Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Shit for You, Bread and Butter for Us”

26 Maret 2010   01:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:11 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tinja, bukan ninja, “barang” yang satu ini tentu sudah kita kenal dengan baik, bahkan setiap pagi kita keluarkan dari tubuh kita sebelum kita mandi. Benda ini umumnya kita hindari dan kita buang sejauh jauhnya. Tapi ternyata mengurus benda yang satu ini bisa menimbulkan masalah besar apabila kita tidak mengelolanya dengan benar.

Inilah yang dibahas dalam Konferensi Internasional yang dihadiri tidak kurang dari 24 negara, yang baru saja berakhir kemarin di Surabaya, setelah berlangsung selama empat hari, termasuk peninjauan ke lapangan.

Konferensi yang diselenggarakan oleh IWA (International Water Association), asosiasi profesi internasional yang berbasis di London itu, diadakan dalam rangka mencari solusi yang tepat agar tinja tidak lagi mencemari lingkungan dan menjadi sumber penyakit, terutama bagi masyarakat kurang mampu. Konferensi ini juga didukung oleh banyak lembaga internasional. Bertindak selaku tuan rumah adalah Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, yang sering disingkat sebagai Pokja AMPL, suatu kelompok keahlian yang terdiri dari para ahli lintas kementerian dan lembaga.

Kenapa urusan tinja menjadi begitu penting? Ternyata kenyataan menunjukkan bahwa sarana pengelolaan limbah di negara-negara berkembang, termasukIndonesia, masih sangat memprihatinkan. Lebih dari 70 juta orang Indonesia masih melakukan BAB (buang air besar) sembarangan. Di Jakarta saja, hanya kurang dari 2% penduduk Jakarta yang sudah dilayani oleh jaringan air limbah, sisanya masih mengandalkan tangki septik yang pada umumnya tidak berfungsi dengan benar dan mencemari air tanah, sungai dan lingkungan.

Dihadiri oleh perwakilan dari 24 negara, Konferensi membahas berbagai aspek pengolahan tinja di negara-negara berkembang. Pengelolaan dan pengolahan tinja ternyata memerlukan biaya yang teramat mahal, yang tidak mungkin ditanggung oleh pemerintah, atau kalau dibebankan kepada masyarakat, tarifnya akan terlalu mahal.

Sistem pengelolaan dan pengolahan tinja yang dilakukan oleh negara maju tidak mungkin bisa kita laksanakan disini. Untuk itu diperlukan cara lain untuk mengurangi biaya, antara lain dengan cara menyebarkan pengolahan tinja itu mendekati sumbernya, yaitu rumah tangga dan lingkungan. Dalam istilah teknis, solusi ini disebut decentralized wastewater treatment system atau Dewats. Dengan latar belakang itulah Konferensi ini diberi judul: Decentralized Wastewater Treatment Solutions in Developing Countries Conference and Exhibition.

Banyak hal menarik yang muncul dan dibahas dalam Konferensi ini, yang tidak mungkin disampaikan semuanya dalam tulisan singkat ini. Diantaranya, menurut penelitian, ternyata air seni (urine) mengandung zat hara (nutrient) yang sangat tinggi dan baik untuk pupuk, tapi harus terpisah dari limbah padat. Nah, masalahnya, bagaimana memisahkannya, padahal kita ‘kan biasanya buang air sekaligus, ya tinja, ya air seni.

Yang menarik bagi saya adalah, betapa para peneliti, praktisi dan pemerhati masalah limbah ini, baik yang berasal dari negara maju maupun berkembang, amat mencintai profesinya. Dari pengalaman yang mereka sampaikan, banyak diantaranya yang sudah bertahun-tahun dengan setia meneliti dan melakukan berbagai inovasi pengolahan limbah yang paling efektif, terutama yang sesuai dengan negara mereka masing-masing.

Dalam hal penanganan limbah, Indonesia memang ketinggalan dari negara-negara Asia Tenggara. Tantangan yang dihadapi cukup berat, tapi harapan masih ada. Pokja AMPL (www.ampl.or.id), yang anggotanya terdiri dari berbagai instansi pemerintah dan para ahli profesi, dalam beberapa tahun terakhir ini berhasil mendobrak kekakuan birokrasi pemerintahan, dan bisa menjembatani berbagai kepentingan.

Terbukti bahwa Pemerintah Indonesia sudah mulai memprioritaskan penanganan limbah, dimana Departemen Kesehatan sudah menerbitkan strategi nasional sanitasi total berbasis masyarakat pada tahun 2009. Dan anggaran untuk lima tahun mendatang (2010-2014) meningkat enam kali lipat dibandingkan dengan anggaran lima tahun sebelumnya, yang akan disebar ke lebih dari 400 kabupaten/kota. Selain itu, Pemerintah mencanangkan Indonesia bebas BAB sembarangan pada tahun 2014. Tentu menjadi harapan kita agar ini semua tidak hanya sekedar retorika, diperlukan kerja keras semua fihak untuk mewujudkannya.

Menangani tinja tenyata bukan persoalan sepele, dan tidak banyak orang yang tertarik untuk menekuninya. Bahkan seorang teman mengatakannya sebagai profesi yang mulia. Kolega kerja saya yang orang Inggeris mengatakan: “shit for you, bread and butter for us”, kotoran buatmu, tapi bagiku itu adalah roti dan mentega! Wah…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun