Buya Hamka menjelaskan bahwa "Sabili Rabbika" adalah "Ad Dinul Haqqu", yaitu Islam. Jadi, tujuan dakwah adalah mengajak manusia kepada Islam. As Sa'di menafsirkan "Sabili Rabbika" sebagai ilmu yang bermanfaat dan amalan shalih, sedangkan Syekh Abu Bakar Jabir Al Jazairi menafsirkannya sebagai ketaatan kepada Allah untuk mendapatkan keridhaan-Nya.
Meskipun ada perbedaan dalam penafsiran, semuanya saling terkait. Kata "Sabili Rabbika" dapat diartikan sebagai mengajak ke agama Islam, mencari ilmu dan beramal, atau mengajak kepada ketaatan, dan semuanya dilakukan karena Allah, sebagaimana pendapat Sayyid Quthb.
Kata "Hikmah"
Ibnu Jarir menafsirkan hikmah dalam surat An-Nahl ayat 125 sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah.
Sedangkan Sayyid Quthb menafsirkan "hikmah" sebagai berdakwah dengan menyesuaikan keadaan dan kondisi mad'u (objek dakwah), harus seimbang dan tidak berlebih-lebihan sehingga dakwah tersebut tidak memberatkan.
Buya Hamka menafsirkan "hikmah" sebagai berdakwah dengan cara bijaksana, menggunakan akal budi yang mulia, dada yang lapang, dan hati yang bersih.
Sayyid Quthb dan Buya Hamka tidak menafsirkan "hikmah" sebagai Al Qur'an dan As Sunnah seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir. Namun, hal tersebut bukan berarti mereka menyelisihi para ulama salaf. Justru, penafsiran mereka menunjukkan corak adabi ijtima'i, yaitu pendekatan yang lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat sebagai panduan dakwah.
Kata Mau'idzatul Hasanah
Menurut Sayyid Quthb, "Mau'idzatul Hasanah" adalah nasihat yang baik yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Sedangkan Buya Hamka menafsirkan "Mau'idzatul Hasanah" sebagai pengajaran yang baik, dan pesan-pesan yang baik yang disampaikan sebagai nasihat, pendidikan, dan tuntunan.
Sayyid Quthb menjelaskan bahwa dakwah dengan nasihat yang baik harus dilakukan dengan tidak menjabarkan kesalahan-kesalahan, disampaikan dengan kelembutan, dan tanpa celaan, semuanya berkaitan dengan lisan. Sedangkan Buya Hamka memberikan contoh bahwa pemberian nasihat tidak hanya sebatas lisan tetapi juga sebagai pengajaran/pendidikan atau tuntunan. Contohnya, pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, menunjukkan teladan yang baik kepada anak-anak, serta pendidikan dan pengajaran dalam perguruan atau sekolah, semuanya termasuk dalam kategori "Mau'idzatul Hasanah".
Sebagaimana yang dikatakan oleh Quraisy Syihab, nasihat yang baik akan mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya.