Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Inggris Punya Greenwich, Kita Punya Pontianak

15 Januari 2010   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_54260" align="alignleft" width="225" caption="Tugu Khatulistiwa di Pontianak (www.wikipedia.org)"][/caption]

Jaman Bung Karno berkuasa dulu, kebencian terhadap nekolim (neo kolonialisme dan imperialism) ditanamkan dalam-dalam. Obsesi Bung Karno adalah menjadikan Indonesia sebagai pelopor dalam The New Emerging Forces, kekuatan baru dunia yang menentang hegemoni negara-negara barat yang mendominasi kekuatan dunia. Caranya yang frontal itu memang menarik simpati beberapa negara Asia dan Afrika, dimana Indonesia kemudian keluar dari PBB dan membentuk kekuatan baru yang ditandai dengan Konferensi Internasional yang dikenal dengan nama Conference of the New Emerging Forces, atau Conefo. Bahkan khusus untuk konferensi tersebut dibangunlah gedung konferensi yang besar dan megah, yang sekarang menjadi Gedung DPR/MPR. Untuk menandingi Olimpiade Musim Panas, diadakanlah Games of the New Emerging Forces, atau Ganefo. Retorika yang membakar dan membangun semangat kebangsaan itu tidak berlangsung lama karena muncul retorika baru: ganyang Malaysia.

Nation and character building yang dicoba dibentuk Bung Karno memang sedikit banyak mempengaruhi sikap hidup kita berbangsa dan bernegara, dan mengangkat harga diri bangsa ini. Sayang akhirnya Bung Karno terjebak dalam gerakan Komunis yang memanfaatkan kedekatannya dengan faham sosialisme-marhaenisme, sehingga kekuasaannya jatuh dalam peristiwa berdarah G-30-S/PKI.

Pada saat sekarang ini kita hidup dalam alam demokrasi, kita merasakan angin kebebasan yang luar biasa besarnya. Kekebasan yang kita rebut melalui tangan mahasiswa, setelah terkungkung dalam pemerintahan orde baru yang otoriter dan represif selama lebih dari tigapuluh tahun, dengan demokrasi semu yang melanggengkan manusia-manusia “yes men”. Di sisi lain, kekebasan berdemokrasi saat ini belum kita manfaatkan untuk membangun negeri ini. Kita masih terbelit masalah-masalah politik yang membingungkan. Kita belum sempat mengejar ketertinggalan kita dari keterpurukan ekonomi akibat resesi ekonomi dunia. Kita bahkan tersalip oleh negara-negara yang baru bangkit dari keterpurukan perang seperti Vietnam dan Kamboja. Bagaimana kita menghadapinya?

Kalau dulu Bung Karno sering berkata lantang: “Inggeris kita linggis, Amerika kita setrika”. Sekarang kita mestinya bisa berkata lantang: "Inggeris punya Greenwich, kita punya Pontianak". Lho, apa hubungannya? Retorika Bung Karno dulu berhasil membangunjatidiri bangsa, tapi melalui konfrontasi langsung dengan negara-negara barat. Kita tidak harus berhadapan secara frontal, tapi kita mestinya bisa mulai melakukan hal-hal besar dengan memanfaatkan potensi geografis kita yang unik, seperti posisinya yang dilalui oleh garis khatulistiwa. Kalau kota Greenwich (baca: grinits) di Inggeris dilalui oleh garis bujur (longitude) nol derajat. Kota Pontianak di Kalimantan Barat dilalui oleh garis lintang (latitude) nol derajat, yaitu garis khatulistiwa atau equator.

Posisi yang unik dan langka inilah yang seharusnya kita eksplorasi dan eksploitasi lebih jauh. Misalnya saja membangun kota Pontianak menjadi kota tempat bertemunya utara dan selatan. Kalau Greenwich adalah “the city when the time starts”, Pontianak bisa kita juluki sebagai “the city when north and south meets”, misalnya. Membangun kota Pontianak menjadi titik pertemuan utara-selatan tidak saja menghilangkan kesan Jakarta-sentris, atau bahkan Jawa-sentris, tapi sekaligus membuka kesempatan untuk membangun daerah luar Jawa dengan memanfaatkan keunikan posisi Kota Pontianak.

Di kota Pontianak memang sudah ada tugu khatulistiwa, yang berlokasi di jalan Khatulistiwa, lokasinya berada sekitar 3 km dari pusat Kota Pontianak, ke arah kota Mempawah. Tugu ini menjadi salah satu ikon wisata Kota Pontianak dan selalu dikunjungi masyarakat, khususnya wisatawan yang datang ke Kota Pontianak. Sejarah mengenai pembangunan tugu ini dapat dibaca pada catatan yang terdapat didalam gedung, untuk lengkapnya, baca di sini. Tapi ini tidak cukup. Di Greenwich kita bisa mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti rumah tempat kelahiran Raja Henry VIII dan Ratu Elizabeth I, juga ada Royal Naval College yang sekarang menjadi musium. Di Kota Pontianak kita bisa melakukan hal yang sama.

Kota Pontianak tidak saja memiliki Sungai Kapuas yang lebar dengan pemandangan indah sepanjang tepiannya. Di kota ini juga terdapat Istana Kadriah yang merupakan cikal bakal lahirnya Kota Pontianak. Keberadaan Istana ini tidak lepas dari sosok Sayyid Abdurrahman Alkadri (1738-1808 M), yang di masa mudanya telah mengunjungi berbagai daerah di Nusantara dan melakukan kontak dagang dengan saudagar dari berbagai negara. Di Kota Pontianak sekarang hanya ada satu hotel besar, yaitu Hotel Kapuas Palace yang berbintang empat kalau tidak salah. Ini tidak cukup, apabila kita ingin Kota Pontianak menjadi pusat pertemuan utara-selatan, di kota ini mestinya dibangun ruang sidang yang representatif dan lebih banyak lagi hotel-hotel berbintang. Tempat-tempat wisata yang ada mestinya dibenahi, dikelola dan dikemas lebih baik sehingga menjadi lebih menarik. jana-jalannya diperbaiki, dan tempat-tempat kumuhnya ditertibkan dan diremajakan. Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya yang banyak bisa disulap menjadi Venice of the East, Venesia dari Timur, kenapa tidak?

Memang ini hanya impian seorang penulis yang sempat mampir beberapa kali ke kota ini, tapi mudah-mudahan ini bukan sekedar utopia belaka. Indonesia perlu terus membangun kotanya, membangun daerahnya, membangun bangsanya dan membangun jati dirinya. Dan ini hendaknya tidak hanya dilakukan di Jakarta saja atau di Jawa saja.

Salam Kompasianer

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun