Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hiduplah Indonesia Raya……

9 Maret 2010   16:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:31 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang tidak mengenal bait terakhir dari lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya”. Siapa pula yang tidak tahu pencipta lagu yang menjadi kebanggaan kita itu, ya tentu saja Wage Rudolf Supratman, atau disingkat WR Supratman. Tapi siapa yang ingat kapan WR Supratman dilahirkan? Ternyata, hari ini (kemarin, red), 9 Maret 2010 adalah hari lahir pencipta lagu kebangsaan kita itu, yang juga bertepatan dengan hari Musik Nasional.

Siapakah sosok WR Supratman? Bagi yang belum sempat mengetahuinya, Bapak CH (Chappy Hakim) pernah mengulasnya dalam artikel beliau pada tanggal 6 January 2010 (http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/06/wr-supratman/). WR Supratman lahir di Jatinegara, Jakarta, tanggal 9 Maret 1903 dan meninggal di Surabaya, 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun. Ini menurut Wikipedia, tapi menurut Pak CH ada versi lain yang menyatakan WR Supratman lahir tanggal 19 Maret 1903.

Saya tidak ingin mengulangi kisahnya. Yang ingin saya sampaikan adalah pengalaman pribadi penulis sewaktu masih menjadi PNS dulu. Setiap tanggal 17 tiap bulan di kantor-kantor pemerintah diadakan upacara bendera, yang secara rutin diisi dengan pengibaran bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama.

Entah mengapa, setiap mendengarkan dan menyanyikan lagu kebangsaan tersebut, hati saya larut dalam keharuan. Kadang mata saya mengembang menahan tangis, mengenang para pendahulu kita yang memperjuangkan kemerdekaan negara kita ini dengan mengorbankan anak, isteri, bahkan nyawanya. Mereka benar-benar berjuang tanpa pamrih. Mereka melakukan aksi menentang pemerintah kolonial Belanda yang menjajah kita waktu itu, tanpa mengharapkan balasan dari siapapun. Mereka membuat senjata dari bambu yang ujungnya diruncingkan dan berani melawan penjajah yang bersenjata lengkap.

Apakah yang mendorong mereka untuk berbuat nekat seperti itu? Mereka ingin merdeka, mereka tidak ingin dijajah, mereka memperjuangkan kesetaraan antar bangsa. Mereka tidak lagi ingin diperbudak dan diperlakukan sewenang-wenang. Perjuangan mereka didorong oleh niat murni untuk memerdekakan bangsa ini, tanpa berfikir siapa kelak yang akan memberikan penghargaan kepada mereka, atau mengganti kerugian atas semua harta benda bahkan nyawa yang sudah mereka berikan.

Kini, kita sudah lepas dari penjajahan lebih dari setengah abad, dan sebentar lagi akan merayakan hari kemerdekaan yang keenam puluh lima. Apakah kita sudah merasa merdeka? Apakah kedaulatan bangsa kita benar-benar sudah ditangan? Saya kadang berfikir, kita ini sudah merdeka apa belum sih? Apakah kita sudah merdeka dari kelaparan dan penderitaan? Apakah kita sudah bebas dari pengangguran dan ketidak adilan?

Mungkin sebagian dari kita sudah menikmati kehidupan yang lebih baik, tapi bagaimana dengan nasib sebagian dari saudara kita yang sekarang tinggal di rumah-rumah kardus di kolong jembatan dan di bantaran sungai? Yang menengadahkan tangan sewaktu kita melintas di jalan raya? Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang belum beruntung mendapatkan pekerjaan tetap? Yang berjejer setiap pagi mengarapkan tumpangan mobil yang akan masuk kawasan 3 in 1 untuk sekedar mendapatkan beberapa ribu rupiah? Padahal orang-orang tua mereka, kakek nenek mereka juga mungkin sama-sama berjuang dengan kakek dan nenek kita pada waktu jaman penjajahan dulu.

Setiap mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya hati saya selalu tersentuh, dan saya selalu berfikir apa yang sudah saya lakukan untuk negeri tercinta ini. Setelah pensiun saya tidak tahu apakah acara rutin upacara tanggal 17 setiap bulan masih dilakukan di kantor-kantor pemerintah atau tidak. Kalau ya, syukurlah, mudah-mudahan ada hati-hati yang tersentuh seperti saya dan mencoba mengingat kembali apa-apa yang mungkin belum sempat kita lakukan demi kemajuan negeri ini.

Mungkin sebagian orang akan merasa skeptis, ah itu kan sekedar untuk menimbulkan romantika sesaat. Setelah upacara, masing-masing kembali kepada tugas rutin, dan semuanya kembali business as usual. Yang penting diri sendiri dulu, toh yang lain juga sama, siapa sih yang mau memikirkan negara ini? Partai politik cuma berebut kekuasaan, para pejabat cuma pamer kekayaan, para konglomerat cuma mau mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya, keluarganya dan sahabat dekatnya.

Mudah-mudahan saya tidak sendirian dan tidak berfikir terlalu utopis.

Mengutip kalimat pembuka Pak CH dalam tulisan beliau diatas, Bung Karno pernah berkata dengan penuh kebanggaan dan juga dengan intonasi yang sangat meyakinkan, bahwa Lagu Kebangsaan yang paling “indah” dan “menggetarkan kalbu” di dunia ini adalah lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” !

Marilah kita hidupkan kembali rasa kebersamaan kita.

Hiduplah Indonesia Raya….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun