dan hindari.

Yang kita perlukan hanyalah mengakrabi alam sebagaimana suku-suku terasing itu memperlakukan alam dengan baik. Yang kita perlukan hanyalah empati terhadap sesama, dan menyelesaikan masalah secara bersama. Yang kita perlukan hanyalah toleransi, saling mengerti dan saling menghargai. Mestinya ini semua tidak terlalu sulit kita laksanakan apabila kita mau. Saya kira kita tidak perlu hidup seperti katak dalam tempurung. Tapi kita bisa hidup seperti katak yang bisa hidup didarat, tapi juga nyaman di dalam air.

Salam Kompasiana dan selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun